Antara Pembunuhan Karakter dan Pengkultusan

Sebagai insan akademis, seharusnya kita membangun nalar kepekaan dan kekritisan di atas istiqra yang menyeluruh dan jauh dari tendensi personal. Bukan sebaliknya. Dengan begitu, kita akan keluar dengan analisis yang tajam dan kesimpulan yang objektif, namun tetap menjunjung tinggi norma dan perinsip agung Islam, yang mengedepankan kelapangan dada, menghargai perbedaan perndapat, dan tanpa mendiskreditkan mereka yang tidak sepaham dengan kita.

Namun karena terlalu berambisi untuk meyakinkan manusia bahwa pendapat kita-lah yang paling benar, kita seringkali mengabaikan fondasi istiqra yang menyeluruh. Akibatnya, orang yang berbeda pendapat dengan kita pun menjadi korban dari duri lidah dan racun tulisan kita.

Lihatlah analisis tendensius saudara-saudara kita terhadap mauqif Syaikh Ahmad Tayyib! Tulisan-tulisan mereka terus mendiskreditkan Grand Syaikh kita tersebut. Nalar-nalar kritis yang menjadi mahkota seorang insan akademis, tergerus oleh api kemarahan yang membuat mereka mencukupkan diri dengan mauqif beliau saat pemakzulan Presiden Mursi, dan tidak mau lagi mendengar atau mengikuti mauqif-mauqif beliau setelah itu.

Akibatnya, kekritisan saudara-saudara kita tersebut sudah kehilangan makna dan implementasinya di dalam perkataan maupun tulisan mereka. Lebih parahnya lagi, mereka melakukan barbagai macam upaya untuk melegitimasi analisis tendensius mereka yang menghilangkan respek saudara-saudara mereka sesama insan akademis.

Logika pengalaman yang menjadi bahan pertimbangan dalam kehidupan akademis adalah "la ya'rifu qadra rajulin illa rajulun mitsluh", yang berarti tidak akan tahu kadar keilmuan seseorang kecuali orang yang semisal dengannya. Dengan mantik seperti inilah kita harus tahu, mengapa para ulama atau pemikir seperti Syaikh Hasan Syafii, Dr. Muhammad Imarah, Fahmi Huwaidi, Dr. Muhammad Salim al-Awwa, Dr. Muhammad Mukhtar al-Mahdi, Syaikh Muhammad Isa al-Maasarawi dan lain-lain; tetap menaruh respek yang besar terhadap Syaikh Ahmad Tayyib, meskipun mereka berbeda pendapat dengan beliau.

Dengan mantik seperti itu pula kita harusnya berkaca diri dengan para ulama itu, bukan hanya mengambil pendapat mereka yang menolak kudeta ini, lalu mengabaikan kesantunan dan kelapangan dada mereka terhadap Grand Syaikh. Sehingga menyebabkan ketimpangan yang begitu signifikan dalam kepribadian dan keilmuan kita. Kita menganggap diri berilmu karena belajar di perguruan tinggi Islam ternama, namun realisasi keilmuan dan wawasan keazharan, yang mengedepankan kematangan akal dan pikiran, kerendahan hati, kesantunan, dan kelapangan dada dalam perbedaan; sama sekali nol dan tidak bisa diharapkan sedikitpun.

Pengkultusan Al-Azhar dan Grand Syaikh
Saya tidak heran dengan reaksi yang ditunjukkan oleh saudara-saudara saya yang begitu mencintai Al-azhar dan Grand Syaikhnya; saat melihat Al-Azhar dan Grand Syaikhnya didiskreditkan hingga melampaui titik naluri kewajaran. Lebih anehnya, yang melakukan penghinaan dan pembunuhan karakter ini adalah saudara-saudara saya sesama penimba ilmu di Al-Azhar. Kita tentunya sangat menyayangkan, ada sekelompok mahasiswa Al-Azhar yang meludah di piring tempat mereka makan.  

Reaksi tersebut merupakan akibat yang tak terelakkan dari pembunuhan karakter Syaikh Al-Azhar yang mereka gembor-gemborkan lewat beberapa media. Bahkan kemarahan saudara-saudara saya yang begitu mencintai Grand Syaikh semakin tersulut saat media partai politik di Indonesia memasang karikatur Grand Syaikh --yang mengenakan seragam resmi tentara Mesir dengan serban azhari sebagai penutup kepalanya-- pada artikel pendek yang ditulis oleh seorang mahasiswa Al-Azhar, meskipun kini sudah diganti dengan foto Raja Abdullah dan Jenderal Al-Sisi. 

Namun yang membuat kita semua gigit jari adalah ketika karikatur Grand Syaikh diletakkan  pada artikel yang tidak menyebutkan secuil pun nama Grand Syaikh. Oke, paragraf pertama sampai ketiga memang mengulas permasalahan fatwa yang mungkin bisa mengaitkan Grand Syaikh. Akan tetapi, analisis dangkal dan pengabaian istiqra yang menyeluruh pada tulisan anda, tidak akan mungkin mengantarkan anda pada hakikat, dan justru meyakinkan kami kalau analisis tendensius anda semata-mata untuk mengokohkan kepentingan politik dan golongan anda sendiri.

Sekali lagi saya tidak heran dengan pembelaan mati-matian para pecinta Grand Syaikh yang terlihat sampai pada tahap pengkultusan. Bahkan pembelaan tersebut memunculkan paradigma baru bahwa Al-Azhar adalah hakikat yang menjadi lumbung kebenaran. Menyalahi Al-Azhar dan Grand Syaikhnya adalah menyalahi kebenaran. Apapun mauqif Grand Syaikh adalah kebenaran yang wajib didukung. Begitu seterusnya.

Saya melihat betapa perlunya kita membaca Al-Azhar dari awal samapi akhir. Mengapa demikian? Karena paradigma destruktif yang demikian hanya akan mengubah orientasi Al-Azhar dan menebalkan awan kelam kemunduran Al-Azhar itu sendiri. Dengan membaca Al-Azhar, kita akan tahu betapa humanisnya Al-Azhar dan para ulamanya, sehingga kita pun menatap Al-Azhar dan ulamanya dengan tatapan yang humanis, mantiki, dan penuh respek.

Kita, para azhari, setelah mendapatkan pengajaran dari para dosen dan masyayikh di kampus maupun di Masjid Al-Azhar, tentunya sangat memahami paradigma seorang mujtahid/alim. Kerangka berpikir seorang mujtahid adalah keyakinan bahwa kebenaran pendapat kita itu mengandung kesalahan; dan keyakinan bahwa kesalahan pendapat orang lain itu mengandung kebenaran. 

Dengan demikian, tidak ada alasan yang rasional untuk sebuah pengkultusan, baik Al-Azhar itu sendiri maupun Grand Syaikhnya. Al-Azhar pun --di dalam pandangan kita-- tetap menjadi rujukan ilmu-ilmu keislaman (marji'iyah ilmiyah), bukan menjadi rujukan Islam itu sendiri (marji'iyah diniyah). Sebab, yang menjadi rujukan Islam adalah Allah dan Nabi Muhammad, bukan Al-Azhar, bukan Grand Syaikh, bukan Mufti, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, kita kembali menegaskan bahwa bagaimanapun juga, Grand Syaikh tetap seorang manusia, yang memegang teguh identitas dan tabiat menusia itu sendiri. Kita, selaku anak-anak asuh beliau, harus tetap menatap beliau dengan tatapan hormat dan humanis. Jika hari ini kita mungkin sepakat dengan beliau, maka boleh jadi besok atau lusa kita bisa saja berbeda pendapat dengan beliau. Namun tetap saja, kita harus menghargai dan menghormati beliau, bukan mendiskreditkan dan membunuh karakter beliau.

Grand Syaikh tentunya sangat mengharapkan anak didiknya kritis dan peka dengan pekerti azhari. Saya pun berani menjamin, kalau Grand Syaikh tidak akan rida kalau anak didiknya seperti keledai yang membawa tumpukan buku bermanfaat, namun tidak tahu apa yang dibawanya, apalagi untuk memahami lalu mengamalkan.[]


Saqr Quraish, 30 Agustus 2013

Air Kita

lihatlah air kita ini!
kau dan aku bermula dari sini
dalam dekapnya kita terlelap tenang
lalu saat pagi kita berenang ria
menyuarakan cekikikan harapan
semoga tawa ini tiada akhir

kini matahari sudah tergelincir
kita tak lagi seperti dulu
aku menemukan diriku
kamu menemukan dirimu
langkah kita kini berkepentingan
tak ada lagi budaya cuma-cuma

tapi tahukah kamu?
air kita tetap saja seperti sediakala
memberi kita napas kehidupan
menawarkan untaian mimpi
menghilangkan sekat kegelisahan

kini kita terkuasai hasrat kekuasaan
aku ingin terdepan di hati manusia
begitu juga kamu
air kita pun terkena imbas
kita ingin menguasainya sendiri-sendiri
air kita pun berkeruh darah kita
demi air, kita saling makan
aku bersimbah darah
kamu terkulai lemas
aku menangis
kamu tersedu
air kita tertelap
sesal selamanya


Ahmad Satriawan Hariadi
Bawwabah, 14 Agustus 2013
Saat pembantaian manusia menjadi-jadi di Nahdhah dan Rab’ah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India