Kedalaman dan Ketajaman Analisis

Jika ada konsensus mengenai penemu ilmu Sosiologi, maka para khalayak akan sepakat  bahwa sosok Ibnu Khaldun-lah yang paling pantas digelari Bapak Sosiologi. Namun kita terkadang merasa cukup dengan mengetahui bahwa Ibnu Khaldun adalah Bapak Sosiologi, tidak lebih, kemudian berlalu begitu saja.

Tetapi tahukan kita, bagaimana Ibnu Khaldun bisa menjadi demikian? Apa saja hal-hal baru yang dipersembahkan? Bagaimana metodenya dalam menguraikan kejadian-kejadian historis, berikut tanggapan-tanggapan kritisnya? Apa saja gagasan-gagasan inovatifnya dalam  ilmu Filsafat Sejarah dan Ilmu Sosiologi? Nihil! Kita rupanya lebih nyaman dengan hal-hal ringan yang tidak memeras otak, sehingga mencukupkan diri dengan tahu bahwa Ibnu Khaldun adalah penulis buku Muqaddimah dan Bapak Sosiologi.

Salah satu hal yang paling menonjol dari karakter Ibnu Khaldun (732-808H) dalam setiap tulisannya adalah kedalaman dan ketajaman analisisnya. Lihatlah salah satu hukumnya yang masih bisa kita rasakan hingga sekarang. Ia berpendapat bahwa bangsa yang ditaklukkan (terbelakang), senantiasa meniru bangsa yang menaklukkannya (maju) dari segala aspek; apakah itu simbol, pakaian, agama, gaya hidup, hari-hari besar, dan lain-lain (2009: 157). Inilah yang membedakan Ibnu Khaldun dengan para sejarawan, baik yang mendahuluinya, maupun mereka yang datang setelah masa Ibnu Khaldun.

Jika para sejarawan sebelum Ibnu Khaldun menguraikan kejadian-kejadian secara naratif dan masih terbawa pengaruh ulama Hadis dalam perihal metode; seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluk karya Ibnu Jarir (224-310H), bahkan sampai pada sejarawan yang semasa dengan Ibnu Khaldun; seperti Ibnu Katsir (701-774H) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, maka sejarawan yang datang setelah Ibnu Khaldun—secara langsung maupun tidak langsung—terpengaruh dengan metode brilian Ibnu Khaldun. Jika anda tidak percaya, lihatlah metode yang digunakan oleh sejarawan-sejarawan setelahnya; semisal Al-Maqrizy (764-845H) dalam Khithath-nya, kemudian Al-Suyuthy (849-911H) dalam Husnul Muhadharah-nya.

Namun terlalu naif rasanya jika hanya menarasikan inovasi-inovasi Ibnu Khaldun dalam bidang Filsafat Sejarah dan Sosiologi, tanpa mendatangkan hal-hal baru dan sisi-sisi positif dari kehidupan ilmiahnya, yang penulis rasa lebih mengena dan mendatangkan manfaat. Adapun hal menarik yang pantas untuk kita angkat kali ini adalah kedalaman dan ketajaman analisis Ibnu Khaldun. Karena melalui kedalaman dan ketajaman analisis inilah, Ibnu Khaldun mendapat tempat yang begitu spesial di hati para penikmat sejarah.

Merupakan sunatullah, jika kedalaman analisis merupakan buah dari keluasan ilmu dan wawasan. Anda tidak mungkin datang dengan analisis yang dalam, jika pengetahuan anda terhadap sesuatu yang anda analisis, masih abal-abalan. Kemudian tindak lanjut dari kedalaman analisis tersebut adalah ketajaman analisis. Sebab, semakin dalam analisis seseorang, semakin bertambah keberanian seseorang untuk membuat kesimpulan yang jujur dan kritis, tanpa memikirkan risiko yang bakal menimpanya. Orientasinya pun hanya untuk menyampaikan hakikat dan kebenaran, tanpa pandang bulu.  Inilah yang terlihat jelas dari tabiat Ibnu Khaldun dan orang-orang yang mengikuti ide-idenya.

Dengan tabiat yang demikian, Ibnu Khaldun tidak segan-segan untuk menghukumi bahwa orang Arab tidak akan memperoleh kekuasaan kecuali dengan embel-embel agama, atau pengaruh yang signifikan dari agama (2009: 161). Begitu juga ketika ia menghukumi bahwa kebanyakan pembawa panji-panji ilmu pengetahuan dalam Islam adalah orang-orang non-Arab (2009: 614). Demikan pula halnya dengan ratusan hukum lainnya yang ia catat di dalam Muqaddimahnya, yang secara tidak langsung menujukkan keberanian dan kelugasannya.

Dengan metode kedalaman dan ketajaman analisis yang ia warisi dari Ibnu khaldun, Al-Maqrizy tidak berpikir panjang untuk menulis pembahasan khusus mengenai akhlak dan prilaku orang Mesir, meskipun dia sendiri adalah orang Mesir asli.

Di dalam Khithath-nya ia mengatakan (1998: 1/146), "Adapun mengenai perilaku mereka (orang Mesir), maka yang paling menonjol adalah selalu mengikuti syahwat, gemar berburu kelezatan, tersibukkan oleh kebatilan, acuh tak acuh, dan suka meremehkan, percaya dengan hal-hal mistis, tidak memiliki keteguhan hati, tidak mempunyai semangat, berpengalaman dalam hal tipu daya dan muslihat, suka mencari muka… Akibatnya, kebiasaan mereka semacam ini menjadi terkenal di mana-mana, bahkan menjadi adagium."

Di lain tempat, Al-Maqrizy (1998: 1/137) juga berpendapat bahwa kondisi geografis Mesir-lah yang berperan penting dalam menjadikan sebagian besar penduduk Mesir penakut dan bermental kerdil. Oleh karena itu, singa pun tidak sudi untuk tinggal di Bumi Kinanah ini. Binatang-binatang, seperti anjing pun ikut-ikutan menjadi penakut dan kehilangan taring dibanding anjing di negeri lainnya. Namun Al-Maqrizy pun tidak lupa bahwa ada juga sebagian kecil orang Mesir yang diberikan berbagai kelebihan oleh Allah; seperti akhlak yang mulia dan perlindungan dari berbagai macam keburukan.

Selain Al-Maqrizy, sejarawan yang lainnya; seperti Al-Suyuthy, juga terpengaruh dengan metode kedalaman dan ketajaman analisis Ibnu Khaldun di dalam Husnul Muhadharah-nya. Bahkan dengan tanpa rasa canggung ia menulis bab tersendiri mengenai penyebab orang Mesir menjadi terhina dan lalim (1968: 2/336-339).

Al-Suyuthy  kemudian menyebutkan bahwa suatu hari Sa'ad ibn Abi Waqqash pernah diutus Khalifah Utsman ibn Affan ke Mesir. Namun orang-orang Mesir melarang Sa'ad untuk memasuki kota Fusthath. Sa'ad pun berkata kepada mereka, "Dengarkanlah apa yang kukatakan kepada  kalian!" Tetapi—karena tabiat suka meremehkan—mereka tidak mau mendengar. Akhirnya Sa'ad pun berdoa kepada Allah untuk kehinaan mereka. Al-Suyuthy kemudian berkomentar, "Sa'ad adalah orang yang terkenal dengan doanya yang selalu terijabah oleh Allah, sebab Nabi pernah berdoa untuknya: Ya Allah kabulkanlah doa Sa'ad jika ia meminta kepada-Mu."

Terlepas dari akurasi analisis Al-Maqrizy dan Al-Suyuthy di atas, penulis hanya ingin menekankan bahwa seorang sejarawan, dan kaum terpelajar secara umum, harus benar-benar memiliki kedalaman dan ketajaman analisis dalam berbagai aspek kegiatan ilmiahnya. Karena dengan memiliki kedalaman dan ketajaman analisis, seseorang tidak akan pernah ragu-ragu, apalagi menjadi pengecut untuk menyampaikan kebenaran yang diyakininya. Sehingga mau tidak mau, kaum terpelajar kita harus lebih banyak belajar, lebih peka, dan lebih rasional.

Semua orang pun tahu, betapa pahitnya kebenaran. Al-Maqrizy dan Al-Suyuthy pun harus tetap kukuh dan seobjektif mungkin dalam tulisan ilmiah mereka berdua. Meski terkadang harus  terkesan mendiskreditkan bangsa dan tanah air mereka sendiri, sesuatu yang paling sensitif setelah keyakinan. Inilah contoh betapa pentingnya kedalaman dan ketajaman analisis dalam membentuk karakter ilmiah yang superioris, objektif, pemberani dan disegani.

Islamic Missions City, 27 Juni 2013

Sebuah Kritik

Selain kecermatan/ketelitian (al-Diqqah), salah satu asas dalam kritik sastra adalah al-Tanasuq al-Fanny, yaitu keselarasan/keteraturan; yang memuat di dalamnya keterkaitan teks dari awal hingga akhir, yang mengokohkan pikiran utama teks tersebut; termasuk juga ikatan pikiran dan emosional (al-Rabthu al-Fikry wa al-Syu'ury). Lewat kedua asas itulah para ulama di era modern menyingkap keindahan dan sisi kemukjizatan Alquran.

Aktualisasinya? Tenang saja. Saya punya contoh yang bagus. 

Ada tulisan seseorang yang menyebut Umar ibn al-Khattab sebagai "Singa Paling Cengeng". Pertanyaannya, apa yang anda dapati dalam diri anda ketika mendengar/membaca kata tersebut?

Bagi anda, para penikmat bahasa dan makna, pasti akan merasakan keganjilan ketika melihat seorang Umar --dengan keberanian yang luar bisa dan begitu mudahnya ia tersentuh-- disifati dengan "Singa Paling Cengeng".

Bagaimana tidak, karena kata "cengeng", memiliki konotasi negatif jika dinisbatkan kepada laki-laki dewasa. Anda, sebagai mahasiswa, tidak rela kan dibilang "mahasiswa cengeng"? Kemudian kata"cengeng" juga erat dengan kekanak-kanakan dan kelabilan. Lalu bagaimana halnya jika itu dinisbatkan kepada orang seagung Umar?!

Di sinilah berlaku apa yang disebut dengan ikatan pikiran dan emosional dalam sebuah teks. Bagaimana mungkin singa --dengan kandungan makna positif seperti: keberanian, kedewasaan, kematangan, keteguhan hati, dll.-- disandingkan dengan dengan kata "cengeng", yang secara umum memiliki konotasi berlawanan dengan "singa", bahkan membuat orang yang tersifati dengan kata tersebut, terlecehkan secara maknawi?

Memang, riwayat menyebutkan kalau Umar menangis tersedu-sedu dalam doanya. Namun keterseduan Umar sama sekali bukan menjadi legitimasi untuk menyifatinya dengan kata "cengeng". Akan tetapi menujukkan sempurnanya pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Selain itu, hal tersebut menyiratkan bahwa ia sama sekali tidak rela menujukkan kelemahannya kepada siapapun selain Dia.

Dengan demikian, si penulis seharusnya mencari kata yang maknanya sejalan dengan makna "singa", agar bisa memunculkan keselarasan teks dari awal hingga akhir, dan keserasian antara penggambaran dan perasaan (al-Muthabaqah bayna al-Tashwir wa al-Ihsas)

Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa pemilihan diksi yang akan mewakili makna yang ada dalam diri itu, tidak semudah yang kita bayangkan. Kemudian bagaimana diksi yang kita pilih itu menimbulkan keselarasan dan keserasian dengan ide utama teks. Jadi, jangan sembarangan memilih diksi.


Islamic Missions City, 13 Juni 2013



Risalah Perempuan

Perempuan. Iya, makhluk itu bernama perempuan. Keberadaannya adalah keseimbangan kehidupan. Jika kafilah kehidupan itu seperti burung, maka burung itu tidak akan pernah beranjak dari tempatnya, jika hanya mempunyai satu sayap. Begitu pula dengan kehidupan. Perempuan dan laki-laki adalah sepasang sayap yang membuat burung kehidupan bisa berterbangan membelai alam raya dalam keseimbangan dan ketenangan.

Arahkanlah pandanganmu kepada dirimu barang sejenak. Jika kau dapati kegoyahan jiwa yang membuatmu terlalu lambat atau terburu-buru menapaki getirnya penghidupan, lekaslah cari penyeimbangnya pada lawan jenismu. Lalu rajutlah benang cinta dan kasih dalam indahnya kesalingan.

Para wanita itu laksana pakaian bagi kalian
Kalian laksana pakaian bagi mereka

Perempuan. Makhluk yang bermahkota perasaan. Dengan kondisi demikian, Tuhan pun menahbiskan perempuan sebagai penjaga keberlangsungan ciptaan yang paling mulia. Dengan perasaan khusus itulah perempuan merawat janin kehidupan yang bermula dari rahimnya. Kemudian melawan pedih dan penat sepanjang jalan, demi kebaikan buah hatinya. Meskipun sesekali kelogisannya harus menggerutu karena terus didepak oleh kediktatoran perasaannya. 

Namun terlalu naif rasanya jika hanya berkutat dengan lukisan deskriptif kaum Hawa, tanpa mendatangkan hal baru yang kurasa lebih mengena dan lebih banyak mendatangkan manfaat. Sebab selama ada akal-akal yang selalu berpikir dan pena-pena yang senantiasa mewakili keberadaannya, maka pengulangan tidak akan mendapatkan tempatnya dalam hidup.

Perempuan dan keindahan itu ibarat manusia dan kepentingannya. Tidak terpisahkan dan memiliki dua dimensi yang berlawanan. Tak selamanya kepentingan itu berkonotasi negatif jika itu untuk orang banyak, dan tak selamanya keindahan itu positif bagi perempuan jika menyebabkannya tertelap lalu menangis sepanjang jalan.

Namun dibalik melekatnya keindahan pada hakikat perempuan, ternyata ada semacam kegoyahan yang sering mengusik keseimbangan jati diri dan perasaannya. Janganlah sekali-kali heran jika mereka selalu terlihat overaktif; baik ketika membenci, mencinta, marah, kecewa, sedih, dan lain-lain. Tidak terlalu berlebihan jika memutlakkan kegoyahan itu kepada titisan hawa ini. Walhasil, Nabi sejak dini berwasiat kepada kaum Adam.

"Berbaik-baiklah terhadap perempuan." 
"Bertakwalah dalam masalah perempuan."
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya."

Pesan-pesan di atas bukan hanya sekedar terucap lalu berlalu begitu saja. Tidak! Sama sekali tidak. Pesan-pesan di atas, meskipun terlihat sederhana, ternyata merupakan titah agung yang menembus dimensi waktu dan keadaan. Titah yang tujuannya melampaui batas pikir dan naluri manusia. Titah yang membawa risalah keseimbangan dan kebahagiaan dalam hidup.

Terkhayalkan olehku, setelah merenungi pesan Nabi tersebut, betapa sulitnya berbuat baik terhadap perempuan. Dan lebih susah lagi mengkonstankan perbuatan baik itu terhadap mereka. Anda mungkin heran, mengapa bisa demikian?

Bagaimana tidak susah, seorang laki-laki harus tahan banting dan ekstrasabar terhadap tabiat perempuan yang seringkali membuatnya harus gigit jari. Si laki-laki harus tertahan melihat istrinya ibarat lautan; baru beberapa saat setenang Lautan Teduh, lalu kini berombak bak Tsunami yang siap menyapu siapa saja yang menghadangnya.

Dengan tabiat kegoyahan yang melekat pada diri perempuan, mau tidak mau membuat ia sebentar-sebentar marah tanpa sebab, sebentar lagi menagis pilu, sebentar lagi tertawa lebar, sebentar lagi meminta ini dan itu, sebentar lagi merendahkan harkat dan martabat laki-laki.

Terkhayalkan olehku bagaimana ketika istri memarahi suaminya. Entah apapun alasannya. Terkhayalkan olehku bagaimana omongan sang istri yang tidak terputus-putus, sedangkan sang suami hanya bisa diam atau menjawab sekenanya. Terkhayalkan olehku bagaimana sang istri membuat suaminya begitu tertekan dengan caranya yang mengungkit-ungkit permasalahan ataupun keburukan suaminya dari A sampai Z. Terkhayalkan olehku bagaimana mimik sang istri meskipun suaminya bersikukuh meminta maaf kepadanya. Terkhayalkan olehku bagaimana dunia yang begitu lapang ini tiba-tiba dirasakan suami seperti tersekat dalam kardus kecil yang membuat napasnya terengah-engah.

Jika adanya demikian, maka jangan heran, mengapa Nabi, dalam berbagai kesempatan, seringkali menyuruh kaum Adam untuk bertakwa dalam masalah perempuan. Begitu juga denga suruhan Nabi untuk berbuat baik terhadap kaum perempuan, mengingat betapa susahnya hal tersebut.

Nabi pun tidak cukup menjelaskan hal tersebut dengan perkataan saja. Tetapi beliau langsung membuktikannya terhadap istrinya. Lihatlah, bagaimana Nabi—dengan akal yang besar beserta muruah yang senantiasa dijunjungnya—dengan suka rela mengiyakan ajakan Aisyah belia untuk lari-larian, demi keridaan sang istri.

Lihat pula, bagimana Nabi menghadapi sikap Aisyah yang menguntit beliau malam-malam dari belakang ketika menziarahi makam Khadijah, kemudian Aisyah tidak mau membukakan pintu bagi Sang Nabi. Kemudian bagaimana sabarnya Sang Nabi terhadap Aisyah yang kehilangan keseimbangan tatkala melampiaskan kekecewaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah "perempuan tua yang telah tiada", karena merasa dirinya lebih cantik, lebih muda, dan lebih layak menjadi nomor satu di hati Nabi.

Adapun tidak lanjut dari perintah ini adalah larangan untuk terburu-buru menceraikan sang istri, entah bagaimana pun keadaannya.

Pergauli mereka sebaik-baiknya
Jika kebencian menginjak ubun-ubun
Semoga di dalam riak-riak kebencian 
Terpendam kebaikan yang berlimpah

Siapa yang tahu jika yang terbenci itu suatu saat melahirkan anak yang paling cerdas yang pernah ada di muka bumi ini. Siapa yang tahu jika yang tak tersukai itu senantiasa mengharapkan kebaikan Tuhan bagi si pembenci. Siapa yang tahu jika diam-diam ia menyesali sikapnya yang keterlaluan namun lekas urung mengakui kesilapan masa lalu. Lagi sekali siapa yang tahu?

Tabiat perempuan yang terlihat paradoks dengan tabiat laki-laki seringkali menghadirkan bayangan negatif, baik dalam perspektif laki-laki, maupun dlam perspektif perempuan. Namun tidakkah tersadari jika kedua hal yang peradoks tersebut adalah kesempurnaan dan keseimbangan hidup?!

Salah satu tabiat yang paling kentara dari perempuan adalah tabiat selalu ingin berkuasa yang dibarengi dengan kediktatoran. Iya, perempuan selalu ingin berada di atas. Suka memerintah, namun enggan diperintah. Jika pada awal pernikahan si istri berhasil membahasakan sempurnanya ketaatan, maka lambat laun ketaatan itu semakin terkikis bersama bergulirnya zaman dan keadaan. Anak-anak pun menjadi legitimasi bagi sang istri untuk mulai membangkang, kemudian menyalahkan, dan akhirnya melakukan kudeta terhadap suaminya. Kini sang istri-lah yang menjadi penguasa tunggal untuk hari ini dan seterusnya. Rumah pun menjadi neraka tatkala kemauan sang istri tidak terturuti. Suami hanya bisa diam, sedangkan anak-anak hanya bisa menangis.

Namun perkara semacam ini bukan hal yang luput dari ajaran langit. Jauh-jauh hari Nabi mengingatkan, "Jika seorang perempuan menunaikan salat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadan, menjaga mertabatnya, dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga lewat pintu mana saja yang ia kehendaki." Atau di lain kesempatan beliau memberikan analogi, "Jika aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang, akan kuperintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya."

Terpikirkan olehku kalau perkataan Nabi di atas adalah upaya untuk memarginalkan hawa nafsu perempuan yang ingin selalu berada di atas awan. Selalu ingin menjadi nomor satu dalam segala hal, baik di hati suaminya, di hati anak-anaknya, bahkan di hati semua orang. Lalu ia akan sangat murka jika dibandingkan dengan sesamanya, namun ia sendiri sangat getol membadingkan dirinya dengan perempuan lain.

Terpikirkan olehku jika marginalisasi kekuasaan perempuan tersebut bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara dua makhluk Tuhan yang paling mulia ini. sehingga perempuan pun kembali kepada tujuan penciptaannya bagi kaum Adam, yaitu "Litaskunu ilaiha", makhluk yang menyediakan ketenangan bagi kaum laki-laki, makhluk yang mengusir hama-hama kegelisahan dan kepenatan hidup, makhluk yang menjadi sumber energi untuk menaklukkan tantangan kehidupan yang keras dan tidak menganal batas.

Perempuan. Makhluk indah yang mempunyai risalah mulia dalam penciptaannya. Menjagai keberlangsungan hidup manusia. Menjadi sumber ketenangan dan inspirasi. Bukan membuat sempit alam raya yang dibentangkan Tuhan dengan nalurinya yang superioris dan diktatoris. Dengan keseimbangan itulah burung kafilah kehidupan berterbangan di alam raya dengan kedua sayapnya, laki-laki dan perempuan.
  
Inilah beberapa sisi mengenai perempuan. Batapa banyak sisi-sisi lain makhluk ini yang menarik untuk dibahas.


Islamic Missions City, 9 Juni 2013

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India