Sebuah identitas yang menjadikan pemiliknya terpandang dan patut
berbangga diri. Apalagi jika tambahan 'luar negeri' atau 'al-Azhar' mengekor di
belakang identitas tersebut. Tidak hanya itu, dengan kondisi yang tergolong minoritas,
tentu akan menjadikan pemiliknyanya terpandang dan meningkatkan nilai serta
daya pikatnya. Pemegang identitas tersebut bukan hanya menjadi primadona dan
dambaan pada komunitas yang ia tempati, melainkan di tanah kelahirannya
sendiri, Indonesia. Ya, identitas sebagai seorang 'mahasiswi luar negeri' atau
'mahasiswi al-Azhar'.
Berdasarkan data statistik Wihdah-PPMI yang terbaru, jumlah
mahasiswi Indonesia yang menempuh pendidikan di Bumi Kinanah ini sekitar 829
Mahasiswi. Jika dipersentasekan, maka jumlah mahasiswi tersebut hanya 24% dari
total keseluruhan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang berjumlah 3500 orang.
Sedangkan jika melihat persentase kelulusan mahasiswi tahun sebelumnya, seperti
kelulusan mahasiswi Departemen Syariah Islamiyah Fakultas Dirasat Islamiyah
Banat misalnya yang mencapai 73% dari total kelulusan para pelajar dan
mahasiswa yang hanya mencapai 57%.
Artinya, kelulusan para mahasiswi tersebut di atas rata-rata.
Bahkan yang mendapat predikat lulusan terbaik pada acara Wisuda Sarjana tahun
2011 kemarin juga dari kalangan mahasiswi. Dengan demikian, para mahasiswi
sudah membuktikan eksistensi mereka, layaknya seorang akademisi. Akan tetapi
jangan sampai pencapaian tahun kemarin, membuat para mahasiswi menjadi besar
kepala dan merasa di atas angin. Dalam artian jangan sampai bermalas-malasan
dan cenderung meremehkan pelajaran atau mata kuliah, sehingga mulai jarang
menghadiri perkuliahan serta memangkas porsi membaca. Namun hal yang sepatutnya
dilakukan para mahasiswi adalah semakin berbenah diri dan terus memperkaya
khazanah keilmuan mereka.
Dalam hal ini Mesir (baca: keadaan) memang menyuruh sekaligus
mengharuskan mahasiswi untuk bersikap pragmatis. Mengapa? Karena durasi empat
tahun di Negeri Piramid ini tentu sangat tidak cukup untuk meraup khazanah
keislaman dan kearaban secara maksimal, sesuai tujuan para mahasiswi
meninggalkan kampung halamannya. Jika efisiensi waktu secara maksimal saja
tidak cukup, apalagi jika para mahasiswi larut dalam imajinasi semu yang
membuang-buang waktu serta aktivitas-aktivitas yang mengubah persepsi khalayak
terhadapnya.
Dengan demikian, sudah sepatutnya mahasiswi menghargai dirinya
sendiri dan sesegera mungkin menyadari esensi yang telah lama luput dari
perhatiannya. Bahwa ia memang adalah seorang pilihan dan primadona yang menjadi
dambaan khalayak. Sesaat kemudian, ia semakin berbenah diri dan mengatur waktu,
serta menetapkan skala prioritasnya. Sehingga ia hanya akan melakukan sesuatu
yang mendatangkan profit dan dampak positif saja kepadanya, terutama dalama hal
keakademisan. Dengan begitu, ia akan semakin tekun mengahadiri perkuliahan dan
giat mengikuti majelis-majelis keilmuan seperti di Masjid al-Azhar dan
lain-lain.
Begitu juga sebaliknya, dengan kesadaran tersebut, segala bentuk
kegiatan atau rutinitas yang berdampak negatif dan bersifat nonprofit dalam hal
keakademisan tentu akan ditinggalkan dan dibuang jauh-jauh oleh mahasiswi. Di antara hal-hal
negatif dan runititas yang bersifat nonprofit—sebagaimana pengakuan sebagian
mahasiswi dan yang kita lihat sendiri—seperti keranjingan menonton film dan
cengengesan di depan komputer; terus menerus tidur dan berdiam diri di kamar
tanpa melakukan kegiatan ilmiah seperti membaca, menulis, dan lain-lain;
terlalu sibuk di organisasi dan kepanitiaan tertentu; keseringan jalan-jalan
dan makan-makan di math`am tertentu bersama doi atau teman-teman; kecanduan
ngobrol hingga lupa waktu; dan tentu masih banyak lagi bentuk disorientasi dan
rutinitas tak bermutu ala mahasiswi Indonesia di Mesir, yang bisa jadi
menenggelamkan pesona mahasiswi dan mengubah persepsi khalayak terhadapnya.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, jika kesamaan lifestyle mahasiswi
al-Azhar dengan mahasiswi di tanah air, sedangkan persepsinya berbeda, membuat
mahasiswi al-Azhar bersembunyi di balik pengkultusan masyarakat terhadap
dirinya sebagai lulusan Timur Tengah (baca: al-Azhar), sehingga terkesan
hipokritis.
Dengan demikian sikap pragmatis memang sangat diperlukan, mengingat
durasi studi yang amat singkat (empat tahun saja), sedangkan khazanah keislaman
dan kearaban terlalu luas dan banyak untuk diraup dan digali di sini (Mesir). Jangan
sampai ketika pulang nanti, kapasitas keilmuan mahasiswi sama seperti sebelum
meninggalkan kampung halaman. Tentu hal ini sangat tidak diinginkan oleh siapapun,
terutama mahasiswi yang bersangkutan.
Di antara hal yang paling penting untuk diperhatikan mahasiswi
adalah bagaimana menjaga moodnya agar tetap stabil dan rileks. Inilah
salah satu yang membedakan tingkat pencapaian mahasiswi pada umumnya, baik
dalam hal keakademisan maupun keorganisasian. Sebab jika mahasiswi tidak pandai
menjaga dan mengatur perasaan serta suasana hatinya, maka minat dan semangat
untuk melakukan kegiatan ilmiah seperti kuliah, belajar, talaqqi, dan lain-lain
akan semerawut juga. Begitu juga sebaliknya, jika mahasiswi pandai dan cekatan
mengatur moodnya, maka bisa dipastikan kalau tahun depan, akan muncul
para mumtazer yang jauh lebih baik dari sebelumnya dan geliat dinamika
kemahasiswian—yang selama ini terkesan pasif—akan menyaingi hegemoni dinamika
kemahasiswaan, serta semakin mewarnai ranah kemasisirian secara umum. Jadi,
peranan mood memang tidak diragukan lagi sebagai motor penggerak
kehidupan mahasiswi.
Selanjutnya dari segi lifestyle, kita akan menemukan gaya
hidup sebagian mahasiswi Indonesia di Mesir—sebagaimana pengakuan beberapa
mahasiswi—yang cenderung glamor dan modis. Hal tersebut sah-sah saja. Namun
jika kita bandingkan dengan paradigma keazharan, tentu hal tersebut jauh dari
nilai keazharan dan identitas sebagai seorang muslimah itu sendiri. Al-Azhar
dan identitas sebagai seorang muslimah, memiliki konsekuensi logis untuk untuk
bersikap dan berpenampilan ala al-Azhar dan layaknya seorang muslimah
yang belajar ilmu-ilmu keislaman dan kearaban. Paling tidak, lifestyle
kita merupakan cerminan dari aplikasi ilmu yang yang telah diraup dari
al-Azhar, sumber dan pusat keilmuan
Islam Moderat di dunia.
Jangan sampai pada akhirnya ilmu dan wawasan keislaman dan kearaban
yang ada dan melekat, hanya berkutat di batang lidah dan ujung pena saja.
Sementara diri kita sendiri jauh, bahkan keluar dari nilai-nilai keislaman dan
kearaban itu sendiri. Bangsa Indonesia kini benar-benar butuh pada sosok-sosok
jebolan Timur Tengah yang memiliki kematanganan ilmu dan wawasan keislaman dan
kearaban yang komprehensif, kemudian disertai pembangunan integritas dengan
paradigma keazharan. Sehingga kesadaran dan introspeksi diri mahasiswi saat ini
memang sangat-sangat diperlukan, terutama para mahasiswi yang hendak
menyelesaikan studinya.
Pada akhirnya, kita juga harus mengakui bahwa kita—mahasiswa maupun
mahasiswi—memang berada dalam masa transisi dari jenjang remaja menuju tahap
kedewasaan. Dalam hal ini, kita juga harus mengakui bahwa masa transisi ini
merupakan masa kelabilan yang sangat rentan untuk mengintervensi mindset
dan lifestyle mahasiswa maupun mahasiswi. Sehingga tahap ini merupakan
sarana yang paling tepat untuk pembelajaran kedewasaan baik dari cara berpikir
maupun bersikap. Dengan demikian, tahap ini juga mengukuhkan bahwa betapa
mahasiswi sudah tidak bisa lagi diperlakukan seperti anak sekolahan, apalagi
seperti anak kecil. Mereka sendirilah yang lebih tahu esensi dirinya sendiri,
sehingga ia akan tahu apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak perlu. Dalam
hal ini timbul pertanyaan, "Mahasiswi, mau kemana?"
Islamic Missions City, 10 Maret 2012