Aku Heran


Aku heran dengan keraguan manusia pada Tuhan
Padahal mereka melihat ciptaan Tuhan

Aku heran dengan kematian yang dilupakan
Padahal mereka melihat kematian yang berhamburan

Aku heran dengan kehidupan setelah mati yang diingkari

Padahal mereka melihat kehidupan dari ketiadaan diri

Aku heran dengan kefanaan yang dimakmurkan

Namun mereka membiarkan kebadiaan dihancurkan

Aku heran dengan keangkuhan dan kesombongan manusia

Padahal kemarin mereka berupa air lalu esok menjadi jasad tak bernyawa

(Terinspirasi dari perkataan Khalifah Umar bin Khattab)

23/9/2012

Bayi Itu Saudaramu!



Balita itu terkubur reruntuhan
Bukan sekali dua kali mata memandangnya
Ada wajah-majah mungil di Palestina
Yang harus kembali lagi kepada Tuhan
Setelah menikmati dua tiga teguk napas kehidupan

Ada sedu-sedu bayi di Irak saat fajar
Namun kembali sunyi dibawah cahaya lembayung
Ada juga di Bosnia, Rohingya, Kashmir, dan pelosok-pelosok Dataran Biru
Raga ini tegar bersama miris jiwa yang menangis

Namun belakangan ini raga dan dan jiwaku sama-sama ringkih
Aku melihat bayi di Syiria terkubur reruntuhan rumahnya sendiri
Setengah raganya masih terbenam di bumi
Tidurnya pulas sekali
Rambutnya menguban
Kulitnya memutih

Iya, sisa-sisa reruntuhan melapisi tubuhnya

Jika sebelumnya para pembantai adalah musuh yang dituliskan Alquran
Maka di Syiria pembantainya adalah saudara mereka sendiri
Ia adalah teman bermain masa kecil
Sama-sama berlari mengitari kampung kelahiran
Lalu berteriak sekeras-kerasnya

Kekuasaan telah menutupi mata hatinya
Jabatan telah melenakan siang malamnya
Kini ia berpijak di atas kepala rakyatnya
Berjalan dan berlari seharian

Bayi itu terlalu lemah untuk dijadikan pijakan
Bayi itu seharusnya diiming-iming dengan kasih
Bayi itu adalah saudaramu, Kawan!
Jangan heran! Bayi itu akan jadi bumerang suatu saat nanti

Islamic Missions City, Syawal 1433 H

GURU



Salah satu kelebihan yang Allah berikan kepada kita adalah kerunia ilmu pengetahuan yang diajarkan lewat perantara guru. Jika dicermati, tugas guru hampir serupa dengan tugas Rasulullah. Guru-lah yang membimbing dan menuntun manusia agar senantiasa berada pada rel kebenaran dan cahaya ilmu pengetahuan. Maka dalam hal ini, sungguh tepat orang Arab tatkala mengatakan, “Hampir saja seorang guru menjadi Nabi.”

Jika meniliti tabiat kehidupan lebih jauh, maka semua makhluk Tuhan (baca: alam semesta) adalah guru, terlebih kita sebagai manusia, yang ditunjuk menjadi khalifah di muka bumi. Kita adalah guru bagi diri kita sendiri, kemudian keluarga, hingga menjadi guru bangsa.

Ini merupakan konsekuensi logis yang mesti kita terima dengan lapang dada. Sebab, tabiat hidup memang telah didesain untuk selalu berubah setiap detiknya, sehingga menuntut kita untuk selalu siap menempati posisi yang ditinggalkan oleh para pendahulu.

Kita harus menujukkan bahwa kita—sebagaimana kata Sultan Muhammad al-Fatih saat hendak menaklukkan Konstantinopel—memang layak menjadi penerus generasi terdahulu.

Proses regenerasi merupakan bukti yang paling konkret, betapa kita memang harus menjadi guru—terlepas dari pekerjaan sebagai guru formal. Proses pertumbuhan dan perkembangan yang kita alami; mulai dari balita hingga dewasa—membuktikan bahwa hidup memang tidak stagnan. Rela atau tidak, hidap telah mendaulat kita menjadi guru bagi orang-orang setelah kita.

Generasi setelah kita adalah tanggung jawab kita seutuhnya. Jika tidak bisa memberikan pendidikan/pengajaran yang lebih baik dari apa yang telah diberikan oleh pendahulu kita, maka paling tidak kita harus memberikan hal yang sama kepada generasi setelah kita.

Oleh sebab itu, hal yang paling logis untuk kita lakukan adalah melakukan pembenahan diri sejak dini. Kita harus menjadi sosok yang matang dan berkualitas secara pola pikir, yang kemudian diaktualkan dengan tindakan yang terpuji dan bermanfaat bagi umat manusia.

Untuk menjadi sosok yang didamba tersebut, tentu tidak mungkin dicapai dengan bermimpi atau bermalas-malasan. Pola pikir yang matang dan berkualitas hanya akan didapati dengan membaca kehidupan, yaitu dengan menambah pengalaman dan memperkaya wawasan kita.

Adapaun cara yang paling jitu untuk memperkaya pengalaman adalah berinteraksi langsung dengan alam semesta, bukan berdiam diri di tempat tinggal. Begitu juga dengan pengayaan wawasan, kita tidak mungkin bisa memperkaya wawasan dengan cengengesan di depan laptop ataupun nongkrong di mall maupun di pinggir jalan. Wawasan kita hanya akan bertambah dengan membaca dan membaca.

Kematangan pola pikir saja tidak cukup untuk menjadi sosok ideal bagi seorang guru. Ia harus mengaktualkannya dalam tindakan-tindakan terpuji, hingga ia menjadi teladan yang baik bagi orang disekitarnya. Proses pengaktualan ini—dalam aplikasi realnya—tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia membutuhkan motor penggerak yang senantiasa mengarahkannya untuk melakukan tindakan yang bermanfaat bagi umat manusia. Motor penggerak tersebut adalah keimanan yang kokoh dan kesempurnaan tawakal kepada Tuhan.

Kondisi ekonomi kita boleh saja tidak kuasa mengantarkan kita menyelesaikan jenjang pendidikan yang kita dambakan. Namun, jangan sampai terbesit dalam pikiran kalau kita tidak ada apa-apanya di dunia ini.Kita adalah guru yang sejati. Guru bagi generasi setelah kita. Jika kita hanya bisa menyebrangi satu pulau, maka generasi setelah kita harus mengelilingi dunia. Obsesi mereka tidak akan bisa menjadi kenyataan kecuali adanya dorongan yang konsisten dari kita, selaku guru bagi mereka semua.

Islamic Missions City, 4 September 2012
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India