Strategi dan Kesabaran


"Esensi dari strategi adalah kesabaran," kata tokoh utama tersebut kepada temannya. Ia juga menjelaskan bahwa inti dari kungfu adalah kecepatan dan inti dari cinta adalah pengorbanan. Itulah cuplikan adegan yang saya dapati saat menonton film mandarin "Treasure Inn" yang dirilis pada tahun 2011 kemarin.

Filosofi yang diutarakan tokoh utama terkait strategi dan kesabaran tersebut ada benarnya, bahkan patut menjadi bahan renungan yang dalam. Bagaimana tidak, kita sering kali menemukan seseorang yang begitu lihai meracik peta kehidupan serta  pencapaian-pencapaian yang akan ia gapai di masa depan, namun nyatanya tidak sedikit  dari mereka yang menemui jalan buntu, atau dengan kata lain, ia mendapati dirinya sangat jauh dari harapan dan cita-citanya, bahkan gagal total.

Hal tersebut tidak lain disebabkan karena banyak dari mereka yang terkapar letih dan putus asa di tengah jalan. Mereka sepertinya lupa, bahwa di depan sana ada berbagai ujian dan rintangan yang siap menggerayangi habis harapan dan cita-cita mereka, saat menetapkan pencapaian-pencapaian tersebut. Mereka hanya memikirkan hasil, sedangkan di sisi lain mengabaikan sarana dan jalan untuk mendapatkan hasil tersebut.

Inilah kenyataan yang kita saksikan pada orang-orang di sekeliling kita, bahkan diri kita sendiri. Kita sering kali kalah saat melawan rintangan-rintangan, baik yang berasal dari dalam diri kita, seperti rasa malas, bosan, penat, sakit, dan lain-lain; maupun lingkungan sekitar, seperti keadaan yang tidak mendukung dan ketiadaan sarana dan prasarana.

Jika strategi sudah kita rancang dengan begitu sempurna, maka yang perlu kita lakukan adalah bagaimana agar kita tetap berjalan di atas lintasan strategi tersebut, sehingga kita bisa menggapai impian dan cita-cita kita. Inilah yang dinamakan konsistensi, sedangkan di dalam bahasa Arab disebut al-istiqamah. Lalu bagaimana caranya agar kita tetap konsisten? Jawabannya adalah dengan bersabar. Iya, tadak ada cara lain selain bersabar. Dalam hal ini kita akan benar-benar memahami maksud dari perkataan tokoh utama tersebut, tatkala ia mengatakan, "Esensi dari strategi adalah kesabaran."


Islamic Missions City, 26/4/2012

Aku dan Kata


Aku tidak akan bosan memilah kata-kata
yang berserakan di lembah karunia langit
Kata-kata yang dengannya aku kuasa
menghilangkan keluh-kesah kesunyian
dan tangis senyap di ujung malam
Kata-kata telah menjelma bagai mata air
untuk hati yang gersang dan tandus
Lalu kata itu aku sulam menjadi potongan
kalimat jiwa yang diombang-ambing
sayup-sayup kesedihan dan kemurungan
Kata itulah yang membahasakan
setiap haluan perasaan dan harapan
Dalam kata ada seuntai cinta dan rindu
buat pencinta kecintaan dan perindu kerinduan

Sesekali air mata menjadi tinta pena
yang mengukir bahasa kesedihan
Terkadang seutas tawa menjadi pembuka
lembaran-lembaran yang hendak tergores
Akhirnya harapan dan doa yang tulus
menjadi muara aliran sungai kehidupan
Kata-katalah yang selama ini menakjubi mereka
yang sangat lugu dan pengertian
Sebab ia adalah bahasa fitrah
dan hikayat alam semesta
Kata hati akan menghujam sampai hati
Kata lisan akan terhenti di pendengaran
Inilah kata-kataku untuk kata-kata
Aku boleh saja rapuh dimakan masa
Namun kata-kataku tetap setia
membahasakan alur-alur kehidupan

Nasr City, 19 April 2012

Harapan untuk Cinta


Untaian kata-kata terlalu uzur
untuk menggoreskan bahasa hati ini
Biarkan raga melepuh kebingungan
karena tidak menentunya perasaan
Bagiku ia di antara puncak cinta
dan kerinduan pada ciptaan
Aku padanya adalah titik nadir hidupku
Darinya nafas harapan dan cita-cita
Meski harus berpisah jauh demi dia
Bisikannya adalah langkah-langkah pasti
Doanya adalah langit dan bumiku
Namun cinta kini terbaring lemah
di balik harapan dan nyawanya
Ia menanti karunia teragung dari langit
Agar kuasa berlari dan berteriak lagi
Harapku pada Tuhan untuk cinta
Wahai Tuhan, berilah cinta kesembuhan
Apalah aku di dunia ini tanpa dekapannya
Engkau tahu cintaku jauh di belahan sana
Engkau tahu cintaku kini menggigil murung
Tuhan, hanya Engkau tujuan doa harapan
Perkenankanlah kiranya!

Saat mamak sakit, 14/4/2012 

BEKERJALAH!


Muhammad, katakan kepada manusia!
Yang sibuk mengubur hidupnya
Antara benalu-benalu kesenangan
Pun mereka yang membumi lemah
Atau terperosok di kawah ketakutan
Sekali lagi katakan wahai Muhammad!
Kepada mereka yang menunggu kematian
Juga yang tak kuasa membuka mata
"Bekerjalah! Bekerjalah wahai manusia!
Bekerjalah karena Tuhan!
Karena mengharap rida Tuhan
Bekerjalah untuk kebaikanmu sendiri!
Jangan diam dan mengeluh saja!
Tuhanmu akan melihatnya
Muhammad akan melihatnya
Seluruh manusia akan melihatnya."

Intisari al-Qur'an surat al-Tawbah ayat 105
Islamic Missions City, 7/4/2012

MATA


Mata ini terus meredup lemah
Kejauhan perlahan hilang di pelupuk
Tersisa kedekatan yang semakin merapat
Tuhan, aku lelah sekali…
Aku kehilangan indahnya ciptaan
Semakin hari jiwa memekik tak kuasa
Jalanan hanya biasan cahaya
Goresan hanya garis-garis buram
Dunia menjadi pekat memuakkan
Lantas aku akan menangis pilu?
Tidak! Sedikit pun tidak!

Saat minus semakin bertambah, 6/4/2012

Distorsi Sejarah Masyarakat Madani, antara Islam dan Barat


Jika dispesifikasikan, ada dua hal yang menjadi misi Rasulullah; pertama, mengajak manusia hanya beribadah kepada Allah, sesuai dengan fitrahnya; kedua, mengatur tatanan sosial kemasyarakatan. Kedua hal tersebut telah dilaksanakan oleh Rasulullah secara berimbang, sebab misi yang pertama telah ditanamkan dan dipupuk secara sempurna ketika ia masih di Mekah. Sedangkan misi yang kedua juga telah diterapkan secara multidimensi ketika ia di Madinah. Ini dalam konteks penyampaian misi.

Adapun dalam perihal ajaran, Rasulullah pun mengajarkan dua konsep relasi—yang sama sekali tidak bisa dipisahkan antarkeduanya—kepada umatnya; pertama, relasi vertikal, yaitu relasi manusia dengan Tuhannya  yang dalam bentuk konkretnya berupa ketaatan manusia dalam menjalankan perintah maupun menjauhi larangan Tuhan; kedua, relasi horizontal, yaitu relasi manusia terhadap sesamanya yang berupa interaksi sosial dengan memperhatikan nilai-nilai dan norma kehidupan.

Kedua konsep relasi tersebut benar-benar diaplikasikan oleh Rasulullah ketika ia berada di Madinah. Ia menjadikan Madinah—dengan kondisi yang begitu plural, berikut dengan berbagai aliran kepercayaan yang ada di dalamanya—sebagai basis untuk meletakkan fondasi keislaman dan kemasyarakatan secara inklusif. Dalam hal ini Rasulullah berhasil membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan berperadaban. Inilah yang kemudian belakangan ini diistilahkan dengan masyarakat madani.[1] 

Dengan demikian, istilah masyarakat madani memiliki korelasi yang begitu erat dengan masyarakat madinah pada masa Rasulullah. Hal tersebut bisa dicermati secara jelas, bahwa konsep masyarakat madani tidak hanya berkutat pada perwujudan kondisi masyarakat atau warga Negara yang berperadaban dalam masalah duniawi, atau bentuk antitesis dari masyarakat militer maupun antitesis dari masyarakat politik. Akan tetapi konsep masyarakat madani—sebagaimana kondisi masyarakat Madinah pada masa Rasulullah—adalah perwujudan suatu masyarakat yang memiliki basis Iman dan Islam, yang kemudian dimanifestasikan dengan nilai dan norma yang dijunjung tinggi disertai geliat keilmuan dan kekaryaan, sehingga menghasilkan suatu komunitas yang memiliki integritas dan berperadaban. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah di Madinah adalah masyarakat yang menjadikan ukhrawi sebagai fondasi dan duniawi sebagai bangunan dalam konteks kemasyarakatan.

Berbeda halnya dengan konsep civil society (masyarakat sipil) yang baru dicetuskan di Barat pada abad ke 17.[2] Konsep civil society—yang kini menjadi wacana baku ilmu sosial—pada dasarnya dipahami sebagai antitesis dari 'masyarakat politik' atau negara. Pemikiran ini dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci, dan lain-lain. Pemikiran tersebut tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal terhadap eksistensi Negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme. Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis, yang terlihat dengan marginalisasi peranan masyarakat pada umumnya.[3]

Konsep civil society yang dipropagandakan di Barat hanyalah upaya marginalisasi peranan agama dalam segala aspek kehidupan. Sebab konsep ini dicetuskan dalam upaya mereduksi kekuasaan para raja yang berkuasan atas dasar legitimasi agama.[4] Sehingga nilai dan norma agama pun direduksi sedemikian rupa yang pada akhirnya memunculkan paham dikotomi antara negara dan agama, atau yang lebih populer disebut sekularisme.

Kemudian pada tahap selanjutnya, kata civil society ini yang sebenarnya memiliki terjemahan 'masyarakat sipil', pada akhirnya diterjemahkan menjadi 'masyarakat madani'. Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya integrasi konsep masyarakat madani yang telah diterapkan pada masa Rasulullah dengan konsep civil society yang dipropagandakan Barat, sehingga pada akhirnya keduanya seperti satu kesatuan yang begitu utuh. Bahkan mirisnya, hal tersebut diamini oleh beberapa kalangan intelektual muslim Indonesia, seperti Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo, dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam perspektif Islam dan civil society yang didengungkan di Barat adalah sama, karena kata 'madani' menunjuk pada makna peradaban dan kebudayaan, begitu juga kata 'civil' yang merujuk pada pola kehidupan yang teratur dalam lingkungan masyarakat.[5] Jika adanya demikian, maka masyarakat madani merupakan bentuk islamisasi dan nasionalisasi konsep civil society yang didengungkan Barat.

Berbeda halnya jika substansi dan karakteristik masyarakat madinah pada masa Rasulullah—yang kemudian diintegralkan menjadi masyarakat madani—dikomparasikan dengan substansi dan karakteristik civil society. Ranah distingsinya pun begitu mendasar, ibarat air dan minyak. Sebab keduanya memiliki orientasinya masing-masing, sehingga tidak mungkin mengintegrasikan dua hal yang sangat kontradiktif. Jika masyarakat madani merupakan perihal kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasiskan Islam (al-Qur'an dan Hadis), maka civil society merupakan perihal kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasiskan kepentingan. Maka nilai dan norma yang ada pada masyarakat madani, tentu tidak akan sama dengan nilai dan norma dalam civil society. Jika kemajuan peradaban, menurut civil society, adalah kemajuan yang bersifat konkret saja (al-taqaddum al-mâddy). Maka kemajuan peradaban, menurut masyarakat madani, tidak hanya berupa kemajuan yang bersifat konkret, melainkan kemajuan yang bersifat abstrak dan transendental (al-taqaddum al-ma`nawy wa al-rûhy).[6] 

Dengan demikian, masyarakat madani yang diaktualkan Rasulullah di madinah, tidak mungkin diintegrasikan dengan civil society yang tumbuh dan berkembang di Barat, sehingga seperti satu kesatuan. Sebab keduanya memiliki substansi, karakteristik, dan orientasinya masing-masing.
Bagian dari makalah yang akan dimuat di Jurnal Himmah Vol. 7 (2) 2012
Islamic Missions City, 6/4/2012


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[2] Muhammad Jamaluddin, "Konsep Negara Ideal dalam Perspektif Islam", (Jurnal Himmah PPMI, edisi X, semester I, tahun 2011-2012), hal. 15.
[3] "Masyarakat Madani" (ed), http://rully-indrawan.tripod.com/rully01.htm (dikunjungi 19 Maret 2012).
[4] Muhammad Jamaluddin, Loc.Cit., 16.
[5] Mansur Hidayat, "Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani" (ed), (Jurnal Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008), hal. 10-13.
[6] Ahmad Fu'ad Basya, "Muqaddimah Nazhariyyah al-Hadhârah fi al-Islâm" (ed), Mawsû`ah al-Hadhârah al-Islâmiyyah, (Kairo: Wizârah al-Awqâf, 2005), hal. 15.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India