Mereka adalah sekumpulan orang-orang beruntung yang mereguk manisnya menimba ilmu di Al-Azhar. Namun dengan keprihatinan yang dalam, kita hanya bisa menggigit jari, sebab mereka tidak memaksimalkan keberadaan mereka. Begitu juga dengan kesempatan berharga yang mereka acuhkan; seperti ikut serta dalam didikan dan gemblengan tangan dingin ulama-ulama Al-Azhar.
Kemoderatan—yang notabene adalah panji Al-Azhar—harusnya menjadi hulu dari cara mahasiswa Al-Azhar berpikir dan bersikap. Sehingga mereka memusatkan perhatian mereka pada permasalahan makro umat—seperti bagaimana mengislamkan kembali fondasi-fondasi kehidupan dan mengejar ketertinggalan; bukan tersibukkan oleh furuk yang masih diperdebatkan eksistensinya.
Namun boro-boro memikirkan keadaan umat, justru permasalahan di atas rupanya terlalu jauh dan bahkan belum terpikirkan oleh mereka. Faktanya, kepelikan yang melanda mereka saat ini adalah krisis kedewasaan cara berpikir dan bersikap. Jika kita meraba lebih dalam lagi, bisa dipastikan bahwa krisis yang menyerang mereka ini merupakan akibat dari terputusnya ikatan emosional antara mereka dengan Al-Azhar, dan bekunya otak karena intensitas membaca yang semakin jarang.
Anda tentunya rindu dengan suasana ilmiah yang dibangun oleh cara berpikir dan bersikap yang dewasa. Adapun cara berpikir kekanak-kanakan dan sikap yang mengarah pada premanisme, tentu sangat tidak dibenarkan oleh ajaran Islam dan nalar yang sehat.
Namun setelah melihat apa yang terjadi belakangan ini, justru membuat kita bingung, karena tidak tahu bagaimana menyembunyikan muka. Anda tentu tidak habis pikir, bagaimana mungkin sekelompok calon ulama ini bisa sampai terprovokasi, lalu melakukan baku hantam antarmereka. Tidak sampai di situ, aliran panjang kemirisan ini bermuara pada intimidasi dan teror yang memuakkan.
Akan tetapi hal semacam ini bukan hanya terjadi belakangan ini saja, namun sudah berkali-kali sejat beberapa tahun terakhir. Melihat semacam ini, kita seolah-olah seperti orang munafik yang sengaja tidak mendengar, sengaja tidak bicara, sengaja tidak melihat, dan sengaja bebal—sebagaimana digambarkan oleh Allah pada permulaan surat al-Baqarah.
Lantas bagaimana mau berpikir mengenai permasalahan umat jika dengan hal kecil—namun menyesakkan dada—saja kita acuh tak acuh. Meskipun yang beradu pukul bukan dari kerabat karib maupun etnis kita, nyatanya mereka tetap saudara seperjuangan kita di negeri Kinanah ini.
Ayat “wa‘tashimû” yang sering kita senandungkan hanya berlalu begitu saja. Hal ini mengingatkan kita dengan perkataan Syeikh Muhammad al-Ghazali mengenai umat Islam, “Lahum kitâb walâkinnahum lâ yaqra’ûnahu, wa idzâ qara’û lâ ya‘qilûn.” (Mereka memiliki kitab suci tapi tidak dibaca, kalau pun dibaca mereka tidak memahaminya). Begitulah, kita sering berkoar-koar tentang persatuan, namun kita sendiri tidak memahami apa itu persatuan, apa itu bersaudara, apa itu bersahabat, apa itu kasih.
Jika memang benar kita berselisih, lalu haruskah kita saling menghina dan beradu pukul?! Lalu ketika ada yang mengangkat permasalahan yang memalukan ini ke permukaan, haruskah kita mengancam dan menerornya?! Apa ini pantas untuk calon kiai dan ulama yang jauh-jauh meninggalkan kampung halaman untuk belajar ilmu agama di Universitas Al-Azhar?! Lantas mana kedewasaan cara berpikir dan bersikap kita selaku mahasiswa?!
Perselisihan boleh-boleh saja terjadi, namun memuarakan perselisihan tersebut pada baku hantam dan intimidasi, tentu mengurangi kadar kedewasaan cara berpikir dan bersikap. Jika kita merasa dewasa, harusnya perselisihan tersebut merupakan ajang untuk menunjukkan kapasitas intelektual kita selaku insan akademis. Ada banyak sarana untuk membuat perselisihan tersebut menjadi penunjang kapasitas keilmuan kita; seperti mengadakan dialog yang sehat, atau bertukar opini di media-media.
Anda tentunya berharap jika komunitas mahasiswa ini mengambil contoh kedewasaan berpikir dan bersikap, saat terjadi perselisihan paham, dari kaum intelektual kita di Indonesia; seperti perselisihan Adian Husaini, Haidar Bagir, Muhammad Anis, Fahmi Salim, Mohammad Baharun, dan lain-lain—yang disebut-sebut sebagai perang opini di media-media nasional.
Di Mesir misalkan, kita melihat perselisihan antara Abdul Mu‘thi ‘Umran, Pemimpin Redaksi koran mingguan al-Liwâ’ al-Islâmy, dengan Kepala al-Hai’ah al-‘Âmmah li Qushûr al-Tsaqâfah (General Organization of Culture Palaces), yang disebabkan karena lembaga tersebut menerbitkan kembali buku Târîkh al-Bathârikah (Sejarah Patriark).
Koran al-Liwâ’ al-Islâmy mengutuk keras penerbitan buku tersebut, karena buku tersebut memutarbalikkan kebenaran sejarah, seperti penyebab masuk Islamnya penduduk Mesir adalah bukan karena suka rela dan kebenaran Islam, melainkan karena kondisi finansial mereka yang memperihatinkan, sehingga penulisnya, Severus ibn al-Muqaffa (m.987), menganggap orang Arab sebagai gerombolan penjajah yang bertujuan untuk mengeruk kekayaan bumi Mesir pada waktu itu.
Melihat hal itu, kepala lembaga kebudayaan tersebut mengirimkan surat kepada redaksi al-Liwâ’ al-Islâmy dan meminta klarifikasi. Akibatnya, Abdul Mu‘thi ‘Umran menantang lembaga tersebut untuk memberikan klarifikasi lewat tulisan. Penanggung jawab GOCP pun berkenan, sehingga timbullah dialog konstruktif.
Dua contoh di atas sudah cukup menjadi gambaran, bagaimana kedewasaan cara berpikir dan bersikap seorang insan akademis teraplikasikan. Adapun bayangan mengenai penuhanan ego dan sikap premanis, tentu tidak akan pernah terbesit dalam pikiran kita.
Kedewasaan berpikir adalah perpaduan kematangan pengalaman dan akal yang besar. Pengalaman tidak akan pernah matang jika anda hanya berdiam diri di rumah. Anda harus berekspedisi dan bergaul dengan alam raya ini. Begitu juga dengan akal, ia akan tetap kerdil selama anda tidak membaca. Hari ini seperti hari kemarin, dan begitu seterusnya, selama anda tidak membaca. Sedangkan kedewasaan bersikap merupakan manifestasi dari kedewasaan berpikir itu sendiri. Inilah yang harus diperhatikan oleh kaum terpelajar, khususunya para penimba ilmu agama.
Islamic Missions City, 23/3/2013 16.47