Setelah
ditemani kepenatan selama setengah jam lebih untuk menunggu, akhirnya “Bus 65
Merah” kelihatan juga batang hidungnya. Aku pun bergegas menapaki pintu bus bagian
belakang. Gerah, sumpek, dan letih membias sebuah mimik yang masam dan acuh. Memang,
karena aku baru saja selesai mengikuti kursus kaligrafi di kantor ICMI orsat Kairo,
Rab’ah El Adawea, selama tiga jam lebih lamanya. Ditambah lagi dengan keadaan
bus yang sesak oleh para penumpang yang berjejalan.
Petang itu
seakan menjadi sebuah neraka bagiku. Dengan tenaga yang sayup-sayup, aku terus menerobos
jejalan manusia tersebut untuk mendapatkan tempat berdiri yang agak nyaman hingga
asramaku nanti, meskipun harus berdiri sepanjang perjalanan. Usahaku pun tidak sia-sia,
sempoyongan tanganku menggapai tiang yang berada di balakang supir bus. Aku pun
menyandarkan pundakku pada tiang tersebut, sembari mendulang napas agar
tenagaku pulih kembali.
Tiba-tiba
aku merasakan lenganku ditepuk-tepuk pelan. Kualihkan pandanganku ke belakang dan
selenting suara menyambutku, “Izayyak ya ibni?” Bagaimana kabarmu anakku?
Ternyata
pemilik suara itu adalah satu dari ammu-ammu (pekerja) yang bertugas menjaga
dan membersihkan flatku di Madinah Buuts Islamiyah (Islamic Missions City),
asrama resmi mahasiswa al-Azhar yang didesain seperti sebuah kota mini dengan
47 apartemen, terletak di kawasan Abbasea.
“Ehh.. Ammu!
Alhamdulillah,” jawabku dengan terbalak sambil keheranan. “Enta izayyak?” Kamu
bagaimana?
“Alhamdulillah,”
ujarnya sambil tersenyum. “Kamu dari mana?”
“Dari
kursus kaligrafi,” balasku. “Kalau Ammu sendiri baru dari mana?”
“Dari
Tanta.”
Perasaanku
mulai mencair tenang. Sekat-sekat yang membuat jiwa begitu sempit, tergerus dengan
suasana hangat obrolan kami yang begitu santai dan hidup. Keluh kesah dan letihku
tersapu oleh candaan dan cekikikan kami. Dimensi ruang dan waktu seakan berlepas
diri dari kami untuk beberapa saat lamanya. Ammu itu bercerita kalau ia menghabiskan
liburan akhir pekannya untuk berkumpul bersama sanak keluarganya di Tanta.
Meskipun
sudah tiga tahun lebih aku melihat Ammu ini, aku sama sekali belum mengetahui
namanya. Aku hanya akrab dengan sapaan khas orang Mesir ketika kami ketemu ataupun
berpapasan di jalan; seperti sapaan “Izayyak?”, “Amil eh?”, dan
lain-lain. Dengan usia yang sudah tidak muda lagi, ia tetap setia menjaga kebersihan
flat kami. Padahal, kernyitan alis dan dahinya senantiasa mengingatkannya bahwa
dia saa ini tak sekuat dulu lagi.
“Nama Ammu
siapa sih?” aku memotong pembicaraannya yang panjang lebar. “Kita sering ketemu,
tapi tidak saling mengenal.”
“Saya
Musa,” jawabnya. “Kalau kamu, Nak?”
“Saya
Ahmad.”
Aku lalu
melanjutkan obrolanku dengan Ammu Musa. “Ammu sudah berapa lama
sih bekerja di Buuts?”
“Lebih dari
tiga puluh tahun, Nak,” ujarnya. “Saya bekerja di sana sejak tahun 1981.”
Wah!
Tenyata ia sudah sangat lama bekerja di asrama yang dibangun pada tahun 1954,
di bawah komando Grand Imam Abdurrahman Taj (1886-1973) tersebut. Asrama itu
memang sudah lebih dari setengah abad itu secara resmi dibuka pada tahun 1959
oleh Presiden Gamal Abdel Nasser (1918-1970), didampingi oleh Grand Imam Mahmud
Shaltut (1893-1963).
Ammu Musa tenyata sungguh setia menjaga para pelajar asing yang
menimba ilmu di negeri Kinanah ini, begitu juga memelihara flat-flat di asrama tersebut.
Aku pikir dia sudah sangat pengalaman terhadap tabiat mahasiswa dari berbagai
belahan dunia, serta bagaimana bermualah dengan mereka. Bagaimana tidak,
mahasiswa asing yang tinggal di Buuts berasal dari 105 negara, bahkan lebih. Sedangkan
jumlah keseluruhan mereka berkisar antara 3500-4000 mahasiswa, mahasiswi dan
pelajar.
Para
pelajar asing di Buuts selama ini hanya bisa menikmati indahnya menimba imu di
Mesir, tanpa sedikit pun memikirkan para Ammu yang melayani mereka
dengan luar biasa. Fasilitasnya pun tak ada yang bisa menandinginya; sebut saja
perpustakaan yang besar, tampat fitnes, gelanggang olahraga, taman-taman yang
asri dan pepohonan yang teduh, asupan gizi yang tinggi, pelayanan antar-jemput
kuliah, kuliah-kuliah umum dari ulama-ulama berkaliber, flat-flat yang nyaman,
uang pesangon tiap bulan, dan masih banyak lagi.
Bisa
anda bayangkan, betapa nikmatnya menjadi mahasiswa. Anda tinggal belajar dan
belajar, tanpa harus memikirkan beban hidup. Namun nyatanya tetap saja, para Ammu
itulah yang membuat Madinah Buuts menjadi surga dunia bagi para pelajar asing
tersebut, sebelum mereka menapaki surga akhirat kelak.
Aku
kembali melihat wajah Ammu Musa. Ada sebuah ketulusan yang membuat jiwanya
acuh tak acuh dengan guratan-guratan keletihan itu. Rasa penasaranku terhadap
sosoknya semakin membuncah.
“Terus berapa
umur Ammu sekarang?”
“Lima
puluh delapan tahun.”
“Anak-anak
Ammu?”
“Saya
punya dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan.”
“Lalu
anak-anak Ammu pada sekolah di mana saja?”
“Yang
paling besar, Muhammad, sudah lulus dari Fakultas Teknik, Universitas Tanta,
dan sekarang bekerja di salah satu perusahaan minyak,” ceritanya penuh
semangat. “Yang kedua, Amr, masih duduk tingkat akhir Fakultas Ekonomi.
Sedangkan Amera, Su’ad dan Fatimah masing-masing duduk di bangku SMA, SMP dan
SD.”
Subhanallah!
Luar biasa sekali orang ini!
Aku
hanya bisa terpaku dalam kekagumanku pada sosok pahlawan ini. Ammu Musa
rela mengorbankan hari-harinya bersama keluarga demi pendidikan anak-anaknya.
Aku bisa memastikan bahwa sumber penghasilan Ammu Musa untuk menafkahi
keluarganya hanya dari Buuts. Bagaimana tidak, dia hanya menghabiskan waktu selama
enam hari penuh untuk bekerja dari pagi hingga pagi lagi.
Alur
kehidupan yang telah Tuhan desain memang sangat logis dan teratur. Ada satu
hukum yang menjadi konstitusi dasar para makhluk dalam menjalani kehidupan
mereka. Tidak lain hukum tersebut adalah hukum kausalitas, atau sunnatullah
dalam bahasa Aquran. Sehingga, setiap mereka hendak melakukan sesuatu, mereka harus
memperhatikan betul hukum sebab-akibat, sebab al-jaza’ min jinsi al-ʻamal, besar balasan itu tergantung perbuatan.
Nabi
pun diperintah untuk berpegang teguh dengan sunnatullah dalam keadaan
bagaimanapun, bahkan saat beribadah. Jika anda tidak percaya, silakan cermati
bagaimana Allah memerintahkan Nabi dan kaum muslimin—saat berperang—untuk senantiasa
berikhtiar semaksimal mungkin agar kemenangan bisa direngkuh.
Allah
berseru kepada Nabi agar tidak lengah sedikitpun, meskipun sedang menunaikan
salat [4:102]: “Dan kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang
senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka
bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu
lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus.”
Dengan
demikian, tidak sepatutnya seorang musli m untuk putus asa karena sempitnya penghidupan
dan beratnya ujian kehidupan. Sebab agamanya menyuruhnya untuk bekerja dan
bekerja [9:105], bukan menjadi sosok yang kumal dan pemalas, atau hanya sibuk
beribadah saja tanpa bekerja. Dia pun sangat percaya dan yakin, siapa yang menanam dia akan mengetam.
Aku
melihat hal ini telah disadari betul oleh Ammu Musa. Sehingga dia percaya,
kalau kegigihannya dalam mengais rezeki Allah untuk menafkahi keluarganya, akan
selalu tercatat sebagai amal ibadah dan ketaatan tehadap perintah Allah. Dia
juga yakin, kalau dia hanya berleha-leha dan bermalas-malasan, maka kehidupan
keluarganya bakal terlantar dan semrawut, pendidikan anak-anaknya pun akan
tersengguk-sengguk tak karuan.
Aku pun
ingin tahu, bagaimana ia menafkahi keluarganya, menyekolahkan anak-anaknya, dan
memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
“Untuk
biaya hidup keluarga dan pendidikan anak-anak Ammu bagaimana?”
Dia
terkekeh-kekeh.
Kok
ketawa sih?!
Aku
penasaran. Apa yang menyebabkan Ammu Musa tertawa lepas untuk beberapa
saat lamanya? Aku yakin, tidak ada yang lucu dari pertanyaanku itu. Tiba-tiba
dia mengarahkan tangan kanannya ke pundakku.
“Nak!
Allah yang telah mencukupi semuanya,” ujarnya. “Aku hanya berusaha dan bekerja
semampuku…”
Subhanallah!
Tawakal macam apa ini?! Sungguh luar biasa! Aku terkagum-kagum.
Ammu Musa lalu menceritakan panjang lebar perihal biaya hidup
dan pendidikan anak-anaknya. Benar dugaanku sebelumnya, kalau dia honornya di
Buuts merupakan satu-satunya sumber pemasukan keluarga dari dirinya. Aku pun
berpikir, kalau hanya buuts saja sembernya, maka bisa dipastikan tidak akan
mencukupi. “Iya.. Istriku juga membantu kebutuhan kami dengan mendirikan kios
di pinggir jalan,” katanya.
“Salah
satu kelebihan istriku adalah kelihaiannya mengatur keuangan keluarga,” lanjut Ammu
Musa. “Itulah yang membuatku tenang dan nyaman bekerja di Buuts, meskipun
honornya tidak seberapa.
Aku
selalu menanamkan di dalam jiwa anak-anakku untuk selalu merasa cukup,
bagaimana pun kondisinya. Sebab, siapa yang merasa cukup, Allah akan
mencukupinya. Istriku senantiasa mengingatkanku untuk tetap ikhlas bekerja di
Buuts, agar mendapatkan barakah Al-Azhar, sumber ilmu dan ulama.
Memang,
aku pernah mendapati kesulitan untuk membiayai Muhammad, saat ia masih duduk di
bangku perkuliahan dulu. Aku harus meminjam uang di sana-sini. Tapi
alhamdulillah, dia sekarang sudah bisa membantu kami membiayai pendidikan
adik-adiknya.”
Aku
hanya bisa berkaca-kaca dengan keteguhan dan ketegaran orang yang berada di depanku
ini. Tiba-tiba aku mendengar teriakan.
“Elley ʻauz
Buuts!”Yang mau turun di Buuts!
Tidak
terasa, akhirnya kami tiba juga di Buuts. Akhirnya kami kembali juga ke dimensi
kehidupan. Aku merasa baru saja mendapatkan kuliah kehidupan. Bagaimana
konsistensi seorang hamba untuk berusaha dalam mengambil sebab keberhasilan,
bagaimana sempurnanya keyakinan bahwa Allah sama sekali tidak akan
menyia-nyiakannya sedikitpun.
Muhammad, katakan kepada manusia!
Yang sibuk mengubur hidupnya
Antara benalu-benalu kesenangan
Pun mereka yang membumi lemah
Atau terperosok di kawah ketakutan
Sekali lagi katakan wahai Muhammad!
Kepada mereka yang menunggu kematian
Juga yang tak kuasa membuka mata
“Bekerjalah! Bekerjalah wahai manusia!
Bekerjalah karena Tuhan!
Karena mengharap rida Tuhan
Bekerjalah untuk kebaikanmu sendiri!
Jangan diam dan mengeluh saja!
Tuhanmu akan melihatnya
Muhammad akan melihatnya
Seluruh manusia akan melihatnya.”
Islamic
Missions City, 14 April 2013