Lukisan Sesal dan Harap



Ada yang membahasakan dimensi yang berjarak
Hingga sepasang ciptaan kaku dan meringkih tertunduk
Mengeja masa lalu yang berharikan tawa lepas

Ada yang meratapi kepergian belahan jiwa
Bilamana masa-masa itu ada sempat untuk menyeka air matanya?
Agar sesal ini tak terpikul oleh sesaknya dada

Ada yang menangisi keindahan yang melepuh
Sebab dulu paras dan pesona mengisi mimpi-mimpi darah muda
Kini memandang diri pun bisa menjadi sedih tak berkesudahan

Ada yang menyesali kesempatan yang terabaikan
Masa kuat dan jaya terseret dalam ambigu lalu berlalu
Jiwa pun tak kuasa meredam teriakan penyesalan

Ada Jasad terpaku karena sihir dua senyuman
Sihir gadis jelita yang jenjang dan bermata lentik
Cekatan merawat pujangga dan menerima apa adanya

Islamic Missions City, Syawal 1433 H
Ahmad Satriawan Hariadi

Kaum Terpelajar, Sejauh Mana?



Secara alami, kita sering memusuhi apa yang tidak kita ketahui. Bahkan, dengan pengetahuan kita terhadapnya yang masih setengah-setengah, kita semakin memusuhi hal tersebut. Hal tersebut, menurut pandangan penulis, sangatlah wajar. Bagaimana tidak, minat kita untuk lebih banyak membaca, kemudian menganalisis, lalu keluar dengan kesimpulan yang matang dan dipertanggungjawabkan—memang belum sampai kepada hal tersebut.

Hal tersebut juga diakui oleh sastrawan Arab terkemuka, Taha Hussein (1889-1973), terlepas dari pandangannya yang kontroversial. Menurutnya, minat kita terhadap membaca hal-hal yang berat memang sudah sangat menurun. Media-media, lanjutnya, merupakan hal-hal yang sangat ringan dan tidak membutuhkan jerih payah dan akal yang matang untuk memahaminya. Jika dicermati, apa yang dikatakan oleh Taha Hussein ada benarnya, dan sangat sejalan dengan apa yang kita lihat pada masa kita saat ini. Kaum terpelajar yang tugas utamanya adalah belajar dan belajar, sudah melupakan jati dirinya sendiri. Mereka lebih condong kepada hal-hal yang bersifat materi dan berpola pikir pendek.

Jika para pendahulu menjadikan materi sebagai penunjang untuk keberlangsungan studi mereka; seperti perjuangan Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu—maka kaum terpelajar saat ini menjadikan studi sebagai penujang keberlangsungan bisnis mereka; seperti visa pelajar yang dimanfaatkan untuk bekerja. Jadi, anda saat ini jangan berpikir masalah minat baca mereka, tapi seyogianya berpikir bagaimana mengubah paradigma kaum terpelajar ini. Mereka sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sehingga hal ini bukan saja menjadi kebiasaan, melainkan sudah menjadi karakter kaum terpelajar kita saat ini.

Jika setengah abad yang lalu sastrawan sekaligus pemikir Arab, Ahmad Amin (1886-1954) di dalam Faydh al-Khâthir, mengeluhkan keadaan kawula muda yang tidak mau menelaah dan mempekerjakan otaknya untuk membaca dan menanalisis buku-buku besar, sehingga mereka cenderung terbiasa dengan bacaan-bacaan yang tidak menguras energi dan pikiran; semacam koran, majalah, dan cerita-cerita ringan—maka saat ini kita jangan sampai mengeluhkan yang sama. Sebab kawula terpelajar belakangan ini memang tidak mau membaca dan belajar. Kita akan mendapati bahwa cita-cita yang begitu mulia dan tinggi akan berbanding terbalik dengan upaya untuk mengaktualkannya.

Maka produktivitas kaum terpelajar kita saat ini berada pada titik nadir yang ironis. Mereka sudah tidak lagi berpikir tentang sumbangsih kepada agama dan negaranya. Mereka sudah tidak lagi berpikir masalah peradaban. Mereka sudah tidak lagi berpikir masalah ketertinggalan. Mereka hanya bisa berkomentar dan berkomentar. Mereka hanya bisa mengkritik. Lidah mereka bukan lagi aktualisasi kematangan nurani dan pikiran, melainkan bahasa nafsu yang pedas dan menyakiti perasaan. Mereka hanya bisa memikirkan keuntungan apa yang bisa diraup untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Sampai kapan engkau seperti ini wahai kaum terpelajar?

Islamic Missions City, 8 Syawal 1433 H

KECEWA



Kecewa adalah kehidupan
Tak selamanya hidup kuasa tertawa
Adakala air mata dan ringkih jiwa
Sampai tak kuasa membuka mata

Adakala keindahan rekah bunga tak mampu mengalir ke hati
Hingga dada terpasung dalam sempit kesedihan

Bilamana mimpi tentang dia
menjelma nyata?

Kecewa ini dibalut air hujan
Mengapa harus sekarang?
Sementara harapan telah puluhan purnama memaknai wujudnya
Ia telah membahasakan sempurnanya ciptaan
Mengukir nama dan jiwanya di hidupku

Kini nyawa tergeletak di bawah surau
Mengadu kecewa di balik simpuh kesunyian

Aku kecewa!
Pergilah!

Syawal 1433 H

Secret Admirer (Cerpen)


Obsesi dan harapan terhadap sesuatu memang tidak ada putusnya. Keduanya terus bermetamorfosis bersama mentari yang tak bosan menampakkan lesung pipinya di ufuk timur, begitu juga riak-riak merah merona yang romantis saat ia terbenam. Ada saja tawaran yang menggiurkan dari hidup kepada manusia dalam iringan detik-detik kehidupan.
Manusia dalam hal ini hanya bisa berkaca-kaca dalam hasrat yang haus dan kelaparan. Pikirannya pun dipenuhi dengan obsesi dan harapan agar bisa lebih dekat lalu bersua. Selepas itu, apakah tawa atau tangis? Tidak ada yang tahu. Lalu bagaimana jika obsesi dan harapan betah dalam pertapaannya sehingga tidak kunjung berwujud?
Langkah boleh saja pasti. Tekad boleh saja membaja. Namun keberanian untuk membuatnya menjadi nyata, masih saja terlelap dalam pikiran dan pandangan. Ia telah lama memendamnya dalam hati. Pertemuannya yang cukup rutin di angkutan umum saat pulang dari kampus membuat wajah dan cekikikan gadis Pattani itu menginang erat di rongga hati.
Belakangan ini, ia baru tahun nama gadis itu dari Ismail, teman sekampusnya yang berasal dari Pattani, Thailand. Naya. Ya, nama gadis itu adalah Naya. Mahasiswi bertubuh jenjang asal Pattani Thailand itu ternyata harus memperdalam bahasa Arabnya di Kulliyah al-Ulum al-Azhariyah atau yang lebih populer di kalangan mahasiswa Indonesia dengan sebutan Daurul Lughah. Sementara dirinya, pada tes perdana yang ia jalani di Mesir, dinyatakan lulus dan bisa langsung tercatat sebagai mahasiswa pada fakultas yang ia pilih sebelumnya. Ia lebih memilih fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah atau yang lebih dikenal di kalangan mahasiswa asing di Madinatul Buus (asrama resmi mahasiswa asing Universitas al-Azhar) sebagai Kulliyah al-Rijal (kampusnya para kesatria), yang berada di kawasan H-6, Nasr City, bersebelahan dengan kampus Daurul Lughah.
***
Sudah enam bulan ia digerayangai perasaan yang tak menentu jika ia bertemu dengan gadis putih itu. Dampaknya pun selalu begitu, gadis itu menjadi trending topic di dalam pikiran dan napas yang ia hembuskan selepas ia tiba di flatnya. Sampai saat ini ia tak kunjung berani untuk sekedar menyapanya. Memang, mahkota azhari yang bertengger di atas kepalanya, selalu mencegah hasrat dan memasung mimpinya.
“Sampai kapan kamu seperti ini? Oh ya, saya pernah menonton film Alexandria. Apa kamu tidak takut menyesal di kemudian hari, kalau sampai Naya belum tahu perasaanmu, seperti seperti sosok Bagas yang akhirnya harus menerima kenyataan pahit karena ia terlambat mengungkapkan cintanya pada Alexandria?” kata Reza membuyarkan lamunannya.
Nadif hanya menggelengkan kepalanya. Perasaannya masih terus terkatung-katung tak menentu. Suasana seperti itu seringkali membuat lidah membeku.
“Sudahlah, Bro! Besok, kalau kamu ketemu dengan Naya, disapa saja, terus kenalan, gimana?” ujar Reza menawarkan idenya.
“Nggak!” jawab Nadif tegas sambil memusatkan pandangannya kepada Reza.
Melihat hal demikian, Reza pun memahami keadaan sahabatnya. Nadif memang tertekan dengan perasaannya sendiri yang terkadang bisa membuat orang menjadi sangat sensitif. Keduanya pun membatu.
“Sampai kapan pun, saya tidak akan menyapanya, apalagi kenalan, titik!” suara Nadif memecah keheningan. “Saya juga akan berusaha untuk tidak bertemu lagi dengannya. Mulai hari ini, Naya lenyap, Naya mati, Naya is no more! Jadi kamu jangan sekali-kali menyebut nama gadis itu di depan saya. Saya kesini mau belajar. Saya tidak mau kalau nilai saya pada tahun kedua ini terperosok gara-gara dia.”
***
Usia termin dua sudah merenta. Para mahasiswa sibuk mempersiapkan dirinya untuk melawan momok ujian yang siap memupus optimisme atau boleh jadi mengukir kebahagiaan di pelupuk mata. Semua tergantung pada diri masing-masing. Jika meremehkan, maka rasa sok pintar akan bercokol di dalam sikap dan tingkah laku. Ujung-ujungnya pun tampak jelas, tangis dan penyesalan. Sedangkan jika tidak meremehkan, maka itu adalah seberkas cahaya di esok hari. Ada ribuan tawa dan cekikikan yang mengantre di depan sana.
Nadif sibuk mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ujian. Ia mendesain kamarnya agar ia bisa belajar senyaman mungkin tatkala berduaan dengan diktat kuliahnya. Ia benar-benar all out untuk hal ini. Naya dan wajahnya entah kemana. Persinggahannya hanya dua, masjid dan kamarnya.
Ujian termin dua ia jalani dengan suka cita. Rona kepuasan selalu menjadi penuntas goresannya pada lembar jawaban ujian. Liburan musim panas pun telah menantinya di lintasan kehidupan. Ia kini telah menemukan dunia barunya. Nadif tidak pernah bertemu lagi dengan Naya sejak ia bertekad untuk menghindari pertemuannya dengan gadis itu. Ketika berangkat ke kampus, ia lebih memilih mengendarai mobil Tramco daripada bus umum; dengan rute dari Buus ke Duwea, dari Duwea ke kampusnya.
Berbeda halnya dengan Naya. Saat para mahasiswa di fakultas-fakultas lain mulai menikmati liburan musim panas mereka, mahasiswa-mahasiswi Daurul Lughah masih tetap intens mengikuti perkuliahan. Ada sepuluh mustawa (jenjang) yang mesti dilewati oleh mahasiswa Daurul Lughah agar bisa mengecap manisnya bangku perkuliahan yang sebenarnya. Naya kini sudah berada di mustawa terakhir. Sebentar lagi gadis manis itu akan berkampus di Awal Sabi, pusat kampus putri Universitas al-Azhar.
Godokan para dosen di Daurul Lughah rupanya sudah cukup memberikan Naya kepercayaan dirinya untuk masuk ke dalam dunia perkuliahan al-Azhar yang sejati. Kemampuan membaca, memahami, dan menulis Arabnya sudah cukup mumpuni untuk masuk jurusan bahasa Arab di Fakultas Dirasat Islamiyah Banat, jurusan yang ia cita-citakan sejak ia masih di Pattani dulu.
Cerita tentang perasaan Nadif kepadanya sama sekali ia tidak tahu. Selama ini ia lebih memilih menunduk atau bercanda ria bersama temannya saat mengendarai angkutan umum. Naya tidak pernah terpikir sedikit pun, kalau selama ini, ada yang diam-diam memperhatikan gerak-geriknya. Nasib yang menyebabkan ia masuk ke Daurul Lughah sudah cukup membuatnya sadar diri, bahwa ia memang harus belajar lebih intens lagi.
***
Aula Wisma Nusantara sore itu terbilang cukup ramai. Perkumpulan mahasiswa Pattani mengadakan acara hajatan besar selepas ujian termin dua. Aneh memang. Wisma Nusantara yang semestinya lebih sering diramaikan oleh mahasiswa Indonesia dengan berbagai aktivitas, baik yang bersifat akademis maupun sosial, nyatanya tidak demikian. Justru mahasiswa asing-lah yang lebih aktif memakmurkan Wisma Nusantara dengan geliat intelektual dan sosial yang signifikan; sebut saja mahasiswa Pattani  yang selalu mengadakan kajian intens minimal satu kali seminggu, dan lain-lain.
Naya rupanya tidak ketinggalan untuk menghadiri acara hajatan tersebut. Acara pun berjalan sesuai dengan agenda yang ditetapkan. Ketika Naya hendak pulang tiba-tiba ada yang memanggil namanya.
“Bagaimana kabar Nadif?” sapa Ismail yang tidak lain merupakan teman sekampungnya.
Kening Naya mengkerut. Ia bingung dengan pertanyaan Ismail. Hatinya ingin sesegera mungkin mengetahui maksud dari pertanyaan temannya.
“Nadif?”
“Iya, Nadif.”
“Siapa Nadif? Ada apa dengannya? Apa kaitannya denganku?”
Ismail tersentak. Ternyata dugaannya selama ini salah. Perkiraanya kalau Nadif dan Naya sudah saling kenal satu sama lain—kemudian mengubahnya menjadi kesepahaman, sehingga ikatan batin antarkeduanya terjalin menuju cita-cita yang mulia—salah total. Naya belum tahu sedikit pun tentang Nadif. Apalagi mengetahui rencana dan harapan Nadif terhadapnya. Ismail kini bertanya-tanya kepada dirinya. Buat apa Nadif bertanya begitu detail tentang Naya selama ini? Ismail pun menceritakan kepada Naya perihal Nadif dan perasaannya.
***
Hati gadis itu bimbang. Ia senang, bingung, dan penasaran sekaligus. Senang karena ternyata ada juga kaum Adam yang menjadi pengagum rahasianya selama ini. Bingung karena pemuda tersebut tidak kunjung berani untuk sekedar memperkenalkan namanya. Padahal, menurut Ismail, ia begitu terobsesi untuk bisa menjalin hubungan dengannya. Sedangkan rasa penasarannya tertuju pada sosok pemuda tersebut. Bagaimana rupanya? Bagaimana akhlaknya? Dan bagaimana seterusnya?
Perasaan tak menentu tersebut terus melekat bersama Naya. Hal ini terus berlanjut sampai ia benar-benar lulus dari Daurul Lughah. Kini Naya sibuk mengurus berkas-berkasnya di bagian Tansiq dan Daurul Lughah sendiri untuk kemudian dikirimkan ke Kulliyah Banat. Tetapi Naya pada tahapan berikutnya mengalami kesulitan di bagian Tansiq (penerimaan mahasiswa baru), karena proses administrasinya yang berbelit-belit. Gadis itu menangis kecewa di pojok rektorat. Ia terus di-bukroh-kan (disuruh datang besok pagi) oleh pegawai Tansiq. Sudah lima kali ia ke tempat memuakkan tersebut. Ia tak habis pikir, Ia ternyata tercatat di Departemen Ushuluddin, bukan Departemen Bahasa Arab. Permasalahan pun semakin kompleks. Ia semakin meringis pilu.
Naya saat ini mempunyai permasalah baru. Ia harus segera mengurus administrasi perpindahan jurusan sebelum berkas-berkasnya dipindahkan ke Kulliyah Banat. Ia teringat dengan Ismail. Ia harus meminta bantuan sahabatnya. Proses administrasinya kini mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Surat permohonan perpindahan jurusan kepada Rektor sudah rampung. Begitu juga dengan uang administrasi sebesar EGP. 200,00, sudah ia setorkan.
Rona keceriaan bersemi di pelupuk mata gadis berkerudung lebar ini. Rasa terima kasihnya tiada terkira. Kini ia mengerti betul arti sahabat. Ismail hanya tersenyum mendengar sahabat kecilnya berterima kasih girang. Tiba-tiba Naya teringat dengan Nadif, sosok yang menghadirkan tiga perasaan sekaligus dalam hidupnya akhir-akhir ini. Tetapi Ismail hanya menjawab sekenanya. Ismail mengakui kalau intensitas pertemuannya dengan Nadif selepas ujian semakin jarang.
“Dia jarang kelihatan di Buus.”
“Mmm. Begitu ya?!” rona ketidakpuasan terpacar cerah di sela-sela kerutan dahi Naya.
Ismail hanya menganggukkan kepalanya, lalu meneruskan langkahnya menuju halte bus di belakang Fakultas Tarbiyah. Sambil menunggu bus jurusan Darrasa, mereka mengisi waktu dengan obrolan-obrolan ringan.
“Bagaimana natijah-mu (nilai ujian)?” tanya Naya.
Natijah ya? Hehehe. Sudah keluar kemarin. Alhamdulillah saya najah (lulus). Jayyid.”
“Alhamdulillah. Mmm. Oh ya, kalau Nadif bagaimana?”
“Oh ya, saya lupa memberitahu kamu tadi. Saya sangat salut terhadap pengagum rahasiamu itu. Dia satu-satunya wafidin (mahasiswa asing) yang mendapatkan predikat Imtiyaz di Fakultas Dirasat.”
Mata Naya berkaca-kaca lalu tersenyum lebar. Ada perasaan bangga yang meluap-luap dari lubuk hatinya yang terdalam. Ia bangga karena yang menjadi secret admirer-nya adalah seorang yang brilian. Rasa penasaran dan kagumnya terhadap sosok Nadif mulai menyemi indah di setiap rongga hatinya. Hatinya berulang kali mendesaknya untuk mengetahui dan melihat secara langsung pemuda brilian itu. Tiba-tiba Ismail membuyarkan lamunannya.
“Kok tersipu gitu sih Nay? Busnya datang tuh. Ayo kita naik!”
“I..iya.”
Mereka berdua harus berdiri. Kursi yang ada di dalam bus itu terisi penuh. Mereka kembali melanjutkan obrolan, sementara pengemudi mulai memacu angkutan umum tersebut.
“Lah! Itu Nadif baru keluar dari pintu gerbang utama!” kata Ismail tiba-tiba memotong pembicaraan, seraya mengarahkan telunjuknya pada sosok pemuda.
“Hah! Mana orangnya?” tanya Naya terperanjat dengan perasaan tak menentu.
“Itu lo! Pemuda bertubuh jenjang yang mengenakan kaos bola.”
Naya hanya tersenyum. Ia membiarkan hatinya menafsirkan kalimat-kalimat jiwa yang tersulam dalam rasa kagum, bahagia, bahkan rindu. Perasaan gadis jelita berdarah melayu itu tak menentu. Ia mengunci lidah lalu membatu di atas pijakannya. Lengkap sudah rentetan kebahagiaan yang mengitari hidupnya hari ini. Proses adimistrasinya sudah hampir ia rampungkan dan ia akhirnya mengetahui sosok pemuda yang mengaguminya selama ini. Bahkan sebaliknya, pemuda yang mulai ia kagumi untuk saat ini dan seterusnya.
***
“Mau kemana Dif? Rapi amat,” sapa Reza.
“Ke acara peringatan malam Lailatul Qadar. Lah! Kamu tidak ikut? Ada Syekh Azhar lo!”
“Aduh maaf, saya ada acara di kekeluargaan. O ya, nanti kalau kamu pulang, jangan lupa dibagi-bagi ilmunya.”
Nadif beranjak meninggalkan kamarnya menuju halte bus yang berada di depan Rumah Sakit Buus. Acara tersebut dilaksanakan di Al-Azhar Conference Center (ACC) yang terletak di H-6, Nasr City. Pembicaranya hanya tiga orang; Syekh Azhar, Mufti, dan Menteri Wakaf. Nadif menyimak dengan saksama apa yang disampaikan oleh para ulama tersebut. Setelah secara perlahan ia berusaha menghilangkan Naya dari kehidupannya beberapa bulan terakhir, kini ia berhasil melepaskan diri dari kungkungan perasaan. Ia merasa bahwa perasaanya terhadap Naya selama ini ia rasakan seorang diri. Perasaan yang memasung riak-riak kebahagiaan di hari esok. Nadif bertekad untuk terjun total ke dalam geliat keakademisan, layaknya seorang penuntut ilmu. Selepas ujian termin dua hingga menjelang kepergian Ramadan ini, konsentrasinya hanya tertuju pada kegiatan talaqqi, membaca, dan menyempurnakan hafalan al-Qur’an.
Acara yang berlangsung di Qa’ah Andalus (Aula Andalus) tersebut belangsung tertib. Selepas acara, sebagian hadirin beranjak ke depan panggung untuk bersalaman dengan para narasumber sekaligus foto bersama. Sementara Nadif lebih memilih keluar dan langsung pulang. Akan tetapi langkahnya terhenti beberapa meter sebelum menapaki pintu ruangan. Ia terhentak sejenak, lalu membatu dengan tatapan kosong. Ia bertemu pandang dengan seorang gadis yang tidak asing dalam hidupnya. Ya! Nadif dan Naya terdiam sejenak dalam tatapan mereka satu sama lain.

Islamic Missions City, 12 Ramadan 1433 H
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India