Jalanan Mesir

serupa jalanan Mesir tanah airku
terlampau lapang pada hakikatnya
namun sayang, tataan tak menjamah
akhirnya merimba berikut hukumnya
jejal kendaraan orang kaya
menari serabutan di pinggiran
hanya satu saja yang menapaki
sedang sisanya mengekor panjang
simfoni klakson yang memuakkan
arena adu jotos yang memilukan
wahana menyuarakan ketidakadilan
berlalu hanya menyisakan kesal
berlama hanya menelapkan kewarasan

22 Desember 2013
Ahmad Satriawan Hariadi

Ayakan Dawai

umpama ayakan dawai bangsaku
tak satu pun tiba di masanya
lelah rakyat dalam ringkihnya
gending tangis kemiskinan
gebar isak kesengsaraan
penguasa meracau membual
cukong-cukong berkenduri
wakil-wakil rakyat terlelap tenang
hajat penduduk terhenti di meja
bawah dan atas semakin senjang
pragmatisme menjelma agama
kepentingan menjelma sesembahan
tak peduli jalan yang tertapak
hanya terpikir raupan di hadapan
nilai-nilai melepuh terkikis
ketulusan tinggal cerita lama

22 Desember 2013
Ahmad Satriawan Hariadi



Negeri Labil

Siapa yang tahan mendiami negeri yang dipimpin para pembual, diwakili para maling, dan diinjak-injak oleh para cukong? Siapa yang betah menapaki negeri yang hukumnya tertulis rapi, namun hanya ditegakkan di lidah saja?

Semakin lama berbetah diri di negeri ini hanya akan menelapkan identitas kemanusiaanku saja. Jika kamu tak percaya, coba tunjukkan kepadaku bagaimana kamu membedakan orang pintar dan orang bodoh di negeri ini?

Jika jawabanmu adalah orang pintar di negeri ini adalah orang yang terpelajar, dan orang yang bodoh adalah sebaliknya; maka kamu sebaiknya diam saja. Itu adalah dogma klasik yang ditanamkan sejak dini di seluruh penjuru negeri ini.

Kamu pun bingung, mengapa bisa demikian. Namun setelah dicermati lebih dalam, aku dan kamu hanya bisa terkulai lemas sambil menggigit jari, karena kaum terpelajar dan kaum tak terpelajar di negeri ini layaknya larutan gula.

Entah kubangan kebodohan yang terlalu besar, ataukah pola pikir penduduk negeri ini yang terlalu kecil. Hasilnya, entah siapa yang bodoh, entah siapa yang pintar. Kulihat rakyatku dibodohi penguasa. Lalu kudapati penguasaku dibodohi negeri lain.

Kemudian kulihat sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri ini tak kuasa lagi menelurkan kaum terpelajar yang memiliki nurani dan akal sehat. Kini seluruh penjuru negeri terisi penuh oleh berandal-berandal bergelar. Lalu, siapa lagi yang bakal dihasilkan oleh didikan para berandal kecuali berandalnya para berandal?!

Universitas harusnya menjadi tempat mahasiswa untuk mematenkan karakternya, entah karakter keilmuan, karakter pribadi, ataupun yang lainnya. Universitas harusnya menjadi tempat mahasiswa mematangkan potensi dirinya, lalu memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Universitas mestinya menjadi tempat terbakarnya idealisme mahasiswa, sehingga ia berusaha menunjukkan eksistensi dengan karya-karyanya yang muncul ke permukaan. Ia bekerja seharian, bertekad merampungkan pekerjaan hingga dini hari. Ia tak peduli dengan sayup-sayup keletihan yang terpancar di wajahnya. 

Namun apa yang terjadi?
  
Universitas negeri ini hanya tempat untuk mengasah keberandalan. Yang polos jadi penipu. Yang lugu jadi pembual. Yang baik jadi berandal. Yang berandal semakin menjadi-jadi keberandalannya.

Universitas negeri ini kemudian menjadi tempat pemenuhan hasrat seksual para binatang yang berstatus mahasiswa. Ospek pun menjadi modus para mahasiswa senior untuk mereguk kenikmatan birahi mereka. Mahasiswa baru pun menjadi bulan-bulanan praktikum perbudakan manusia.

Lalu sekarang, katakan padaku, di mana letak perbedaan antara kaum terpelajar dan kaum tak terpelajar di negeri ini? Justru kaum tak terpelajar di pelosok negeri ini jauh lebih humanis dan sangat taat memegang nilai-nilai kemanusian, dibanding kaum terpelajar di pusat pemerintahan sana.

*** 

Kulihat penduduk negeri ini tertumpuk di atas perahu lusuh yang kehilangan kedua kayuhnya. Terapung-apung di tengah lautan. Tak punya arah. Hanya kuasa mengikuti labilnya alunan angin. Sesekali melenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan.

Di lain waktu, aku hanya bisa tersenyum sendiri saat melihat gaya hidup penduduk negeri labil ini mirip dengan gaya hidup piaraanku di kampung dulu. 

Jika pada malam hari mereka bahu-membahu saat menggonggong dan menyerang siapa saja yang asing bagi mereka, lalu pada siang harinya mereka sesekali berkejar-kejaran dan tidur-tiduran dibawah pohon yang rindang; maka ketika disodorkan kepada mereka makanan atau beberapa bongkah tulang, berubahlah gaya hidup yang tadi. 

Ibu tak lagi mengenal anaknya, anak tak lagi mengenal ibunya, seseorang tak lagi mengenal saudaranya, dan seterusnya. Semua akan baik-baik saja ketika tak bersinggungan dengan perut.

Aku tak heran mengapa para pendahuluku banyak membuat pribahasa dari piaraanku ini. Jika tidak percaya, simaklah beberapa pribahasa berikut ini: 


“Anjing ditepuk ekor menjungkit” yang berarti orang hina (bodoh, miskin, dsb.) kalau mendapat kebesaran menjadi sombong. 

“Bagai melepaskan anjing yang terjepit” yang berarti menolong orang yang tidak tahu membalas budi. 

“Seperti anjing terpanggang ekornya” yang berati mendapat kesusahan yang amat sangat sehingga tidak keruan tingkah lakunya. 

Aku tidak tahu, apakah karena mereka melihat begitu banyak kesamaan antara penduduk negeri ini dengan piaraan  itu, ataukah hanya kebetulah belaka. Negeri Labil, itukah dirimu?

Desember 2013
Ahmad Satriawan Hariadi

Tak Kunjung Datang

Tak Kunjung Datang

Terkadang, semua ketidakpastian itu lebih baik daripada kepastian yang membuat kita terburu-buru, hingga akhirnya mengacaukan pencapaian. Namun sampai kapan keadaan menemaniku dengan ketidakpastian ini?

Bilamana kesal ini beranjak dari tempatnya? Berapa banyak sudah mimpi yang kugoreskan dalam doa dan tekad. Hanya saja kejenuhan ini terlalu kuat untuk ditaklukkan.

Apa yang tergapai selama ini hanyalah upaya untuk mempercepat kepastian eksistensimu, sayangku. Nyatanya kau masih saja diam dan betah dalam pertapaanmu. Masa penantianku akan sosokmu adalah kegelisahan jiwa yang terus mendorongku untuk terus menggerakkan tanganku menuliskan beberapa kata.

Untung saja idealisme yang bersemayam dalam jiwaku masih mampu menutupi gelora harapan itu agar tak tercium oleh mereka. Tetapi tahukah kamu, jika ruh tulisan-tulisan itu hanya menyebut namamu, sayangku.

Jika pun kamu masih ingin tetap di sana, tetaplah di sana. Semua akan baik-baik saja. Tekadku menyala. Semangatku terbakar. Aku pun kini berlari sekuat tenaga. Aku  hanya bisa berterima kasih kepadamu, karena telah menghujani aku dengan ide-ide. Tanganku tak akan letih menuliskan wahyu harapan ini.


Desember 2013

Ahmad Satriawan Hariadi

Cerita Terjalnya Keberjarakan

Haruskah perasaan ini mengubur pendengaran, hingga untuk mendengar cekikikan air, aku harus meminta Da Vinci melukiskan gemerciknya? Haruskah mata ini tak lagi membaca cahaya, hingga untuk mengerti isyaratmu, aku harus meminta gerimis malam menjelaskan maksudmu? Mengapa jalan menujumu begitu terjal, wahai Rabia?

Sungguh bukan kuasaku jika apa yang melekat pada diriku ini tak sempat membuatmu menoleh ke arahku beberapa detik saja. Ah! Rasanya aku ingin menari-nari di atas lembaran harapan agar kau bisa membacaku dengan ketulusanmu. Atau aku ingin menutup matamu agar kau tak sesak saat aku berada di dekatmu. Alangkah jauh keberjarakan ini!

Namun tahukah kamu, penantianku akan sosokmu lebih tegar dari bangunan usang yang kau lihat di negeri berjuta cerita ini. Akulah yang menjajal setiap kesempatan yang diberikan oleh kehidupan untuk membuat matamu lebih lama menatapku agar kata-kata yang tak kuasa terlafalkan ini bisa kau eja, meski terbata-bata.

Tetapi hingga kini kesempatan itu belum juga menampakkan bayangannya. Sedangkan perjalanan waktu yang sangat konsisten pada ritmenya mulai melayukan jasadku yang sebentar lagi usang dimakan zaman. Aku selalu bertanya kepada langit, mungkinkah suatu saat ketulusan bisa menjadi alasanmu untuk menyeka linang air mataku? Namun langit hanya diam. Ia terus saja diam dan diam.

Katakan padaku, apakah aku harus menggenggam dunia dulu untuk mendapatkan seutas senyumanmu? Atau aku harus kau injak-injak dulu agar bisa bernilai di matamu? Entahlah! Kaupun juga terdiam. Sama seperti langit. Lekaslah kemari jika kau telah menemukan ketulusan saat membaca hakikatku.


27 Oktober 2013

Kuliah Kehidupan dari Ammu Musa

Setelah ditemani kepenatan selama setengah jam lebih untuk menunggu, akhirnya “Bus 65 Merah” kelihatan juga batang hidungnya. Aku pun bergegas menapaki pintu bus bagian belakang. Gerah, sumpek, dan letih membias sebuah mimik yang masam dan acuh. Memang, karena aku baru saja selesai mengikuti kursus kaligrafi di kantor ICMI orsat Kairo, Rab’ah El Adawea, selama tiga jam lebih lamanya. Ditambah lagi dengan keadaan bus yang sesak oleh para penumpang yang berjejalan.
Petang itu seakan menjadi sebuah neraka bagiku. Dengan tenaga yang sayup-sayup, aku terus menerobos jejalan manusia tersebut untuk mendapatkan tempat berdiri yang agak nyaman hingga asramaku nanti, meskipun harus berdiri sepanjang perjalanan. Usahaku pun tidak sia-sia, sempoyongan tanganku menggapai tiang yang berada di balakang supir bus. Aku pun menyandarkan pundakku pada tiang tersebut, sembari mendulang napas agar tenagaku pulih kembali.
Tiba-tiba aku merasakan lenganku ditepuk-tepuk pelan. Kualihkan pandanganku ke belakang dan selenting suara menyambutku, “Izayyak ya ibni?” Bagaimana kabarmu anakku?
Ternyata pemilik suara itu adalah satu dari ammu-ammu (pekerja) yang bertugas menjaga dan membersihkan flatku di Madinah Buuts Islamiyah (Islamic Missions City), asrama resmi mahasiswa al-Azhar yang didesain seperti sebuah kota mini dengan 47 apartemen, terletak di kawasan Abbasea.
“Ehh.. Ammu! Alhamdulillah,” jawabku dengan terbalak sambil keheranan. “Enta izayyak?” Kamu bagaimana?
“Alhamdulillah,” ujarnya sambil tersenyum. “Kamu dari mana?”
“Dari kursus kaligrafi,” balasku. “Kalau Ammu sendiri baru dari mana?”
“Dari Tanta.”
Perasaanku mulai mencair tenang. Sekat-sekat yang membuat jiwa begitu sempit, tergerus dengan suasana hangat obrolan kami yang begitu santai dan hidup. Keluh kesah dan letihku tersapu oleh candaan dan cekikikan kami. Dimensi ruang dan waktu seakan berlepas diri dari kami untuk beberapa saat lamanya. Ammu itu bercerita kalau ia menghabiskan liburan akhir pekannya untuk berkumpul bersama sanak keluarganya di Tanta.
Meskipun sudah tiga tahun lebih aku melihat Ammu ini, aku sama sekali belum mengetahui namanya. Aku hanya akrab dengan sapaan khas orang Mesir ketika kami ketemu ataupun berpapasan di jalan; seperti sapaan “Izayyak?”, “Amil eh?”, dan lain-lain. Dengan usia yang sudah tidak muda lagi, ia tetap setia menjaga kebersihan flat kami. Padahal, kernyitan alis dan dahinya senantiasa mengingatkannya bahwa dia saa ini tak sekuat dulu lagi.
“Nama Ammu siapa sih?” aku memotong pembicaraannya yang panjang lebar. “Kita sering ketemu, tapi tidak saling mengenal.”
“Saya Musa,” jawabnya. “Kalau kamu, Nak?”
“Saya Ahmad.”
Aku lalu melanjutkan obrolanku dengan Ammu Musa. “Ammu sudah berapa lama sih bekerja di Buuts?”
“Lebih dari tiga puluh tahun, Nak,” ujarnya. “Saya bekerja di sana sejak tahun 1981.”
Wah! Tenyata ia sudah sangat lama bekerja di asrama yang dibangun pada tahun 1954, di bawah komando Grand Imam Abdurrahman Taj (1886-1973) tersebut. Asrama itu memang sudah lebih dari setengah abad itu secara resmi dibuka pada tahun 1959 oleh Presiden Gamal Abdel Nasser (1918-1970), didampingi oleh Grand Imam Mahmud Shaltut (1893-1963).
Ammu Musa tenyata sungguh setia menjaga para pelajar asing yang menimba ilmu di negeri Kinanah ini, begitu juga memelihara flat-flat di asrama tersebut. Aku pikir dia sudah sangat pengalaman terhadap tabiat mahasiswa dari berbagai belahan dunia, serta bagaimana bermualah dengan mereka. Bagaimana tidak, mahasiswa asing yang tinggal di Buuts berasal dari 105 negara, bahkan lebih. Sedangkan jumlah keseluruhan mereka berkisar antara 3500-4000 mahasiswa, mahasiswi dan pelajar.
Para pelajar asing di Buuts selama ini hanya bisa menikmati indahnya menimba imu di Mesir, tanpa sedikit pun memikirkan para Ammu yang melayani mereka dengan luar biasa. Fasilitasnya pun tak ada yang bisa menandinginya; sebut saja perpustakaan yang besar, tampat fitnes, gelanggang olahraga, taman-taman yang asri dan pepohonan yang teduh, asupan gizi yang tinggi, pelayanan antar-jemput kuliah, kuliah-kuliah umum dari ulama-ulama berkaliber, flat-flat yang nyaman, uang pesangon tiap bulan, dan masih banyak lagi.
Bisa anda bayangkan, betapa nikmatnya menjadi mahasiswa. Anda tinggal belajar dan belajar, tanpa harus memikirkan beban hidup. Namun nyatanya tetap saja, para Ammu itulah yang membuat Madinah Buuts menjadi surga dunia bagi para pelajar asing tersebut, sebelum mereka menapaki surga akhirat kelak.
Aku kembali melihat wajah Ammu Musa. Ada sebuah ketulusan yang membuat jiwanya acuh tak acuh dengan guratan-guratan keletihan itu. Rasa penasaranku terhadap sosoknya semakin membuncah.     
“Terus berapa umur Ammu sekarang?”
“Lima puluh delapan tahun.”
“Anak-anak Ammu?”
“Saya punya dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan.”
“Lalu anak-anak Ammu pada sekolah di mana saja?”
“Yang paling besar, Muhammad, sudah lulus dari Fakultas Teknik, Universitas Tanta, dan sekarang bekerja di salah satu perusahaan minyak,” ceritanya penuh semangat. “Yang kedua, Amr, masih duduk tingkat akhir Fakultas Ekonomi. Sedangkan Amera, Su’ad dan Fatimah masing-masing duduk di bangku SMA, SMP dan SD.”
Subhanallah! Luar biasa sekali orang ini!
Aku hanya bisa terpaku dalam kekagumanku pada sosok pahlawan ini. Ammu Musa rela mengorbankan hari-harinya bersama keluarga demi pendidikan anak-anaknya. Aku bisa memastikan bahwa sumber penghasilan Ammu Musa untuk menafkahi keluarganya hanya dari Buuts. Bagaimana tidak, dia hanya menghabiskan waktu selama enam hari penuh untuk bekerja dari pagi hingga pagi lagi.
Alur kehidupan yang telah Tuhan desain memang sangat logis dan teratur. Ada satu hukum yang menjadi konstitusi dasar para makhluk dalam menjalani kehidupan mereka. Tidak lain hukum tersebut adalah hukum kausalitas, atau sunnatullah dalam bahasa Aquran. Sehingga, setiap mereka hendak melakukan sesuatu, mereka harus memperhatikan betul hukum sebab-akibat, sebab al-jaza’ min jinsi al-ʻamal, besar balasan itu tergantung perbuatan.
Nabi pun diperintah untuk berpegang teguh dengan sunnatullah dalam keadaan bagaimanapun, bahkan saat beribadah. Jika anda tidak percaya, silakan cermati bagaimana Allah memerintahkan Nabi dan kaum muslimin—saat berperang—untuk senantiasa berikhtiar semaksimal mungkin agar kemenangan bisa direngkuh.
Allah berseru kepada Nabi agar tidak lengah sedikitpun, meskipun sedang menunaikan salat [4:102]: “Dan kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.”
Dengan demikian, tidak sepatutnya seorang musli m untuk putus asa karena sempitnya penghidupan dan beratnya ujian kehidupan. Sebab agamanya menyuruhnya untuk bekerja dan bekerja [9:105], bukan menjadi sosok yang kumal dan pemalas, atau hanya sibuk beribadah saja tanpa bekerja. Dia pun sangat percaya dan  yakin, siapa yang menanam dia akan mengetam.
Aku melihat hal ini telah disadari betul oleh Ammu Musa. Sehingga dia percaya, kalau kegigihannya dalam mengais rezeki Allah untuk menafkahi keluarganya, akan selalu tercatat sebagai amal ibadah dan ketaatan tehadap perintah Allah. Dia juga yakin, kalau dia hanya berleha-leha dan bermalas-malasan, maka kehidupan keluarganya bakal terlantar dan semrawut, pendidikan anak-anaknya pun akan tersengguk-sengguk tak karuan.
Aku pun ingin tahu, bagaimana ia menafkahi keluarganya, menyekolahkan anak-anaknya, dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
“Untuk biaya hidup keluarga dan pendidikan anak-anak Ammu bagaimana?”
Dia terkekeh-kekeh.
Kok ketawa sih?!
Aku penasaran. Apa yang menyebabkan Ammu Musa tertawa lepas untuk beberapa saat lamanya? Aku yakin, tidak ada yang lucu dari pertanyaanku itu. Tiba-tiba dia mengarahkan tangan kanannya ke pundakku.
“Nak! Allah yang telah mencukupi semuanya,” ujarnya. “Aku hanya berusaha dan bekerja semampuku…”
Subhanallah! Tawakal macam apa ini?! Sungguh luar biasa! Aku terkagum-kagum.
Ammu Musa lalu menceritakan panjang lebar perihal biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya. Benar dugaanku sebelumnya, kalau dia honornya di Buuts merupakan satu-satunya sumber pemasukan keluarga dari dirinya. Aku pun berpikir, kalau hanya buuts saja sembernya, maka bisa dipastikan tidak akan mencukupi. “Iya.. Istriku juga membantu kebutuhan kami dengan mendirikan kios di pinggir jalan,” katanya.
“Salah satu kelebihan istriku adalah kelihaiannya mengatur keuangan keluarga,” lanjut Ammu Musa. “Itulah yang membuatku tenang dan nyaman bekerja di Buuts, meskipun honornya tidak seberapa.
Aku selalu menanamkan di dalam jiwa anak-anakku untuk selalu merasa cukup, bagaimana pun kondisinya. Sebab, siapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya. Istriku senantiasa mengingatkanku untuk tetap ikhlas bekerja di Buuts, agar mendapatkan barakah Al-Azhar, sumber ilmu dan ulama.
Memang, aku pernah mendapati kesulitan untuk membiayai Muhammad, saat ia masih duduk di bangku perkuliahan dulu. Aku harus meminjam uang di sana-sini. Tapi alhamdulillah, dia sekarang sudah bisa membantu kami membiayai pendidikan adik-adiknya.”
Aku hanya bisa berkaca-kaca dengan keteguhan dan ketegaran orang yang berada di depanku ini. Tiba-tiba aku mendengar teriakan.
“Elley ʻauz Buuts!”Yang mau turun di Buuts!
Tidak terasa, akhirnya kami tiba juga di Buuts. Akhirnya kami kembali juga ke dimensi kehidupan. Aku merasa baru saja mendapatkan kuliah kehidupan. Bagaimana konsistensi seorang hamba untuk berusaha dalam mengambil sebab keberhasilan, bagaimana sempurnanya keyakinan bahwa Allah sama sekali tidak akan menyia-nyiakannya sedikitpun.
Muhammad, katakan kepada manusia!
Yang sibuk mengubur hidupnya
Antara benalu-benalu kesenangan
Pun mereka yang membumi lemah
Atau terperosok di kawah ketakutan
Sekali lagi katakan wahai Muhammad!
Kepada mereka yang menunggu kematian
Juga yang tak kuasa membuka mata
“Bekerjalah! Bekerjalah wahai manusia!
Bekerjalah karena Tuhan!
Karena mengharap rida Tuhan
Bekerjalah untuk kebaikanmu sendiri!
Jangan diam dan mengeluh saja!
Tuhanmu akan melihatnya
Muhammad akan melihatnya
Seluruh manusia akan melihatnya.”


Islamic Missions City, 14 April 2013

Antara Pembunuhan Karakter dan Pengkultusan

Sebagai insan akademis, seharusnya kita membangun nalar kepekaan dan kekritisan di atas istiqra yang menyeluruh dan jauh dari tendensi personal. Bukan sebaliknya. Dengan begitu, kita akan keluar dengan analisis yang tajam dan kesimpulan yang objektif, namun tetap menjunjung tinggi norma dan perinsip agung Islam, yang mengedepankan kelapangan dada, menghargai perbedaan perndapat, dan tanpa mendiskreditkan mereka yang tidak sepaham dengan kita.

Namun karena terlalu berambisi untuk meyakinkan manusia bahwa pendapat kita-lah yang paling benar, kita seringkali mengabaikan fondasi istiqra yang menyeluruh. Akibatnya, orang yang berbeda pendapat dengan kita pun menjadi korban dari duri lidah dan racun tulisan kita.

Lihatlah analisis tendensius saudara-saudara kita terhadap mauqif Syaikh Ahmad Tayyib! Tulisan-tulisan mereka terus mendiskreditkan Grand Syaikh kita tersebut. Nalar-nalar kritis yang menjadi mahkota seorang insan akademis, tergerus oleh api kemarahan yang membuat mereka mencukupkan diri dengan mauqif beliau saat pemakzulan Presiden Mursi, dan tidak mau lagi mendengar atau mengikuti mauqif-mauqif beliau setelah itu.

Akibatnya, kekritisan saudara-saudara kita tersebut sudah kehilangan makna dan implementasinya di dalam perkataan maupun tulisan mereka. Lebih parahnya lagi, mereka melakukan barbagai macam upaya untuk melegitimasi analisis tendensius mereka yang menghilangkan respek saudara-saudara mereka sesama insan akademis.

Logika pengalaman yang menjadi bahan pertimbangan dalam kehidupan akademis adalah "la ya'rifu qadra rajulin illa rajulun mitsluh", yang berarti tidak akan tahu kadar keilmuan seseorang kecuali orang yang semisal dengannya. Dengan mantik seperti inilah kita harus tahu, mengapa para ulama atau pemikir seperti Syaikh Hasan Syafii, Dr. Muhammad Imarah, Fahmi Huwaidi, Dr. Muhammad Salim al-Awwa, Dr. Muhammad Mukhtar al-Mahdi, Syaikh Muhammad Isa al-Maasarawi dan lain-lain; tetap menaruh respek yang besar terhadap Syaikh Ahmad Tayyib, meskipun mereka berbeda pendapat dengan beliau.

Dengan mantik seperti itu pula kita harusnya berkaca diri dengan para ulama itu, bukan hanya mengambil pendapat mereka yang menolak kudeta ini, lalu mengabaikan kesantunan dan kelapangan dada mereka terhadap Grand Syaikh. Sehingga menyebabkan ketimpangan yang begitu signifikan dalam kepribadian dan keilmuan kita. Kita menganggap diri berilmu karena belajar di perguruan tinggi Islam ternama, namun realisasi keilmuan dan wawasan keazharan, yang mengedepankan kematangan akal dan pikiran, kerendahan hati, kesantunan, dan kelapangan dada dalam perbedaan; sama sekali nol dan tidak bisa diharapkan sedikitpun.

Pengkultusan Al-Azhar dan Grand Syaikh
Saya tidak heran dengan reaksi yang ditunjukkan oleh saudara-saudara saya yang begitu mencintai Al-azhar dan Grand Syaikhnya; saat melihat Al-Azhar dan Grand Syaikhnya didiskreditkan hingga melampaui titik naluri kewajaran. Lebih anehnya, yang melakukan penghinaan dan pembunuhan karakter ini adalah saudara-saudara saya sesama penimba ilmu di Al-Azhar. Kita tentunya sangat menyayangkan, ada sekelompok mahasiswa Al-Azhar yang meludah di piring tempat mereka makan.  

Reaksi tersebut merupakan akibat yang tak terelakkan dari pembunuhan karakter Syaikh Al-Azhar yang mereka gembor-gemborkan lewat beberapa media. Bahkan kemarahan saudara-saudara saya yang begitu mencintai Grand Syaikh semakin tersulut saat media partai politik di Indonesia memasang karikatur Grand Syaikh --yang mengenakan seragam resmi tentara Mesir dengan serban azhari sebagai penutup kepalanya-- pada artikel pendek yang ditulis oleh seorang mahasiswa Al-Azhar, meskipun kini sudah diganti dengan foto Raja Abdullah dan Jenderal Al-Sisi. 

Namun yang membuat kita semua gigit jari adalah ketika karikatur Grand Syaikh diletakkan  pada artikel yang tidak menyebutkan secuil pun nama Grand Syaikh. Oke, paragraf pertama sampai ketiga memang mengulas permasalahan fatwa yang mungkin bisa mengaitkan Grand Syaikh. Akan tetapi, analisis dangkal dan pengabaian istiqra yang menyeluruh pada tulisan anda, tidak akan mungkin mengantarkan anda pada hakikat, dan justru meyakinkan kami kalau analisis tendensius anda semata-mata untuk mengokohkan kepentingan politik dan golongan anda sendiri.

Sekali lagi saya tidak heran dengan pembelaan mati-matian para pecinta Grand Syaikh yang terlihat sampai pada tahap pengkultusan. Bahkan pembelaan tersebut memunculkan paradigma baru bahwa Al-Azhar adalah hakikat yang menjadi lumbung kebenaran. Menyalahi Al-Azhar dan Grand Syaikhnya adalah menyalahi kebenaran. Apapun mauqif Grand Syaikh adalah kebenaran yang wajib didukung. Begitu seterusnya.

Saya melihat betapa perlunya kita membaca Al-Azhar dari awal samapi akhir. Mengapa demikian? Karena paradigma destruktif yang demikian hanya akan mengubah orientasi Al-Azhar dan menebalkan awan kelam kemunduran Al-Azhar itu sendiri. Dengan membaca Al-Azhar, kita akan tahu betapa humanisnya Al-Azhar dan para ulamanya, sehingga kita pun menatap Al-Azhar dan ulamanya dengan tatapan yang humanis, mantiki, dan penuh respek.

Kita, para azhari, setelah mendapatkan pengajaran dari para dosen dan masyayikh di kampus maupun di Masjid Al-Azhar, tentunya sangat memahami paradigma seorang mujtahid/alim. Kerangka berpikir seorang mujtahid adalah keyakinan bahwa kebenaran pendapat kita itu mengandung kesalahan; dan keyakinan bahwa kesalahan pendapat orang lain itu mengandung kebenaran. 

Dengan demikian, tidak ada alasan yang rasional untuk sebuah pengkultusan, baik Al-Azhar itu sendiri maupun Grand Syaikhnya. Al-Azhar pun --di dalam pandangan kita-- tetap menjadi rujukan ilmu-ilmu keislaman (marji'iyah ilmiyah), bukan menjadi rujukan Islam itu sendiri (marji'iyah diniyah). Sebab, yang menjadi rujukan Islam adalah Allah dan Nabi Muhammad, bukan Al-Azhar, bukan Grand Syaikh, bukan Mufti, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, kita kembali menegaskan bahwa bagaimanapun juga, Grand Syaikh tetap seorang manusia, yang memegang teguh identitas dan tabiat menusia itu sendiri. Kita, selaku anak-anak asuh beliau, harus tetap menatap beliau dengan tatapan hormat dan humanis. Jika hari ini kita mungkin sepakat dengan beliau, maka boleh jadi besok atau lusa kita bisa saja berbeda pendapat dengan beliau. Namun tetap saja, kita harus menghargai dan menghormati beliau, bukan mendiskreditkan dan membunuh karakter beliau.

Grand Syaikh tentunya sangat mengharapkan anak didiknya kritis dan peka dengan pekerti azhari. Saya pun berani menjamin, kalau Grand Syaikh tidak akan rida kalau anak didiknya seperti keledai yang membawa tumpukan buku bermanfaat, namun tidak tahu apa yang dibawanya, apalagi untuk memahami lalu mengamalkan.[]


Saqr Quraish, 30 Agustus 2013

Air Kita

lihatlah air kita ini!
kau dan aku bermula dari sini
dalam dekapnya kita terlelap tenang
lalu saat pagi kita berenang ria
menyuarakan cekikikan harapan
semoga tawa ini tiada akhir

kini matahari sudah tergelincir
kita tak lagi seperti dulu
aku menemukan diriku
kamu menemukan dirimu
langkah kita kini berkepentingan
tak ada lagi budaya cuma-cuma

tapi tahukah kamu?
air kita tetap saja seperti sediakala
memberi kita napas kehidupan
menawarkan untaian mimpi
menghilangkan sekat kegelisahan

kini kita terkuasai hasrat kekuasaan
aku ingin terdepan di hati manusia
begitu juga kamu
air kita pun terkena imbas
kita ingin menguasainya sendiri-sendiri
air kita pun berkeruh darah kita
demi air, kita saling makan
aku bersimbah darah
kamu terkulai lemas
aku menangis
kamu tersedu
air kita tertelap
sesal selamanya


Ahmad Satriawan Hariadi
Bawwabah, 14 Agustus 2013
Saat pembantaian manusia menjadi-jadi di Nahdhah dan Rab’ah

Wahai Politik, Jabatlah Tanganku!

Jika dengan merasakan kehinaan pada masa pembelajaran yang penuh dengan kelabilan ini, meskipun harus menelan kembali ludah sudah terbuang, maka itu sungguh lebih baik baik ketimbang harus seperti itu saat keadaan tak mengizinkan lagi untuk mencoba-coba seperti sekarang ini. Aku rela hal itu untuk menempa diri dan mental dalam menghadapi intimidasi dan kritikan di masa yang akan datang.

Jika kemarin telingaku begitu perih saat mendengar kata politik, maka hari ini aku harus merelakan kepalaku diinjak-injak orang lain, karena kesediaanku menjadi pelaku politik itu sendiri. Tidakkah kau lihat, pembantaian manusia yang terjadi di negeri Piramid ini, bermula dari perselisihan para pelaku politik itu?

Jika kemarin dengan seenaknya saja kritikan-kritikan pedas kulayangkan ke arah wajah para pelaku politik itu, maka hari ini aku sudah menyiapkan punggungku untuk dicambuk oleh kritikan mereka. Dengan politik, aku melihat wajah asli manusia yang selama ini mereka tutupi dalam-dalam. Hari ini pun aku harus merelakan tirai hakikatku yang tertutup begitu rapat, tersingkap oleh politik itu sendiri.

Jika kemarin aku berkoar-koar mengenai permukaan politik yang begitu halus, namun menyimpan serakan duri kepentingan di dalamnya, yang siap mengoyakkan jalinan antarmanusia yang telah lama dirajut oleh cinta dan kasih; maka hari ini aku menyaksikan eksistensiku mulai terbungkus kepentingan politik yang kejam dan tak mengenal ketulusan. Bahkan sedetik dari tatapan ini menyimpan untaian kepentingan yang busuk.

Aku memilih kepahitan ini semata-mata untuk meringankan beban penghidupan saat menginjak Bumi Pertiwi kelak, di mana mata-mata kepentingan mengawasi siang dan malamku. Aku memilih kehinaan ini untuk mengurangi rajutan kehinaan yang hendak menemaniku karena hasrat ingin tahu bagaimana rasanya hidup bersama politik kelak. Aku memilih digasak timah panas politik, untuk menambah keyakinanku bahwa politik adalah kesengsaraan bersama takwa, dan menjadi alat penindasan bersama kemunafikan.

Jika pun takdir menuliskan percobaan politikku ini hanya sampai di depan gerbang kekalahan, maka itulah kemenanganku yang sebenarnya, karena politik meyakinkanku bahwa kebencianku padanya mengabadi hingga masaku nanti.

Wahai politik, jabatlah tanganku! Aku menantangmu. Aku ingin tahu, sejauh mana kamu mampu memporak-porandakan hidupku. Aku ingin tahu, sejauh mana aku bisa menahan gempuran kritikan mereka, yang disebabkan oleh ulahmu.


31 Juli 2013
=Ahmad Satriawan Hariadi=

ALLAH

Allah..
Engkau tidak buta
tidak juga tuli
Engkau maha bijak
Engkau maha adil
kezaliman telah Kau haramkan bagi diriMu

kami hanya melihat
namun tetap saja,
Engkau yang menilai
siapa yang zalim
siapa yang menindas

setitik darah yang mengucur
tak lain adalah laknat bagi yang zalim

Allah..
inilah kami dan seuntai kelemahan
kami bukan siapa-siapa
kami hanya benci kezaliman
kami hanya benci penindasan
kami tidak peduli dengan politik tahi kucing itu
kami hanya menghormati kemanusiaan
sebagaimana Kau memuliakan manusia

Allah..
Allah lagi..
dan Allah seterusnya


18 Ramadan 1434 H
Tangisan fajar saat menyaksikan korban yang terus berjatuhan di Nasr st., berikut foto-foto penindasan manusia di Alexandria

Lenyapnya Kemanusiaan (Untuk Mesirku Tercinta)

Hari ini kemanusiaan berteriak sekeras-kerasnya
Berarakan di jalanan agar semesta membuka mata
Ditemani panasnya desau angin dan terik yang membara
Mereka berjalan demi seonggok harapan nyata

Iya, mereka ingin dimanusiakan layaknya manusia
Menghirup napas kehidupan tanpa penindasan
Membahasakan yang terpendam tanpa keterpasungan
Menentukan pilihan tanpa ancaman diam-diam penguasa

Hari ini kemanusiaan memanggil jiwa yang memanusia
Bahasan bukan lagi kisruh kekuasaan yang dilaknati
Tapi darah anak kecil dan gadis jelita yang berserakan
Juga raga pujangga yang digasak timah panas saat keheningan

Hari ini bapak tua tak ada lagi yang mendengar kalimatnya
Mengacak-acak wahyu demi keharaman perlawanan
Berkoar agar kawula menumpahkan diri di jalanan
Agar pembantaian jiwa yang tak berdosa dapat terwakilkan

Hari ini nurani kemanusiaan mengetuk pintu hati manusia
Iring-iringan dari segala penjuru memuarakan keprihatinan
“Kami hanya membenci kezaliman,” teriaknya
“Kami hanya membenci pengkhianatan,” imbuhnya

Hari ini kemanusian mencoba membangunkan dunia
Yang terus menerus terlelap dalam keapatisannya
Agar ia menyaksikan jasad-jasad yang berserakan
Sementara ruh telah beranjak saat tembakan fajar

Hari ini nurani pemangku kuasa sudah tertelap selamanya
Hari ini pendengaran mereka tak ada gunanya
Hari ini pengelihatan mereka tak ada artinya
Hari ini kemanusiaan menemui ajalnya


Islamic Missions City, 26 Juli 2013

30 Hari untuk Selamanya

Baru kemarin rasanya matahari Ramadan menyinari kerentaan pijakan ini. Sinar teriknya mengangkat air dosa yang bermuara di lautan tanpa henti, walau semasa saja. Langit cerahnya memurnikan kembali air yang selama ini asin oleh rajutan silap dan kecongkakan. Lalu kemurnian itu bersatu padu dalam ambangan awan putih yang suci. Sesaat kemudian air tawar itu menjadi rahmat dan ampunan saat senjakala Ramadan. Ketika menyambut Fitri, jagat raya pun bersuka cita dalam ketenangan dan kemakmuran penghidupan.
Lalu hari ini pijakan menjadi tandus dan langit begitu terik membara. Apa yang ada di depan mata tak dapat tergapai karena begitu pekatnya kabut kelalaian. Seluruh mata tak lagi mampu membaca peta kebenaran, karena semua jalan bertuliskan “kebenaran”. Kering kerontang dunia menjadi-jadi karena sari pati kehidupan sudah tak lagi bersamanya. Makhluk-makhluk kini hanya berupa jasad tak bernyawa yang hanya bisa makan, minum, tidur, dan menyakiti sesama.
Iya, dunia kembali lagi dalam ketandusan dan kepenatan masa lalu. Tak ada yang terbanggakan dari apa terlihat. Semua eksistensi pada hari ini membias kematian. Meski cahaya merah jingga hari ini sudah menampakkan cengirnya di ufuk barat, nyatanya semua masih sama. Pada dahi-dahi kehidupan tertulis “kematian”, karena apa yang terlihat sama sekali tak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Begitulah suasana senjakala yang hendak menyambut fajar Ramadan.
Siapa yang tahu jika esok fajar Ramadan akan menampakkan lesung pipinya di ufuk timur? Tak banyak yang menyadari jika langit kembali lagi memberikan kesempatan untuk bersua dengannya lagi. Namun pikiran kebanyakan adalah kesamaan yang membuat untaian berlian seperti serakan kerikil di jalanan, atau masa yang kepastian datangnya seumpama janji matahari. Sedang pemilik kebesaran jiwa melihatnya sebagai bahtera yang menyampaikan kafilah kehidupan pada hulu manisnya keabadian. Ia melihatnya seperti kereta yang mengangkutnya dari kota mati yang kesengsaraanya terabadikan.
Bersukacitalah pemilik kebesaran jiwa! Fajar Ramadan telah merekah. Ia siap membawamu dari hiruk pikuk yang memabukkan. Mengangkatmu dari penghambaan eksistensi-eksistensi yang membuatmu berjalan dengan kepalamu, menuju puncak kemulian dengan menghambakan diri hanya kepada Raja Diraja jagat raya. Fajar Ramadan hanyalah milikmu semata.
Tiga puluh hari untuk selamanya...


Bawwabah, senjakala Sya’ban 1434 H

Mauqif Politik Al-Azhar setelah Revolusi 25 Januari; Selayang Pandang

Masih dalam benak kita, kejadian pada Juni 2011, ketika Syeikh Ahmad Tayyib mengumpulkan para pemikir dan para pakar tata negara untuk merumuskan "Watsiqah al-Azhar" terkait masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara Mesir. Salah satu poin penting yang tercatat di sana adalah menolak sistem teokrasi, dan menganjurkan Mesir menjadi "negara madani yang modern dan demokratis". Pada poin di atas, kita berkesimpulan, Al-Azhar mendukung terbentuknya kehidupan demokrasi di Mesir.

Beberapa bulan setelahnya, digelar pemilu parlemen yang paling demokratis di Mesir, yang diiringi dengan pemilu presiden yang juga tidak kalah demokratisnya, meskipun pada pilpres tahap dua, kedua kandidat memakai embel-embel agama dalam kampanye mereka. Yang satu, berkoar dengan ke-ikhwanan-nya, sedangkan satu berkoar dengan ke-sufi-annya.

Namun yang terjadi apa? ketika dalam masa pilpres, otoritas Angkatan Bersenjata Mesir, membekukan parlemen dengan alasan ketidakprofesionalan dll. Dari sini, kita berkesimpulan, ini langkah awal untuk menelan kembali ludah yang berceceran, karena sebelumnya semua meneriakkan demokrasi dan kebebasan.

Selanjutnya, presiden terpilih dilantik pada 30 Juni 2012. Adapun kebijakan yang paling kentara dari presiden baru adalah membuat UUD yang sesuai dengan amanat revolusi, Kemudian UUD tersebut diundangkan pada beberapa bulan setelahnya. Namun bukannya mendapat sambutan, malah yang terjadi adalah penolakan besar-besaran. Karena memegang teguh amanat demokrasi, presiden menawarkan referendum. Hasilnya, 64% rakyat setuju dengan UUD yang baru.

Yang perlu dicatat dalam perihal penyusunan UUD ini adalah keterlibatan wakil-wakil dari al-Azhar, semisal Dr. Hasan Syafii (penasehat Syeikh Azhar), Dr. Nasr Farid Wasil (mantan mufti), dll. Dengan ini, kita berkesimpulan, bahwa al-Azhar, secara institusional, setuju dengan UUD yang baru. Apalagi, para wakilnya, merupakan anggota Hai'ah Kibar Ulama.

Singkat cerita, pada 30 Juni 2013, oposisi melakukan gerakan tamarrud (pemberotakan), untuk menggulingkan presiden terpilih. Upaya mereka pun membuahkan hasil tatkala Jenderal Al-Sisi mengumumkan pemakzulan presiden terpilih, yang diikuti dengan pembekuan UUD, dan yang lain.

Yang menjadi perhatian kita kali ini adalah keikutsertaan Syaikh Azhar dalam proses pemakzulan ini. Beliau mendukung pemakzulan ini dengan dasar, "hiqnan liddima'" dan "hiffazh ala wahdatil ummah". Jika dilihat secara kasat mata, alasan beliau sungguh luar biasa, dan mencerminkan Risalah Al-Azhar.

Namun bagaimana jika mauqif itu dilihat dari kacamata politik? Mesir sudah memulai percobaan demokrasinya, sesuai dengan Watsiqah Al-Azhar. Namun tidakkah upaya pemakzulan ini merupakan langkah yang kontradiktif Watsiqah tersebut? Kemudian kita melihat dulu di media-media foto Syaikh Ahmad Tayyib yang memilih mengantri ketika memberikan suaranya saat pilpres, sebagai dukungan terlaksananya pesta demokrasi di Mesir, berikut fatwa keharaman golput. Lalu tidakkah dukungan pemakzulan ini merupakan langkah kontradiktif terhadap mauqif beliau di atas? Selanjutnya, bukankah dukungan terhadap pembekuan UUD merupakan langkah kontradiktif Al-Azhar, yang secara institusional ikut serta dalam penyusunannya, namun kini membekukannya?

Itulah sekelumit pertanyaan yang menghujani pikiran saya. Yang saya pertanyakan adalah mauqif, bukan pribadi Syaikh Al-Azhar. Sebab beliaulah yang memberikan saya dan teman-teman saya beasiswa secara langsung saat saya baru beberapa minggu tiba di Mesir, hingga saat ini. Karena secara pribadi, beliau memang amat terbuka dan dermawan. Jika tidak percaya, lihatlah bagaimana beliau meberikan beasiswa secara besar-besaran kepada mahasiswa nonbeasiswa, pada acara Muktamar Pelajar Asing, 17 April 2013 kemarin. Lihat pula, bagaimana beliau selalu mendengar keluhan para pelajar asing dalam kegiatan belajar mereka; seperti kenaikan beasiswa dan keringanan untuk para mahasiswa pascasarjana. Begitu juga tidak ada yang meragukan upaya dan jerih payah beliau dalam memperbaiki dan memajukan lembaga Al-Azhar secara multidemensional.

Namun dalam mauqif politik beliau pascarevolusi ini, saya melihat ketimpangtindihan di dalamnya. Saya berusah berbaik sangka terhadap beliau. Saya bahkan sangat mencintai beliau, namun bukan cinta buta, yang membuat saya tidak bisa melihat kebenaran. Karena tidak mempunyai kepentingan, saya tidak mendukung presiden terpilih, saya juga tidak mendukung gerakan tamarrud. Siapa itu Ikhwan? Siapa itu Mursi? Siapa itu kaum liberal? Siapa itu Salafi? Siapa itu oposisi? Siapa itu angkatan bersenjata? It means nothing to me. Sebagai warga asing, hal yang paling pantas untuk anda lakukan adalah menonton dan mengamati, bukan mendukung A, kemudian membenci B. Dengan itu, kita hanya bisa mengkritik, jika ada ketimpangtindihan mauqif; seperti pagi ini berkata "Iya", nanti sore berkata "Tidak". Selebihnya anda adalah penonton dan pengamat. 

Namun yang paling penting adalah hal-hal semacam ini melatih anda untuk bersikap kritis, dan memberi anda pelajaran untuk konsisten dalam hidup anda. Apalagi jika anda termasuk orang yang sangat terobsesi untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang.

Bawwabah, 4 Juli 2013

Siapa Lagi Kalau Bukan Kita?


Salah satu cerminan dari sempurnanya pendayagunaan anugerah akal adalah ketika pembawaan seseorang menjadi lebih tenang dan tidak banyak bicara. Ia cenderung malas untuk mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, sekaligus merasa lebih nyaman sebagai pendengar saja. Ia menatap, namun bukan tatapan abal-abalan. Ia sangat reaktif terhadap keadaan di sekitarnya, namun bukan dengan perbuatan dan silatan lidahnya, melainkan dengan pikirannya. Kata-katanya selalu tertunggu. Sikapnya selalu dinantikan.

Jika anda termasuk pemerhati sosio-kultural manusia, maka anda akan mendapati puncak kesulitan untuk menemukan orang semacam ini dalam sebuah komunitas, karena begitu langkanya tipe manusia yang demikian. Tidak berlebihan rasanya jika kita hampir menafikan eksistensi orang tersebut.


Karena pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, kita semua lebih cenderung dengan kebalikan tipe manusia di atas. Entah itu banyak omong, tidak mau mendengar, selalu merasa paling benar, sangat reaktif terhadap kondisi sekitar sehingga seenaknya saja memaki dan menyalahkan orang lain, kalaupun menatap maka dengan tatapan meremehkan, dan lain sebagainya.


Bagaimana menurut anda jika keadaan semacam ini telah menjadi karakter sebuah bangsa? Atau dengan kata lain, telah menjadi jati diri sebuah bangsa? Anda tentu tidak dapat membayangkan betapa amburadulnya bangsa tersebut. Apalagi kondisi geografisnya sangat-sangat mendukung terbentuknya para pemalas dan pengibul.


Tidakkah kita menyadari, bahwa delapan abad yang lalu, Ibnu Khaldun pernah mengatakan, “Bangsa yang miskin secara geografis dan sumber daya alam, secara tabiat lebih sering melakukan ekspansi.” Jika anda masih ragu dengan hukum di atas, tanyakanlah pada diri anda sendiri, apa yang melandasi negara-negara Eropa untuk melakukan ekspansi ke seluruh penjuru dunia pada abad ke-14 Masehi? Apa yang melatarbelakangi Belanda untuk menjajah bangsa Indonesia, sehingga kekayaan alam berupa rempah-rempah dan yang lain terangkut semua ke negeri yang hampir tidak mempunyai daratan itu?


Kita tentunya sangat setuju dengan gambaran Gus Mus betapa kayanya negeri kita, sehingga menyebabkan penduduknya lebih senang berleha-leha, daripada mengembangkan diri dengan lebih banyak belajar dan bekerja. Simaklah puisi “NEGERIKU”, milik Gus Mus berikut:

mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya didunia

dan burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perak perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku…
Puisi di atas, mengingatkan kita dengan para penyair Arab Jahiliah yang --menurut para kritikus sastra-- sangat berhasil dalam menggambarkan sosio-kultural masyarakat Arab Jahiliah pada masa itu. Berbeda halnya dengan sastra modern, yang menurut Ahmad Amin, sama sekali tidak mewakili eksistensi masyarakat modern. Puisi di atas begitu detail dalam menggambarkan betapa kaya dan suburnya negeri yang bernama Indonesia. Akan tetapi kembali lagi, kekayaan dan kesuburan tersebut menyebabkan bangsa kita lebih banyak santai. Akhirnya, karena tidak ada yang menyibukkannya, bangsa kita mengisi keluangannya dengan bertikai sesama saudaranya, dan terprovokasi oleh fitnah sekte agama dan golongan.

Lalu apa yang harus kita perbuat setelah ini? Haruskah kita menyalahkan kondisi alam yang terlalu kaya dan subur sehingga melahirkan para pemalas dan para pecundang yang berjiwa inferioris? Ataukah menyalahkan diri kita sendiri, karena kita sudah memiliki bahan eksperimen yang lebih dari cukup untuk menjadi bangsa adidaya di dunia, namun tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai?


Sebagai makhluk yang diberi kebijaksanaan, kita tentu lebih menyalahkan diri sendiri, ketimbang menyalahkan keadaan. Kitalah yang lebih enak tidur-tiduran, sementara bangsa di belahan sana melakukan revolusi industri. Kitalah yang lebih nyaman berdiam diri di rumah, ketimbang meninggalkan kampung halaman untuk melihat-lihat pencapaian bangsa lain, lalu mempelajarinya untuk dikembangkan di tanah airnya sendiri. Kitalah yang sudah tahu diri ketinggalan, namun masih saja berdiam diri di tempat, tanpa melakukan gebrakan-gebrakan yang berarti untuk mengejar ketinggalan.


Lalu sekarang, siapa yang tidak memaksimalkan anugerah akal, yang sejatinya memiliki kesamaan potensi untuk sama-sama maju dalam berbagai dimensi kehidupan? Siapa lagi kalau bukan kita sendiri.



Wisma Nusantara, 3 Juli 2013

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India