PRIORITAS (Cerpen)


Idealis. Ia sungguh berbeda dari kebanyakan gadis pada umumnya. Hidupnya adalah pencapaian-pencapaian. Hari-harinya adalah strategi-strategi jitu. Teman setianya adalah buku-buku sastra dan buku-buku bahasa yang dibacanya.
Di balik keanggunan dan keceriaannya, ia adalah seorang pemikir tulen. Jarang berbicara dan lebih cenderung sebagai pendengar setia. Sesekali, senyuman manisnya merekah. Ia seringkali terkesima dengan kata-kata yang menggugah hati dan mengobarkan semangatnya. Kata-kata tersebut kemudian ia hafal, hingga merasuk ke alam bawah sadarnya.
Belakangan ini ia dipusingkan oleh mahasiswa yang mencoba mendekatinya. Bukan sekali atau dua kali, tapi berkali-kali. Pemuda-pemuda yang pernah mencoba mendekatinya pun harus menerima kenyataan pahit. “Tolong, ya! Anda jangan merasa sok dekat. Jangan sampai sikap Anda ini mengubah persepsi saya terhadap Anda!” tegasnya saat ia mencium indikasi orang yang mau mendekatinya.
Ia memang tidak segan-segan untuk mengatakan hal demikian. Apalagi jika dampaknya akan merugikan dirinya sendiri. Buku-buku yang dibacanya memang membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap kepribadiannya. Salah satunya adalah buku Mukhtashar Rabi’ al-Abrar karya al-Razy. Ia tergugah dengan perkataan al-Zamakhsyari, “Jika akalmu kuasa mencegah dirimu melakukan perbuatan sia-sia, maka kamu sejatinya adalah orang yang berakal.” Pemuda yang terakhir pun seperti para pendahulunya. Ia telah disekakmat oleh gadis berkaca mata ini.
Saat ini, ia tengah memulai tahun ketiganya di Universitas al-Azhar, Departemen Bahasa Arab Fakultas Dirasat Islamiyah Banat. Setelah mendapatkan predikat Imtiyaz pada ujian musim panas kemarin, fokusnya saat ini dan seterusnya adalah mempertahankan predikat tersebut sekuat tenaga. Tawaran-tawaran menggiurkan untuk aktif di organisasi tertentu selalu ia tolak. Ia cenderung betah dengan aktivitas penunjang yang ia geluti sejak ia baru tiba di Mesir, yaitu talaqqi, tahfizh, dan kajian.
Baginya, kesempatan belajar di al-Azhar merupakan karunia terbesar Allah dalam hidupnya. Sehingga tujuannya pun menjadi jelas, yaitu belajar dan belajar. Jika mengalami penat atau murung, ia tak segan mengajak sahabatnya, Lia, untuk untuk berjalan ke Meydan Ramses atau ke tempat lainnya. Dengan melihat keadaan sekelilingnya, ia semakin yakin bahwa hidup memang harus disyukuri. Ibu-ibu tua yang tertidur di pinggir jalan, orang-orang cacat yang menjual tisu, sampai anak-anak kecil yang meminta-minta. Pemandangan inilah yang tidak memberikannya alasan untuk tidak bersyukur.
***
Sudah sebulan lebih, sejak kepergian Ramadan, ia hanya berkutat dengan rutinitasnya sebelum Ramadan. Biasa namun berkualitas. Sederhana namun bertujuan jelas. Ringan namun mendatangkan manfaat yang berlimpah. Hingga semakin hari, gadis itu menyadari bahwa keadaanlah yang selalu mengingatkan dan menunjukkan kekurangannya. Akibatnya, ia mesti meningkatkan kapasitas dirinya, baik ilmu maupun wawasannya.
Perkuliahan pun secara serentak dimulai. Momen yang selama ini ia nanti-nantikan. Gadis penyuka warna putih ini sudah lama terpasung oleh kerinduannya pada suasana perkuliahan. Ia terakhir kuliah pada minggu pertama bulan Mei lalu. Menyusul setelahnya ujian termin kedua, dan puncaknya adalah liburan musim panas yang amat panjang. Di kampus, ia bertemu lagi dengan teman-temannya di tingkat dua dulu. Untaian doa dan harapan bersua bersama pelukan hangat mereka. “Rabbuna yunajjihuna jami’an. Kullu sanah wa anti thayyiba (Semoga Allah meluluskan kita semua. Semoga anda senantiasa baik-baik saja).”
“Mabruk ya, Kak Zuha!” kata seseorang mengejutkan dari belakang. “Yang dapat Mumtaz sepertinya harus tasyakuran nih, biar berkah.”
“Eh! Neli rupanya,” balas Zuha sambil membalikkan badannya. “Yang hampir Mumtaz juga harus ikutan tasyakuran, dong.”
Dua sahabat sejoli ini larut dalam cekikikan yang panjang. Zuha dan Neli seperti adik kakak. Persahabatan yang dirajut atas dasar fitrah yang suci. Tercermin pada kepolosan, apa adanya, dan kejujuran hati. Meski keduanya tinggal terpisah dalam jarak yang cukup jauh, namun itulah yang membuat mereka semakin dekat, semakin cinta, dan semakin menyatu.
“O ya, Kak!” ceteluk Neli. “Besok Sabtu ada sidang tesis kakak saya lo. Kak Zuha datang ya! Sekalian menambah semangat Kak Maesan.”
Subhanallah!” Zuha terkaget-kaget. “Tapi Kakak ada acara kajian besok di Kawakib al-Fushaha’ (Nama kelompok kajian berbahasa Arab, terdiri dari pelatihan debat ilmiah, pidato, dan penulisan artikel ilmiah), Kakak juga dapat bagian presentasi makalah lagi.”
“Terus gimana dong, Kak?” suara Neli mengecil. 
“Maaf ya, Nel. Kakak sepertinya tidak bisa hadir. Kakak sudah berkomitmen kepada pembimbing dan teman-teman untuk tidak boleh alpa,” jawab Zuha mengelus pundak Neli. “Salam doa saja buat Kak Maesan, semoga dilancarkan segala urusan dan mendapat predikat Summa Cumlaude.”
“Amin.”
***
Saat mentari baru menampakkan senyumannya di ufuk timur, Zuha mendapatkan telepon dari Musyrif (pembimbing) Kawakib. “Jadi kita libur, ya, hari ini?” ujar Zuha.
Tabiat keadaan memang selalu berubah setiap saat. Hal yang tak terduga bisa terjadi kapan dan di mana saja. Zuha sudah terbiasa dengan perubahan-perubahan mendadak seperti ini. Ia tak harus kecewa, karena makalah yang telah ia garap sejak minggu lalu, tidak jadi dipresentasikan. Zuha lebih melihat pada apa yang bakal ia lakukan hari ini. Ia pun ingat kalau hari ini ada sidang tesis Maesan Apriadi, kakak kandung Neli.
Tepat pukul 09.30,  alarm telepon genggam memecah keheningan di kamar Zuha. Ia terhanyut oleh pemaparan Syeikh Muhammad al-Ghazali di dalam bukunya Turâtsunâ al-Fikry sejak mentari merekah. Buku setebal 200 halaman tersebut merupakan salah satu buku favoritnya. Ia bahkan telah beberapa kali mengkhatamkannya. Bagaimana tidak, di dalam buku itu, Syeikh al-Ghazali mengajak kaum muslimin untuk sadar diri dari ketertinggalan, dan meneguhkan karakter seorang muslim sejati ketika bermuamalah dengan Turats (Warisan Islam yang diwariskan oleh para pendahulu; baik warisan pemikiran, budaya, maupun peradaban). Ide-ide brilian Syeikh al-Ghazali melekat erat di dalam otaknya. Ia semakin idealis sekaligus prihatin. Jika langkah untuk menyadarkan umat tidak dimulai dari sekarang, lalu kapan?
***
Aula Prof. Dr. Fuad Ali Mukhaymar ternyata sudah disesaki oleh para pengunjung. Padahal sidang tesis baru akan dimulai seperempat jam lagi. Kali ini Zuha merasa ada yang aneh dengan apa yang didapatinya. Jika biasanya acara-acara di Mesir selalu ngaret bahkan hingga dua jam dari waktu yang ditentukan, maka pada momen ini Zuha menemukan hal yang berbeda.
Zuha berpikir kalau hal ini terjadi karena salah satu dari dua sebab; pertama, karena orang yang diuji bukanlah orang sembarangan; kedua, karena ‘sadar waktu’ telah membumi di alam bawah sadar para pengunjung. Namun, ia segera menyingkirkan kemungkinan yang kedua dan memantapkan diri dengan kemungkinan yang pertama. Iya, penulis tesis ini adalah bukan orang sembarangan.
Tetapi ia tiba-tiba tersentak, “Rupanya Kak Zuha datang juga, ya?!” Neli menyentuh pundak Zuha dari belakang.
“I..iya nih,” Zuha terkaget-kaget. “Musyrif kakak tadi nelpon, kalau kajian hari ini diliburkan.”
Setelah keduanya cipika-cipiki dan larut dalam cekikan kecil, tiba-tiba Neli nyeletuk, “O ya, Kak!” ia mengisyaratkan tangannya ke arah samping. “Kenalkan, ini kakak saya, Maesan. Kak Maesan, kenalkan, ini Kak Zuhara Salima, malikah al-syuʻarâ al-wâfidîn (Ratu penyair para pelajar asing).”
“Apaan sih, Dik!” ujar Zuha tersipu mendengar Neli menggelarinya dengan Ratu Penyair. Ia kemudian menghadap ke arah sosok jenjang dan tegap. Iya, Maesan dan Zuha bertemu pandang sesaat dan kembali tertunduk. Lalu Zuha dan Maesan masing-masing meletakkan kedua tangannya di atas dada sambil menyebutkan nama.
“Saya ke sana dulu ya,” kata Maesan sambil mengisyaratkan telunjuknya ke arah kursi panas persidangan. “Jangan lupa doanya.”
“Insyaallah,” jawab Neli dan Zuha serentak.
Sidang tesis Maesan pun dimulai di bawah komando Prof. Mustafa Abdurrahman, guru besar Sastra Arab Fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah, yang tidak lain adalah musyrif Maesan sendiri. Sidang yang berlangsung selama tiga jam tersebut berjalan alot. Maesan sendiri terlihat begitu santai dan tenang. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya dengan fasih dan lancar. Kepercayaandirinya terlihat dari bahasanya yang lugas dan tidak malu-malu. Ia sungguh berbeda dari kebanyakan orang yang saat diuji, terlihat gagap dan cengengesan saat ditanya oleh penguji. Kebahagiaan Maesan dan keluarganya akhirnya sempurna dengan predikat summa cumlaude yang diberikan oleh dewan sidang.
Di sisi lain, Zuha terlihat berkaca-kaca melihat kebahagiaan mereka. Ia bahkan memberikan standing applause saat predikat Maesan tersebut diumumkan. Ternyata dugaannya tidak meleset. Maesan memang bukan orang sembarangan. Setelah mengikuti persidangan tersebut, ia baru tahu kalau Maesan berbicara dengan bahasa Arab seperti ia berbicara dengan bahasa Indonesia. Cita rasa Arabnya sudah menyatu dengan alam bawah sadarnya. Iya, Maesan mengingatkannya dengan Syeikh Abul Hasan al-Nadawi (1914-1999), ulama karismatik dan punggawa dakwah dari India yang digelari Syeikh al-Qaradhawi—karena kefasihan dan cita rasa Arabnya yang tinggi—sebagai dutanya orang Arab di tengah-tengah orang non-Arab, dan dutanya orang non-Arab di tengah-tengah orang Arab. Zuha pun mulai mengagumi Maesan diam-diam.
***
Zuha akhir-akhir ini bingung dengan perasaannya. Ia bingung menafsirkan perasaannya sendiri. Apakah hanya kekaguman biasa? Atau sekadar empati? Atau bahkan perasaan suka? Namun, yang jelas, Maesan telah terdaftar dalam kategori orang-orang yang dikaguminya. Bukan karena ketampanannya. Tetapi karena kapasitas keilmuannya yang mumpuni dan budi pekertinya yang sopan.
Zuha mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia hanya gadis biasa yang tak layak mendapatkan nominasi gadis ideal di mata Maesan. Ia terus mengeksplorasi pikiran ini, hingga akhirnya ia sampai pada noktah bahwa orang seperti Maesan hanya bisa dijadikan tipe ideal seorang insan akademis, dan harus ditiru sekuat tenaga. Inilah yang membuat harapannya tidak muluk-muluk, namun semakin mengobarkan semangatnya untuk menggapai mimpi-mimpinya.
Kini Zuha semakin fokus dengan perkuliahannya. Hari-hari yang ia lewati saat ini adalah bagian dari cerita yang akan ia kenang saat kelak usia sudah merenta. Ia tidak sudi jika ada satu saja bagian cerita yang memerahkan telinganya. Rajutan cerita harus terbentang indah di setiap sisinya. Karenanya, ia tidak pernah membiarkan satu pun dari hari-harinya terbuang percuma. Hingga akhirnya ia berhasil menuntaskan program strata satunya dengan predikat summa cumlaude.
Rasa bahagia pun terpancar dari setiap sudut raganya. Ia merasa dan yakin, kalau bahasa ini maupun bahasa yang lainnya, belum bisa sepenuhnya menggambarkan bagaimana bahagianya saat ia menjadi lulusan terbaik di Universitas Al-Azhar. Ia telah menghafalkan Alquran beserta Qiraatnya. Ia telah berhasil menghimpun sanad dari berbagai kitab yang dikaji di Masjid Al-Azhar. Ia telah menguasai bahasa Perancis yang ia tekuni sejak menginjak tahun keempatnya dulu. Lalu kini, dengan dukungan penuh dari kedua orang tua, ia ingin menginjak tangga mimpi yang selanjutnya, yaitu kuliah di Paris. Sebuah mimpi yang ia pendam sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu, akibat sihir dari tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
Apalagi setelah ia tahu, kalau Grand Syeikh Abdul Halim Mahmud (1910-1978) adalah lulusan Sorbonne, yang dikisahkan sendiri secara mendetail oleh beliau dalam memoarnya yang berjudul “Alhamdulillah, Hâdzihi Hayâti” (Alhamdulillah, Inilah Hidupku). Tak ayal, karena rasa penasarannya dengan kota Paris, ia seringkali berbelanja buku di kawasan Downtown, kota yang dikenal sebagai Parisnya Timur Tengah sejak masa Khedive Ismail (1830-1895). Kefeminisan kawasan ini terasa kental dengan ukiran-ukiran indah di setiap sudut bangunan-bangunannya yang amat klasik, layaknya kota Paris.
***
Tak terasa, hari yang ia lewati selama di Kairo begitu cepat berlalu. Zuha bahkan tak sadar kalau hari ini adalah hari terakhirnya di Kairo. Besok, ia harus meninggalkan negeri berjuta cerita ini menuju kota paling feminis di dunia, Paris. Ia memilih untuk tidak kembali ke tanah air sebelum menggondol gelar doktor, sesuai janjinya dulu. Bahkan Ia belum berpikir untuk melepas masa lajangnya, meskipun kini ia telah mengantongi gelar Lc. dari Universitas Al-Azhar. Sebab, di usianya yang ke-22, ia merasa harus memprioritaskan pendidikannya terlebih dahulu. Akibatnya, pikiran Zuha pun hanya tertuju pada bagaimana ia menaklukkan pelajarannya kelak saat berada di Paris.
Setelah sibuk seharian membereskan perlengkapan yang bakal ia bawa ke Paris esok, Zuha pun terlelap dalam keletihannya. Keesokan harinya ia dikegetkan dengan sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor asing di telepon genggamnya. Rasa penasarannya pun menyuruhnya untuk melakukan panggilan balik.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Ma..aaf!” Zuha memulai percakapan. “Tadi malam, nomor ini berkali-kali miss call ke nomor saya. Maaf, tadi malam saya ketiduran. Kalau boleh tahu, ini dengan siapa ya?”
“Oh.. Tidak apa-apa. Saya seharusnya yang meminta maaf.” ujar seorang laki-laki di seberang sana. “Saya Maesan, kakaknya Neli.”
“Oo.. Kak Maesan toh rupanya,” Zuha girang. “Ada gerangan apa, Kak? Ada yang bisa Zuha bantu?”
“Begini,” ujar Maesan dengan serius. “Setelah memohon petunjuk dan bimbingan dari Allah, akhirnya saya memutuskan untuk mengajak Zuha hidup bersama saya.”
Seperti gelegar petir di siang bolong, Zuha terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia seakan tidak percaya dengan kenyataan. Iya, ia diajak menikah oleh Maesan, satu-satunya pemuda yang ia kagumi sejak dua tahun lalu. Namun, ia segera mengembalikan kesadarannya dan mulai berpikir. Akhirnya ia menemukan dua hal yang paradoks dalam dirinya, namun sama-sama meminta untuk diprioritaskan; yaitu cita-cita dan perasaannya. Zuha terdiam untuk beberapa saat lamanya. []

Islamic Missions City, 12 Februari 2013

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India