Cerita Terjalnya Keberjarakan

Haruskah perasaan ini mengubur pendengaran, hingga untuk mendengar cekikikan air, aku harus meminta Da Vinci melukiskan gemerciknya? Haruskah mata ini tak lagi membaca cahaya, hingga untuk mengerti isyaratmu, aku harus meminta gerimis malam menjelaskan maksudmu? Mengapa jalan menujumu begitu terjal, wahai Rabia?

Sungguh bukan kuasaku jika apa yang melekat pada diriku ini tak sempat membuatmu menoleh ke arahku beberapa detik saja. Ah! Rasanya aku ingin menari-nari di atas lembaran harapan agar kau bisa membacaku dengan ketulusanmu. Atau aku ingin menutup matamu agar kau tak sesak saat aku berada di dekatmu. Alangkah jauh keberjarakan ini!

Namun tahukah kamu, penantianku akan sosokmu lebih tegar dari bangunan usang yang kau lihat di negeri berjuta cerita ini. Akulah yang menjajal setiap kesempatan yang diberikan oleh kehidupan untuk membuat matamu lebih lama menatapku agar kata-kata yang tak kuasa terlafalkan ini bisa kau eja, meski terbata-bata.

Tetapi hingga kini kesempatan itu belum juga menampakkan bayangannya. Sedangkan perjalanan waktu yang sangat konsisten pada ritmenya mulai melayukan jasadku yang sebentar lagi usang dimakan zaman. Aku selalu bertanya kepada langit, mungkinkah suatu saat ketulusan bisa menjadi alasanmu untuk menyeka linang air mataku? Namun langit hanya diam. Ia terus saja diam dan diam.

Katakan padaku, apakah aku harus menggenggam dunia dulu untuk mendapatkan seutas senyumanmu? Atau aku harus kau injak-injak dulu agar bisa bernilai di matamu? Entahlah! Kaupun juga terdiam. Sama seperti langit. Lekaslah kemari jika kau telah menemukan ketulusan saat membaca hakikatku.


27 Oktober 2013

Kuliah Kehidupan dari Ammu Musa

Setelah ditemani kepenatan selama setengah jam lebih untuk menunggu, akhirnya “Bus 65 Merah” kelihatan juga batang hidungnya. Aku pun bergegas menapaki pintu bus bagian belakang. Gerah, sumpek, dan letih membias sebuah mimik yang masam dan acuh. Memang, karena aku baru saja selesai mengikuti kursus kaligrafi di kantor ICMI orsat Kairo, Rab’ah El Adawea, selama tiga jam lebih lamanya. Ditambah lagi dengan keadaan bus yang sesak oleh para penumpang yang berjejalan.
Petang itu seakan menjadi sebuah neraka bagiku. Dengan tenaga yang sayup-sayup, aku terus menerobos jejalan manusia tersebut untuk mendapatkan tempat berdiri yang agak nyaman hingga asramaku nanti, meskipun harus berdiri sepanjang perjalanan. Usahaku pun tidak sia-sia, sempoyongan tanganku menggapai tiang yang berada di balakang supir bus. Aku pun menyandarkan pundakku pada tiang tersebut, sembari mendulang napas agar tenagaku pulih kembali.
Tiba-tiba aku merasakan lenganku ditepuk-tepuk pelan. Kualihkan pandanganku ke belakang dan selenting suara menyambutku, “Izayyak ya ibni?” Bagaimana kabarmu anakku?
Ternyata pemilik suara itu adalah satu dari ammu-ammu (pekerja) yang bertugas menjaga dan membersihkan flatku di Madinah Buuts Islamiyah (Islamic Missions City), asrama resmi mahasiswa al-Azhar yang didesain seperti sebuah kota mini dengan 47 apartemen, terletak di kawasan Abbasea.
“Ehh.. Ammu! Alhamdulillah,” jawabku dengan terbalak sambil keheranan. “Enta izayyak?” Kamu bagaimana?
“Alhamdulillah,” ujarnya sambil tersenyum. “Kamu dari mana?”
“Dari kursus kaligrafi,” balasku. “Kalau Ammu sendiri baru dari mana?”
“Dari Tanta.”
Perasaanku mulai mencair tenang. Sekat-sekat yang membuat jiwa begitu sempit, tergerus dengan suasana hangat obrolan kami yang begitu santai dan hidup. Keluh kesah dan letihku tersapu oleh candaan dan cekikikan kami. Dimensi ruang dan waktu seakan berlepas diri dari kami untuk beberapa saat lamanya. Ammu itu bercerita kalau ia menghabiskan liburan akhir pekannya untuk berkumpul bersama sanak keluarganya di Tanta.
Meskipun sudah tiga tahun lebih aku melihat Ammu ini, aku sama sekali belum mengetahui namanya. Aku hanya akrab dengan sapaan khas orang Mesir ketika kami ketemu ataupun berpapasan di jalan; seperti sapaan “Izayyak?”, “Amil eh?”, dan lain-lain. Dengan usia yang sudah tidak muda lagi, ia tetap setia menjaga kebersihan flat kami. Padahal, kernyitan alis dan dahinya senantiasa mengingatkannya bahwa dia saa ini tak sekuat dulu lagi.
“Nama Ammu siapa sih?” aku memotong pembicaraannya yang panjang lebar. “Kita sering ketemu, tapi tidak saling mengenal.”
“Saya Musa,” jawabnya. “Kalau kamu, Nak?”
“Saya Ahmad.”
Aku lalu melanjutkan obrolanku dengan Ammu Musa. “Ammu sudah berapa lama sih bekerja di Buuts?”
“Lebih dari tiga puluh tahun, Nak,” ujarnya. “Saya bekerja di sana sejak tahun 1981.”
Wah! Tenyata ia sudah sangat lama bekerja di asrama yang dibangun pada tahun 1954, di bawah komando Grand Imam Abdurrahman Taj (1886-1973) tersebut. Asrama itu memang sudah lebih dari setengah abad itu secara resmi dibuka pada tahun 1959 oleh Presiden Gamal Abdel Nasser (1918-1970), didampingi oleh Grand Imam Mahmud Shaltut (1893-1963).
Ammu Musa tenyata sungguh setia menjaga para pelajar asing yang menimba ilmu di negeri Kinanah ini, begitu juga memelihara flat-flat di asrama tersebut. Aku pikir dia sudah sangat pengalaman terhadap tabiat mahasiswa dari berbagai belahan dunia, serta bagaimana bermualah dengan mereka. Bagaimana tidak, mahasiswa asing yang tinggal di Buuts berasal dari 105 negara, bahkan lebih. Sedangkan jumlah keseluruhan mereka berkisar antara 3500-4000 mahasiswa, mahasiswi dan pelajar.
Para pelajar asing di Buuts selama ini hanya bisa menikmati indahnya menimba imu di Mesir, tanpa sedikit pun memikirkan para Ammu yang melayani mereka dengan luar biasa. Fasilitasnya pun tak ada yang bisa menandinginya; sebut saja perpustakaan yang besar, tampat fitnes, gelanggang olahraga, taman-taman yang asri dan pepohonan yang teduh, asupan gizi yang tinggi, pelayanan antar-jemput kuliah, kuliah-kuliah umum dari ulama-ulama berkaliber, flat-flat yang nyaman, uang pesangon tiap bulan, dan masih banyak lagi.
Bisa anda bayangkan, betapa nikmatnya menjadi mahasiswa. Anda tinggal belajar dan belajar, tanpa harus memikirkan beban hidup. Namun nyatanya tetap saja, para Ammu itulah yang membuat Madinah Buuts menjadi surga dunia bagi para pelajar asing tersebut, sebelum mereka menapaki surga akhirat kelak.
Aku kembali melihat wajah Ammu Musa. Ada sebuah ketulusan yang membuat jiwanya acuh tak acuh dengan guratan-guratan keletihan itu. Rasa penasaranku terhadap sosoknya semakin membuncah.     
“Terus berapa umur Ammu sekarang?”
“Lima puluh delapan tahun.”
“Anak-anak Ammu?”
“Saya punya dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan.”
“Lalu anak-anak Ammu pada sekolah di mana saja?”
“Yang paling besar, Muhammad, sudah lulus dari Fakultas Teknik, Universitas Tanta, dan sekarang bekerja di salah satu perusahaan minyak,” ceritanya penuh semangat. “Yang kedua, Amr, masih duduk tingkat akhir Fakultas Ekonomi. Sedangkan Amera, Su’ad dan Fatimah masing-masing duduk di bangku SMA, SMP dan SD.”
Subhanallah! Luar biasa sekali orang ini!
Aku hanya bisa terpaku dalam kekagumanku pada sosok pahlawan ini. Ammu Musa rela mengorbankan hari-harinya bersama keluarga demi pendidikan anak-anaknya. Aku bisa memastikan bahwa sumber penghasilan Ammu Musa untuk menafkahi keluarganya hanya dari Buuts. Bagaimana tidak, dia hanya menghabiskan waktu selama enam hari penuh untuk bekerja dari pagi hingga pagi lagi.
Alur kehidupan yang telah Tuhan desain memang sangat logis dan teratur. Ada satu hukum yang menjadi konstitusi dasar para makhluk dalam menjalani kehidupan mereka. Tidak lain hukum tersebut adalah hukum kausalitas, atau sunnatullah dalam bahasa Aquran. Sehingga, setiap mereka hendak melakukan sesuatu, mereka harus memperhatikan betul hukum sebab-akibat, sebab al-jaza’ min jinsi al-ʻamal, besar balasan itu tergantung perbuatan.
Nabi pun diperintah untuk berpegang teguh dengan sunnatullah dalam keadaan bagaimanapun, bahkan saat beribadah. Jika anda tidak percaya, silakan cermati bagaimana Allah memerintahkan Nabi dan kaum muslimin—saat berperang—untuk senantiasa berikhtiar semaksimal mungkin agar kemenangan bisa direngkuh.
Allah berseru kepada Nabi agar tidak lengah sedikitpun, meskipun sedang menunaikan salat [4:102]: “Dan kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.”
Dengan demikian, tidak sepatutnya seorang musli m untuk putus asa karena sempitnya penghidupan dan beratnya ujian kehidupan. Sebab agamanya menyuruhnya untuk bekerja dan bekerja [9:105], bukan menjadi sosok yang kumal dan pemalas, atau hanya sibuk beribadah saja tanpa bekerja. Dia pun sangat percaya dan  yakin, siapa yang menanam dia akan mengetam.
Aku melihat hal ini telah disadari betul oleh Ammu Musa. Sehingga dia percaya, kalau kegigihannya dalam mengais rezeki Allah untuk menafkahi keluarganya, akan selalu tercatat sebagai amal ibadah dan ketaatan tehadap perintah Allah. Dia juga yakin, kalau dia hanya berleha-leha dan bermalas-malasan, maka kehidupan keluarganya bakal terlantar dan semrawut, pendidikan anak-anaknya pun akan tersengguk-sengguk tak karuan.
Aku pun ingin tahu, bagaimana ia menafkahi keluarganya, menyekolahkan anak-anaknya, dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
“Untuk biaya hidup keluarga dan pendidikan anak-anak Ammu bagaimana?”
Dia terkekeh-kekeh.
Kok ketawa sih?!
Aku penasaran. Apa yang menyebabkan Ammu Musa tertawa lepas untuk beberapa saat lamanya? Aku yakin, tidak ada yang lucu dari pertanyaanku itu. Tiba-tiba dia mengarahkan tangan kanannya ke pundakku.
“Nak! Allah yang telah mencukupi semuanya,” ujarnya. “Aku hanya berusaha dan bekerja semampuku…”
Subhanallah! Tawakal macam apa ini?! Sungguh luar biasa! Aku terkagum-kagum.
Ammu Musa lalu menceritakan panjang lebar perihal biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya. Benar dugaanku sebelumnya, kalau dia honornya di Buuts merupakan satu-satunya sumber pemasukan keluarga dari dirinya. Aku pun berpikir, kalau hanya buuts saja sembernya, maka bisa dipastikan tidak akan mencukupi. “Iya.. Istriku juga membantu kebutuhan kami dengan mendirikan kios di pinggir jalan,” katanya.
“Salah satu kelebihan istriku adalah kelihaiannya mengatur keuangan keluarga,” lanjut Ammu Musa. “Itulah yang membuatku tenang dan nyaman bekerja di Buuts, meskipun honornya tidak seberapa.
Aku selalu menanamkan di dalam jiwa anak-anakku untuk selalu merasa cukup, bagaimana pun kondisinya. Sebab, siapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya. Istriku senantiasa mengingatkanku untuk tetap ikhlas bekerja di Buuts, agar mendapatkan barakah Al-Azhar, sumber ilmu dan ulama.
Memang, aku pernah mendapati kesulitan untuk membiayai Muhammad, saat ia masih duduk di bangku perkuliahan dulu. Aku harus meminjam uang di sana-sini. Tapi alhamdulillah, dia sekarang sudah bisa membantu kami membiayai pendidikan adik-adiknya.”
Aku hanya bisa berkaca-kaca dengan keteguhan dan ketegaran orang yang berada di depanku ini. Tiba-tiba aku mendengar teriakan.
“Elley ʻauz Buuts!”Yang mau turun di Buuts!
Tidak terasa, akhirnya kami tiba juga di Buuts. Akhirnya kami kembali juga ke dimensi kehidupan. Aku merasa baru saja mendapatkan kuliah kehidupan. Bagaimana konsistensi seorang hamba untuk berusaha dalam mengambil sebab keberhasilan, bagaimana sempurnanya keyakinan bahwa Allah sama sekali tidak akan menyia-nyiakannya sedikitpun.
Muhammad, katakan kepada manusia!
Yang sibuk mengubur hidupnya
Antara benalu-benalu kesenangan
Pun mereka yang membumi lemah
Atau terperosok di kawah ketakutan
Sekali lagi katakan wahai Muhammad!
Kepada mereka yang menunggu kematian
Juga yang tak kuasa membuka mata
“Bekerjalah! Bekerjalah wahai manusia!
Bekerjalah karena Tuhan!
Karena mengharap rida Tuhan
Bekerjalah untuk kebaikanmu sendiri!
Jangan diam dan mengeluh saja!
Tuhanmu akan melihatnya
Muhammad akan melihatnya
Seluruh manusia akan melihatnya.”


Islamic Missions City, 14 April 2013

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India