Pagi yang Indah

Mentari masih malu-malu
merangkai senyum di ufuk 
Anak Adam berduyun-duyun
menampakkan riak-riak kecil
Yang melekat tampak menyilaukan
Aroma mereka merintikkan ketenangan


Keadaan selepas fajar sunyi
menjernihkan harapan esok hari
Kalimat-kalimat mereka mengalun
"Allahu Akbar",,, sesekali berbisik


Saatnya derap langkah melaju
Selingan pekikan takbir menggugah
Kemenangan bersorak lalu tertawa lepas
Adakah yang lebih indah dari pesonanya?


Suasana melunakkan jiwa
yang dipeluk dendam masa lalu
Kini lapang seperti lendang hari terakhir
Senyum pun menjadi penuntas kisah lama

begitu indah suasana pagi ini,,,




hari yang fitri, 1 Syawal 1432 H

Malaikat atau Iblis?

Untuk seutas cela,
terkadang harus ada peluh
yang memikul meski sederhana.


Atau untuk rajutan pujian,
yang jatuh berserakan di pinggir jalan
namun luput tak terlintas.


Kadang menjadi Iblis 
membuat nafas tersenggal
Kadang Menjadi Malaikat pun
membuat mata terlelap 


Menjadi Malaikat atau Iblis?


29082011 05.53 pagi

Tangis atau Tawa?


Menanam kisah kemarin,
memelihara langkah hari ini,
dan mengetam esok lusa.

Begitu sederhanakah hidup?

Katakan padaku, "Ya,"
atau diam!

Tulisan-tulisan menumpuk,
memuat jalan cinta yang panjang.
Ternyata ada tawa dan tangis
Sesal senja yang sia-sia
Menangislah! 

Lalu?

Di jauh sana ada rajutan tawa yang panjang,
terlalu kuat dilindas usia.

Inilah mereka,
lihatlah dengan mata telanjang!
Melompat-lompat di taman keabadian,
atau tertawa girang sesekali waktu.
Melihat puncak cinta

Tinggal pilih,
tangis atau tawa?


28082011 03.29 dini hari

Introspeksi di Ujung Penghabisan


Seakan ada mata air yang tiba-tiba mengalir deras di tengah padang pasir yang tandus, bak munculnya air Zam-Zam bagi Hajar, istri Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail alaihimassalam, yang kemudian menjadi anugerah bagi umat manusia hingga hari kiamat. Bahkan ia merupakan satu-satunya mata air yang langsung berasal dari surga. Begitulah, aku mencoba menganalogikan bulan permata, bulan anugerah, bulan pembebasan dari api neraka, dan bulan yang memanusiakan manusia sesuai fitrah penciptaannya.


Kedatangannya begitu dielu-elukan, diagungkan, dan dimuliakan. Meskipun begitu, ia hanyalah sebuah fasilitas, atau wasilah yang Allah anugerahkan kepada umat Rasulullah saw. Namun bukan fasilitas biasa. Ia adalah fasilitas teragung, yang hanya akan disadari oleh hamba yang benar-benar menggunakan akal dan hatinya, dan tentu sangat disayangkan jika ia berlalu begitu saja.

Tidak terasa Ramadan yang mulia ini akan meninggalkanku. Kini sudah menginjak hari ke 27. Tiga hari lagi ia akan pergi, pergi untuk kembali menemuiku, atau aku yang terlebih dahulu meninggalkannya sebelum menemuiku.

Aku sendiri risih dengan pertanyaan yang dilontarkan hatiku. Adakah air mata kesedihan yang menetes ketika mengantar kepergiannya? Adakah peluh yang bersimbah karena giatnya raga beribadah? Atau adakah perasaan rugi karena tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya? Bukankah Rasulullah saw telah mengingatkan bahwa orang yang paling merugi adalah orang yang ketika bulan Ramadan telah berlalu namun belum mendapatkan ampunan dari Allah?.

Aku menangis sejadi-jadinya, merasakan diriku begitu merugi, sangat rugi. Sudahkah Allah mengampuniku? Adakah rahmat Allah menaungiku? Adakah pembebasan dari api neraka untukku? Aku tidak bisa menyalahkan keadaan dan lingkunganku. Yang harus disalahkan adalah diriku sendiri. Aku yang tidak tegas terhadap diriku. Rupanya keadaan terlalu memanjakanku. Tingkahku seakan aku abadi di dunia, padahal diriku dan kematian perlahn-lahan saling mendekati. Tertawaku seakan membuatku merasa aman dari pengawasan Allah. Perbuatan maksiatku seakan menganggap Allah buta dan tuli terhadap apa yang aku lakukan.

Aku ingin lari ke masjid untuk bersujud di hari penghabisan, membaca Al-Quran, menyibukkan lidahku dengan lantunan zikir. Aku ingin hatiku hidup dengan cahaya iman. Aku ingin gemblengan Ramadan membawa pengaruh besar dalam hidupku, dan puncaknya aku ingin masuk surga lewat pintu Ar-Rayyan bersama Rasulullah saw.

Itulah harapanku di ujung penghabisan. Semoga aku bisa bertemu kembali dengan kemulianmu Ramadan! Dan aku mendapatkan sebuah kalimat yang tersirat menjelang keperginmu, “Ketegasan kepada diri sendiri adalah awal perubahan.” (ASH)

Madinah Buuts Islamiyah Cairo, 27 Ramadan 1432 H

Tawa Senjakala

Senjakala, aku mengukir senyum
bersama mereka
Lampau, bahu membahu
mencari nama
Kini pengakuan mengejar
jerih payah
Mata mereka tak berkedip
melihat kami menari
Kami bermekaran di sela-sela
cucuran keringat
Menangguhkan hari-hari penuh tawa
Karena bahagia akan menetas
Mereka adalah manusia pekerja
Mereka diakui
Mereka menang
Selepas LPJ PPR, 24 Agustus 2011
(Buat mereka, Panitia Pemilu Raya PPMI-Mesir 2011)

Kidung Kesunyian


Aku melihat tawa
di dunia mereka
Sedang duniaku penuh
kemurungan
Murung karena pemahaman
yang dalam
Biarlah langit yang menjadi
saksi bisu
Aku murung karena bumiku
semakin menjauhi langit

Kidung-kidung kebanggaan
mereka tampakkan
Lalu menyulam sutera
fatamorgana
Adakah kali ini senjakala
bersemayam di ufukku?
Hanya langit yang tahu
makna sunyi ini

Demikian lanjutan
kisah-kisah lama
Melihat utusan-utusan surga
tegak berdiri

Aku hanya diam
Aku hanya menerawang
cakrawala pikiranku
Aku hanya bersujud
Aku hanya mencintai

Pesona Terakhir


Beberapa saat lamanya, ia masih saja dalam peraduan yang sunyi. Sesekali butiran air mata menetes, lalu ia kembali mengarahkan keningnya ke tempat yang paling bawah, bumi. Kini tangannya menengadah penuh harap, berulang kali ia memuji mengagungkan Sang Pemberi, sembari menyesalkan kekeliruan dan kelalaiannya selama ini. “Wahai Tuhanku yang Maha Pemaaf, Engkau menyukai permintaan maaf. Maka maafkanlah aku,” lirihnya berulang-ulang.

Saat yang dinanti pun menyapa. Ramadan mulai menampakkan pesona yang terakhir, puncak pesona keindahan taman-taman surga. Biarlah wahyu Tuhan yang menjadi saksi, satu dari sepuluh malam penghujung Ramadan adalah benar adanya. Benar bahwa malam tersebut seumpama 84 tahun kehidupan, jika benar seseorang memaksimalkan potensi kedekatannya dan penghambaannya kepada Pemilik malam itu. Namun tidak ada yang tahu, kapan malam itu menyapa harapan-harapan para hamba.

“Jika tiba sepuluh malam penghujung Ramadan; ia menghidupkan malam-malamnya, membangunkan anggota keluarganya, dan mengencangkan ikatan sarungnya (menjauhi istri-istrinya dan bersungguh-sungguh dalam penghambaannya).” begitulah, orang-orang menceritakan bagaimana sang guru besar – yang notabenenya adalah utusan Allah – saat memasuki pesona terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi saw benar-benar bersungguh-sungguh mencari puncak pesona tersebut, meski dosa dan kesalahannya, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang telah diampuni oleh Maha Pengampun. Nabi saw yang mulia seakan mengisyaratkan bahwa tidak ada akhir dari kebaikan, meski kebaikan memeluk anda dengan eratnya, lakukanlah yang terbaik, dan berikan yang terbaik pula untuk diri anda sendiri maupun orang lain.

Di lain sisi, Nabi saw sesekali mengingatkan para sahabatnya, “Siapa saja di antara kalian yang beribadah pada saat malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap balasan hanya dari Allah semata, maka semua dosa dan kesalahannya yang lampau terampuni.”

Suatu hari istri tercinta Nabi saw, Aisyah, bertanya kepada suaminya tentang apa yang mesti diucapkan ketika mendapati malam yang mulia tersebut, “Wahai istriku, katakan: Wahai Tuhanku yang Maha Pemaaf, Engkau menyukai permintaan maaf. Maka maafkanlah aku.” jawab sang suami penuh perhatian.

Di antara kebiasaan sang guru sejak disyariatkannya puasa adalah beri’tikaf, terutama di sepuluh malam penghabisan. Nabi saw mengasingkan dirinya di masjid, menyendiri sambil melafazkan senandung-senandung ketenangan. Tujuan (main point) sekaligus ruh dari i’tikaf itu sendiri adalah menetapnya hati kepada Allah yang Maha Dekat. Selain menetap, kedekatan tersebut seakan menyelimuti hati yang hanya berisikan kalimat-kalimat Tuhan, nama mulia yang memenuhi relung-relung hati para hamba yang hanya mengharap ridha dan kasih sayangNya. Keadaan tersebut menyebabkan terputusnya segala bentuk kesibukan dengan ciptaan, dan hanya tersibukkan oleh Sang Pencipta. Inilah tujuan i’tikaf  yang paling agung.

Nabi saw menekuni kebiasaan tersebut hingga takdir Tuhan tiba, lalu dengan titahNya Ia memerintahkan malaikat untuk mengambil ruhnya yang suci dari dunia yang yang sudah tua renta ini. Namun hanya sekali sang guru meninggalkan kebiasaan tersebut, tak pelak Nabi saw pun menggantinya di bulan Syawal.

Nabi saw juga pernah melakukan i’tikaf sekali di sepuluh malam pertama, begitu juga di sepuluh malam pertengahan, dengan harapan bertemu dengan pesona teragung. Namun setelah nampak bahwa malam kemuliaan tersebut ada pada salah satu malam dari sepuluh malam penghabisan, tak pelak Nabi saw langsung menghabiskan sepuluh malam tersebut dengan beri’tikaf hingga ajal menjemputnya.

Begitulah teladan dari sang guru semenjak 14 abad silam, bagaimana kesungguhan beliau dalam penghambaannya di sepuluh malam penghabisan. Bulan yang mulia ini akan segera berlalu beberapa hari ke depan. Sebagai orang yang masih memiliki rasa peka dan rasa sadar diri, rugi rasanya jika ia berlalu begitu saja. Apalagi jika ia berlalu, di sisi lain dosa kita kepada Sang Pencipta terus mengepul bagai asap.

Kini waktunya membuka mata hati selebar-lebarnya. Waktunya melihat diri kita sendiri sedetail-detailnya dari berbagai dimensi, lalu berbenah dan merekonstruksi sikap kita. Biarlah yang telah berlalu hilang termakan zaman. Saatnya kita fokus untuk memperbaiki hubungan kita dengan Sang Pencipta yang Maha Pengampun mumpung masih dalam naungan Ramadan yang mulia.

Saatnya meneladani sang guru. Saatnya bersungguh-sungguh untuk i’tikaf, sebagaimana Nabi saw menekuninya dengan sungguh-sungguh. Siapa yang tahu kalau pesona terakhir akan menyapa, ketika kita benar-benar bersungguh dalam penghambaan kepada Pemilik malam itu. Siapa yang tahu sekali lagi. Jadi, kita harus bersungguh-sungguh dengan segenap kemampuan yang ada untuk mendapatkan pesona terakhir yang juga pesona teragung.

Siapa yang tahu? (ASH)

Madinat Buuts Islamiyah, 20 Ramadan 1432 H pukul 01.48


Refrensi: Zaadul Ma'ad, karangannya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah
               Fiqh Sunnah, karangannya Syaikh Sayyid Sabiq

Lebaran dan Orang Tua

Mungkin anda pernah mendengar kata-kata ini, ”Pak, saya mau baju yang ini.” Atau penah melakukan yang ini, "Bu minta duit dong, buat beli baju lebaran.”  Kemudian anda akan mendengar jawaban dari mereka, ”Maaf nak, pakai baju lebaran yang kemarin aja ya, Ibu belum ada uang.” atau jawaban seperti ini, “Ini ada uang sedikit, pakai untuk sekedarnya saja ya.”

Itu adalah sekelumit fenomena yang terjadi menjelang lebaran. Mungkin contoh di atas terlalu wah, seakan seperti pentas drama, atau menganggapnya seperti anak kecil yang merengek kepada orang tuanya agar dibelikan baju lebaran seperti teman-temannya yang lain. Memang itu semua adalah tradisi yang sudah sangat mengakar di tengah masyarakat kita. Di samping menjalankan perintah Rasulullah saw untuk mengenakan pakaian terbaik yang kita punya namun bukan berarti membeli yang baru.

Hari raya Idul Fitri memang identik dengan berbagai revolusi dalam hati dan penampilan kita. Tidak bisa disangkal bahwa gemblengan Ramadan selama 1 bulan penuh telah memperkaya hati kita. Kekayaan hati yang dimaksud adalah jiwa yang semakin dekat kepada Allah. Hati yang semakin qana’ah, dada yang  dipenuhi dengan kesabaran, rasa takut untuk kembali jatuh ke lembah dosa yang selama ini biasa kita lakukan, apapun bentuknya, dan tentu semangat yang menyala untuk kembali proaktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah yang menunjang keilmuan dan karakter kita.

Selanjutnya dari segi penampilan, sudah tentu tidak mau ketinggalan, semua yang melekat dari ujung rambut hingga ujung kaki serba baru. Perasaan yang begitu bahagia dan tenang, subhanallah!. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?.” Begitulah Allah berulang kali mengingatkan kita.

Namun titik temu (main point) yang ingin saya sampaikan adalah ketika kita dengan begitu bahagia menikmati semua ini, adakah pernah terbesit dalam benak kita untuk sekedar meraba apa yang ada dalam pikiran orang tua kita menjelang lebaran?.

Ah! Tidak usah terlalu lama, kita semua sudah tahu jawabannya. Ternyata di balik semua kebahagiaan itu, ada orang yang jauh-jauh hari telah memutar otak dan memeras keringat untuk mempersiapkan keperluan-keperluan, ya termasuk kebutuhan menjelang lebaran seperti sekarang ini. Namun apa yang kita lihat, dia tetap menampakkan senyuman termanis yang pernah kita lihat. Tidak ada beban sedikitpun. Siapa yang menyangka bahwa dia telah mengeluh dalam batinnya, tak lama kemudian menyandarkan kepada Sang Pencipta. Yang dia adukan adalah bagaimana memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Yang dia adukan adalah bagaimana agar anaknya tidak malu di hadapan teman-temannya karena tidak mempunyai pakaian baru. Yang dia adukan adalah bagaimana agar cara menyelesaikan semua permasalahan itu.

Sudahlah!, kita tidak usah terlalu peka, nanti masalahnya semakin runyam tanpa ada penyelesaiannya. Yang penting kita saling mengingatkan bahwa di balik bahagia, tawa, dan perasaan bangga dengan apa yang ada dalam genggaman kita saat ini sesungguhnya ada keringat yang tidak pernah berhenti menetes dan ada otak yang tidak pernah berhenti berpikir. Rasakanlah, kemudian pikirkan, lalu doakan mereka.

Akhirnya kita sebagai hamba yang fakir kepada Allah senantiasa memohon kepada-Nya agar mereka diampuni dosa-dosanya, dimudahkan segala urusannya, dan dilapangkan rezekinya agar bisa memberikan kita bekal dalam menuntut ilmu. Amin ya Rabbal Alamin. (ASH)

Madinat Buuts Islamiyah Cairo, 30 Ramadan 1431 H. 

Profesor Dr. Mohammed Ragab El-Bayoumi, Sang Sastrawan Sekaligus Ulama Besar Al-Azhar


Sabtu pagi yang kelam. Beberapa orang terlihat mondar-mandir kebingungan. Ada yang duduk bersandar sambil meneteskan air mata. Ada yang diam membisu menatap kosong. Dia kini telah pergi untuk selama-lamanya. Dunia Sastra Arab berkabung, dan Al-Azhar kembali kehilangan salah satu kader terbaiknya, yaitu sosok sastrawan sekaligus ulama besar. Orang Arab biasa menyebut seseorang yang menguasai berbagai disiplin ilmu dengan ‘alim mausu’i atau ulama ensiklopedis. Dialah Profesor Dr. Mohammed Ragab El-Bayoumi, sang ‘alim mausu’i yang mengusai berbagai macam disiplin ilmu, dan memiliki wawasan yang sangat luas.
El-Bayoumi lahir pada awal Oktober 1923 di Kafr Gadid, salah satu desa di Provinsi Daqahlia yang terletak di Kawasan Delta Mesir, atau biasa disebut Delta. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya di Ma’had Al-Azhar Zaqaziq, El-Bayoumi kemudian melajutkan pendidikan tingginya di Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Cairo dan selesai pada tahun 1949. El-Bayoumi yang baru lulus S1 tidak langsung melanjutkan program pascasarjananya, dia lebih memilih untuk mengabdikan ilmunya setelah berhasil menggondol gelar Diploma Pendidikan di Institut Pendidikan Tinggi tahun 1950. Setelah beberapa tahun mengajar, El-Bayoumi menyadari bahwa dia harus melanjutkan pendidikannya. Tak ayal, setelah bersusah payah selama bertahun-tahun, dia pada tahun 1967, akhirnya berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Al-Bayan An-Nabawi (Paramasastra Nabi Muhammad) di hadapan para penguji untuk memperoleh gelar doktor dengan predikat Summa Cumlaude.
Dengan gelar doktor yang diraihnya, El-Bayoumi kemudian ditunjuk menjadi dosen di Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar. Sepuluh tahun kemudian, dia mendapatkan gelar akademik tertinggi yaitu Profesor, lalu menjadi Dekan Fakultas Bahasa Arab di Mansoura selama sepuluh tahun. Kemudian menjadi Guru Besar Tamu di berbagai perguruan tinggi, di antaranya Universitas Imam Muhammad ibn Saud, Saudi Arabia. Selain aktif menjadi pembimbing sekaligus penguji ratusan tesis dan disertasi, dia juga aktif mengikuti seminar dan diskusi ilmiah di berbagai forum internasional. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Al-Azhar, majalah ilmiah bulanan yang diterbitkan oleh Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah (Islamic Research Academy), salah satu lembaga tinggi Al-Azhar yang menghimpun para ulama dan pakar dari berbagai disiplin ilmu.
Bakat kepenulisan El-Bayoumi sudah terasah sejak remaja. Hal ini bisa dilihat dari artikel-artikelnya yang sudah dimuat di Majalah Ar-Risalah, sebuah majalah sastra tersohor pada abad abad 20 yang menampung tulisan-tulisan para satrawan terkemuka masa itu diantaranya; Abbas Al-Aqqad, Taha Hussein, Ahmad Amin, Zaki Mubarak, Taufiq Al-Hakim, dan sastrawan-sastrawan lainnya. Tulisan El-Bayoumi yang pertama kali dimuat di majalah tersebut adalah “Ma’na Baitin wa I’rabuhu” pada tahun 1940, sebuah artikel yang menjelaskan kandungan dan nilai estetika puisi milik Al-A’sya, salah satu penyair besar pada zaman Jahiliah.
Dengan demikian, dengan bakat yang diasah semenjak belia, tidak heran jika tulisan-tulisan El-Bayoumi dalam bidang sastra Arab maupun pemikiran-pemikiran Islam banyak dimuat di berbagai majalah; baik di Mesir maupun negara-negara Arab mulai dari era 50-an hingga saat ini. Di antaranya Majalah Al-Azhar (Mesir), Majalah Al-Faisal (Saudi Arabia), Majalah Al-Dhuha (Qatar), Majalah Al-Wa’yu Al-Islami (Kuwait), Majalah Manarul Islam (Uni Emirat Arab), dan masih banyak lagi.
Ketika memimipin majalah Al-Azhar, El-Bayoumi melakukan berbagai macam gebrakan dan membawa majalah tersebut menuju era baru. Dia menetapkan sebuah kebijakan baru dengan mengikutsertakan para pakar dari berbagai disiplin keilmuan guna memperkaya dimensi ilmiah dan cakupan pembaca Majalah Al-Azhar, namun menjunjung tinggi ide dasarnya, yaitu melestarikan turats (warisan budaya dan keilmuan Islam) yang menjadi rujukan utama dalam  memecahkan berbagai persoalan dan  masalah keagamaan. Selain itu, buku-buku bermutu karya para ulama yang menjadi hadiah Majalah Al-Azhar tersebut merupakan ide cemerlang El-Bayoumi.
Selain menulis artikel yang dimuat di mana-mana, El-Bayoumi juga aktif menulis buku. Hingga hari dia menutup mata, tak kurang dari 70 buku karangannya menghiasi berbagai perpustakaan. Delapan di antaranya berupa kumpulan-kumpulan syair, lebih dari sepuluh di bidang sastra dan sejarah yang menceritakan kehidupan para pujangga kontemporer, para pembaharu, dan tokoh-tokoh lainnya. Demikian juga sekitar 20 buku cerita yang dia tulis untuk anak-anak dan remaja.
El-Bayoumi juga memiliki banyak karangan di bidang keislaman antara lain; Al-Bayan Al-Qur’aniAl-Balaghah An-NabawiyahMin Munthalaq Islami (dua jilid), Fi Mizan Al-Islam (dua jilid), Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, dan masih banyak lagi. Begitu juga karangan beliau dalam bidang sejarah dan sastra, di antaranya; Adab As-Sirah An-Nabawiyyah ‘inda Ar-Ruwad Al-Mu’ashirin, Baina Al-Adab wa An-Naqd, An-Nahdhah Al-Islamiyah fi Siyar A’lamiha Al-Mu’ashirin (lima jilid), Nazharat Adabiyah (empat jilid), dan lain-lain.
Karena produktivitasnya yang sangat tinggi dalam berkarya, El-Bayoumi menyabet berbagai penghargaan, di antaranya penghargaan Shawqi Award di bidang puisi dari Majelis Tinggi Kesenian dan Sastra Mesir tahun 1960, penghargaan Arabic Academy Award di bidang Literature Studies tahun 1963, penghargaan Arabic Academy Award di bidang Literary Biography tahun 1964, dan lain-lain.
Akhirnya, tepat pada Sabtu pagi tanggal 5 Februari 2011, di tengah hiruk pikuk dan gegap gempita Revolusi Mesir yang dimotori para pemuda semenjak tanggal 25 Januari 2011 dan berakhir dengan jatuhnya Husni Mubarak dari kursi kepresidenan tanggal 11 Februari 2011, sang sastrawan sekaligus ulama besar, sang ‘alim mausu’i  pergi untuk selama-lamanya menghadap Yang Kuasa. Tak pelak, kepergian El-Bayoumi pada usianya yang ke 88; tak hanya meninggalkan duka di kalangan sanak keluarga, melainkan Al-Azhar yang notabene adalah Kiblat Keilmuan Islam, begitu juga dunia sastra Arab, dan tentu Majalah Al-Azhar. Bagaimana tidak, dia telah memberikan kontribusi yang begitu besar, baik dalam bentuk pemikiran-pemikiran keislaman maupun karya-karya kesastraan selama 70 tahun lamanya. Tepat beberapa minggu setelah wafatnya, Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah (Islamic Research Academy) menggelar sidang yang kesepuluh, bertepatan dengan tanggal 24 Februari 2011 yang dipimpin langsung oleh Grand Imam Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Al-Tayyib dalam rangka berbelasungkawa dan menyampaikan langkah-langkah konkret untuk mengenang sang sastrawan sekaligus ulama besar tersebut. []

Islamic Missions City, Agustus 2011
Ahmad Satriawan Hariadi

*Refrensi: Majalah Al-Azhar edisi Maret dan April 2011

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India