Ketika Mahasiswa Tak Kunjung Dewasa

Apa jadinya jika anda melihat sebuah komunitas mahasiswa yang jauh-jauh meninggalkan kampung halaman, namun cara berpikir dan bertingkahnya tak kunjung dewasa? Anda mungkin akan lebih terheran lagi jika anda tahu, bahwa komunitas ini adalah tumpuan harapan umat Islam kelak di tanah air.

Mereka adalah sekumpulan orang-orang beruntung yang mereguk manisnya menimba ilmu di Al-Azhar. Namun dengan keprihatinan yang dalam, kita hanya bisa menggigit jari, sebab mereka tidak memaksimalkan keberadaan mereka. Begitu juga dengan kesempatan berharga yang mereka acuhkan; seperti ikut serta dalam didikan dan gemblengan tangan dingin ulama-ulama Al-Azhar.

Kemoderatan—yang notabene adalah panji Al-Azhar—harusnya menjadi hulu dari cara mahasiswa Al-Azhar berpikir dan bersikap. Sehingga mereka memusatkan perhatian mereka pada permasalahan makro umat—seperti bagaimana mengislamkan kembali fondasi-fondasi kehidupan dan mengejar ketertinggalan; bukan tersibukkan oleh furuk yang masih diperdebatkan eksistensinya.

Namun boro-boro memikirkan keadaan umat, justru permasalahan di atas rupanya terlalu jauh dan bahkan belum terpikirkan oleh mereka. Faktanya, kepelikan yang melanda mereka saat ini adalah krisis kedewasaan cara berpikir dan bersikap. Jika kita meraba lebih dalam lagi, bisa dipastikan bahwa krisis yang menyerang mereka ini merupakan akibat dari terputusnya ikatan emosional antara mereka dengan Al-Azhar, dan bekunya otak karena intensitas membaca yang semakin jarang.

Anda tentunya rindu dengan suasana ilmiah yang dibangun oleh cara berpikir dan bersikap yang dewasa. Adapun cara berpikir kekanak-kanakan dan sikap yang mengarah pada premanisme, tentu sangat tidak dibenarkan oleh ajaran Islam dan nalar yang sehat.

Namun setelah melihat apa yang terjadi belakangan ini, justru membuat kita bingung, karena tidak tahu bagaimana menyembunyikan muka. Anda tentu tidak habis pikir, bagaimana mungkin sekelompok calon ulama ini bisa sampai terprovokasi, lalu melakukan baku hantam antarmereka. Tidak sampai di situ, aliran panjang kemirisan ini bermuara pada intimidasi dan teror yang memuakkan.

Akan tetapi hal semacam ini bukan hanya terjadi belakangan ini saja, namun sudah berkali-kali sejat beberapa tahun terakhir. Melihat semacam ini, kita seolah-olah seperti orang munafik yang sengaja tidak mendengar, sengaja tidak bicara, sengaja tidak melihat, dan sengaja bebal—sebagaimana digambarkan oleh Allah pada permulaan surat al-Baqarah.

Lantas bagaimana mau berpikir mengenai permasalahan umat jika dengan hal kecil—namun menyesakkan dada—saja kita acuh tak acuh. Meskipun yang beradu pukul bukan dari kerabat karib maupun etnis kita, nyatanya mereka tetap saudara seperjuangan kita di negeri Kinanah ini.

Ayat “wa‘tashimû” yang sering kita senandungkan hanya berlalu begitu saja. Hal ini mengingatkan kita dengan perkataan Syeikh Muhammad al-Ghazali mengenai umat Islam, “Lahum kitâb walâkinnahum lâ yaqra’ûnahu, wa idzâ qara’û lâ ya‘qilûn.” (Mereka memiliki kitab suci tapi tidak dibaca, kalau pun dibaca mereka tidak memahaminya). Begitulah, kita sering berkoar-koar tentang persatuan, namun kita sendiri tidak memahami apa itu persatuan, apa itu bersaudara, apa itu bersahabat, apa itu kasih.

Jika memang benar kita berselisih, lalu haruskah kita saling menghina dan beradu pukul?! Lalu ketika ada yang mengangkat permasalahan yang memalukan ini ke permukaan, haruskah kita mengancam dan menerornya?! Apa ini pantas untuk calon kiai dan ulama yang jauh-jauh meninggalkan kampung halaman untuk belajar ilmu agama di Universitas Al-Azhar?! Lantas mana kedewasaan cara berpikir dan bersikap kita selaku mahasiswa?!

Perselisihan boleh-boleh saja terjadi, namun memuarakan perselisihan tersebut pada baku hantam dan intimidasi, tentu mengurangi kadar kedewasaan cara berpikir dan bersikap. Jika kita merasa dewasa, harusnya perselisihan tersebut merupakan ajang untuk menunjukkan kapasitas intelektual kita selaku insan akademis. Ada banyak sarana untuk membuat perselisihan tersebut menjadi penunjang kapasitas keilmuan kita; seperti mengadakan dialog yang sehat, atau bertukar opini di media-media.

Anda tentunya berharap jika komunitas mahasiswa ini mengambil contoh kedewasaan berpikir dan bersikap, saat terjadi perselisihan paham, dari kaum intelektual kita di Indonesia; seperti perselisihan Adian Husaini, Haidar Bagir, Muhammad Anis, Fahmi Salim, Mohammad Baharun, dan lain-lain—yang disebut-sebut sebagai perang opini di media-media nasional.

Di Mesir misalkan, kita melihat perselisihan antara Abdul Mu‘thi ‘Umran, Pemimpin Redaksi koran mingguan al-Liwâ’ al-Islâmy, dengan Kepala al-Hai’ah al-‘Âmmah li Qushûr al-Tsaqâfah (General Organization of Culture Palaces), yang disebabkan karena lembaga tersebut menerbitkan kembali buku Târîkh al-Bathârikah (Sejarah Patriark).

Koran al-Liwâ’ al-Islâmy mengutuk keras penerbitan buku tersebut, karena buku tersebut memutarbalikkan kebenaran sejarah, seperti penyebab masuk Islamnya penduduk Mesir adalah bukan karena suka rela dan kebenaran Islam, melainkan karena kondisi finansial mereka yang memperihatinkan, sehingga penulisnya, Severus ibn al-Muqaffa (m.987), menganggap orang Arab sebagai gerombolan penjajah yang bertujuan untuk mengeruk kekayaan bumi Mesir pada waktu itu.

Melihat hal itu, kepala lembaga kebudayaan tersebut mengirimkan surat kepada redaksi al-Liwâ’ al-Islâmy dan meminta klarifikasi. Akibatnya, Abdul Mu‘thi ‘Umran menantang lembaga tersebut untuk memberikan klarifikasi lewat tulisan. Penanggung jawab GOCP pun berkenan, sehingga timbullah dialog konstruktif.

Dua contoh di atas sudah cukup menjadi gambaran, bagaimana kedewasaan cara berpikir dan bersikap seorang insan akademis teraplikasikan. Adapun bayangan mengenai penuhanan ego dan sikap premanis, tentu tidak akan pernah terbesit dalam pikiran kita.

Kedewasaan berpikir adalah perpaduan kematangan pengalaman dan akal yang besar. Pengalaman tidak akan pernah matang jika anda hanya berdiam diri di rumah. Anda harus berekspedisi dan bergaul dengan alam raya ini. Begitu juga dengan akal, ia akan tetap kerdil selama anda tidak membaca. Hari ini seperti hari kemarin, dan begitu seterusnya, selama anda tidak membaca. Sedangkan kedewasaan bersikap merupakan manifestasi dari kedewasaan berpikir itu sendiri. Inilah yang harus diperhatikan oleh kaum terpelajar, khususunya para penimba ilmu agama.

Islamic Missions City, 23/3/2013 16.47

Senja di Sungai Nil

memandang ufuk yang memerah
di depan aliran lembut sungai Nil
tenang, namun hanyut dalam diam

ada nyanyian burung yang bertebaran di atas air
sementara dua hati memupuk harapan masa depan
lalu di kejauhan perahu lusuh terseok-seok berjalan

cahaya langit perlahan redup
sedang aku termenung sendu

menghadirkan bayangan lama hitam putih kenangan

ada sesal yang ingin dilukis
ada tawa yang ingin diperdengarkan
keduanya mengkristal dalam pandangan kosong

air mataku luluh
tangis..

Sakia El Sawy, Nile, 8/3/2013

Menyoal Nama WIHDAH dan Kesadaran Bahasa

Aneh rasanya ketika ada sebuah komunitas "ilmiah" di negerinya al-Azhar, sang penjaga bahasa Arab sejak seribu tahun lalu, masih terbata-bata dalam berbahasa. Dan lebih aneh lagi, jika komunitas ini hanya mengandalkan hafalan dan pemahaman yang dangkal dalam menaklukkan ujian di kampusnya.

Lalu ketika publik mempertanyakan kemampuan—baik ilmiah maupun literer, anda jangan sekali-kali heran jika mereka memandang komunitas ini dengan sebalah mata. Perkara ini memang terlihat begitu remeh dan terkesan tidak terlalu penting. Namun tidak ada yang menyangkal, kalau bahasa Arab adalah bahasa mayor di perguruan tinggi tertua ini.

Anggapan yang mengakar di komunitas ini bahwa kehidupan ilmiah cukup hanya dengan pemahaman bacaan, sungguh amat disayangkan. Bagaimana tidak, peran komunikasi ilmiah—seperti diskusi, debat, pidato/khotbah dan lain-lain—yang nyata-nyata membutuhkan kemampuan verbal, tidak bisa diabaikan begitu saja.

Sebab itu, anda jangan pernah bermimpi, jika ada komunikasi yang terjalin antara mahasiswa/mahasiswi dengan para dosen saat kelas berlangsung, atau ada seseorang dari komunitas ini yang tampil sebagai pembicara di forum-forum international. Akibatnya, bayangan mengenai model mahasiswa/mahasiswi yang kritis dan elegan, tentu sangat susah dicari.

Adapun yang terjadi adalah menguatnya anggapan diskriminatif dari mereka (baca: mahasiswa/mahasiswi Mesir maupun dosen) bahwa mahasiswa/mahasiswa Asia Tenggara, khususnya  Indonesia,  adalah sekumpulan orang-orang dungu dan apatis ketika muhadarah.

Berangkat dari anggapan inilah, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa perhatian komunitas ini terhadap bahasa Arab—baik membaca, menulis, dan berbicara—sebagai nyawa kehidupan ilmiah di negeri para ulama ini, sungguh sangat kecil, dan tak sebanding dengan perhatian mereka terhadap kegiatan organisasi, bisnis, olahraga, musik maupun yang lainnya. Sehingga anda jangan sekali berpikir mengenai perhatian mereka untuk berbahasa Arab yang benar dan fasih.

Menyoal Nama WIHDAH
Bukti yang paling konkret dari minimnya perhatian terhadap bahasa Alquran ini adalah nama “WIHDAH”, nama organisasi yang menghimpun seluruh mahasiswi Indonesia di Mesir. Organisasi yang didirikan pada tanggal 23 Januari 1989, dibawah komando Ellywarti ini, memilih nama “WIHDAH” sebagai nama organisasi kemahasiswian tersebut.

Menurut sumber resmi WIHDAH, pemilihan nama tersebut didasarkan pada upaya untuk menyatukan dua sudut pandang kontradiktif di kalangan mahasiswi pada waktu itu. Pertama, kalangan yang tidak memperbolehkan ikhtilath. Kedua, kalangan yang menganggap bahwa ikhtilath, selama bernilai positif, tidaklah menjadi masalah. Akhirnya, dipilihlah nama “WIHDAH”, yang berarti “persatuan”, agar mampu menyatukan dua kalangan di atas.

Jika benar kata “wihdah” yang Ellywarti dkk. maksudkan merujuk pada “persatuan”, maka kata yang benar adalah “wahdah”, bukan “wihdah”. Namun tidak bisa pungkiri, bahwa yang pertama kali mengkasrahkan huruf wau pada kata “wahdah”, sebagaimana kata Syeikh Muhammad al-Ghazali, adalah Presiden Gamal Abdel Nasser, ketika ia mengampanyekan Pan-Arabisme (al-Wahdah al-Qaumiyyah al-Arabiyyah) versi dia pada dekade 50-an. Pada waktu itu, Nasser memakai kata “wihdah”, bukan “wahdah”.

Akibatnya, kata “wihdah” tergaung di seluruh penjuru Timur Tengah, terlebih di Bumi Kinanah ini. Semua lapisan masyarakat—dari golongan bawah hingga aristokrat—juga ikut berbondong-bondong menyerukah kata “wihdah”. Tak ayal, jejak kata “wahdah” pun berangsur-angsur lenyap di permukaan, dan hanya tersisa di lidah para penekun dan pemerhati bahasa Arab.

Mungkin banyak yang menganggap bahwa kata “wihdah” maupun “wahdah”, tidak perlu dipermasalahkan, sebagaimana kata “dilalah” dan “dalalah”, begitu juga kata “ilaqah” dan “alaqah”.

Tetapi kita katakan kepada mereka bahwa memang benar jika kedua kata tersebut, yaitu kata “dilalah” dan “alaqah”, mempunyai dua cara baca; kasrah dan fathah. Namun tidak demikian dengan kata “wahdah”, sebagaimana di dalam kamus-kamus bahasa Arab. Sebab, sampai kiamat sekalipun, kata “wahdah” tidak akan berubah menjadi “wihdah”.

Mungkin karena begitu popularnya kata “wihdah” pada akhir dekade 80-an, dan minimnya perhatian Ellywarti dkk terhadap validitas bahasa Arab, inilah yang menyebabkan mereka memilih kata “wihdah”, tanpa sadar—layaknya akademisi—bahwa  yang seharusnya di pakai adalah kata “wahdah”.

Namun yang amat disayangkan adalah tidak adanya kesadaran pengurus dan anggota organisasi WIHDAH dari tahun ke tahun mengenai kesalahan nama ini. Hingga kini, di usia WIHDAH yang ke-24, belum juga ada tanda-tanda atau gaung untuk memperbaiki nama organisasi kemahasiswian tersebut.

Memang, ada beberapa mahasiswi—sebagaimana kata Nor Annisa Utami, mantan punggawa WIHDAH—yang mempertanyakan (baca: heran) nama organisasi ini. Namun tetap saja tidak cukup jika hanya berkisar pada obrolan ringan saja. Penulis melihat Sidang Permusyawaratan Anggota (SPA) WIHDAH pada bulan Maret 2013 ini, merupakan momen paling yang tepat untuk meninjau kembali nama WIHDAH. Momen untuk menunjukkan keseriusan dan perhatian kita pada bahasa Alquran.

Kesadaran Bahasa

Diakui atau tidak, permasalahan nama WIHDAH merupakan contoh kecil dari sikap apatis kita terhadap bahasa Arab. Tetapi penulis tidak menafikan adanya geliat mahasiswa maupun mahasiswi dalam belajar kaidah bahasa Arab, sebagaimana termanifestasi dalam keikutsertaan mereka di Madrasah Nahwu MAWAR ICMI, daurah Alfiyah Ibnu Malik, dan lain-lain. Penulis juga tidak menafikan semangat mereka mengikuti hal-hal semacam ini, bahkan MAWAR, hingga saat ini sudah mewisuda beberapa generasi sejak tahun 2010.

Namun tidak ada yang membantah, kalau bahasa pengantar yang dipakai di MAWAR maupun yang lainnya, adalah bahasa Indonesia. Hal ini seakan mengembalikan kita pada suasana belajar-mengajar di pesantren dulu. Sehingga penulis melihat adanya semacam kemunduran yang begitu signifikan dalam metode belajar bahasa Arab, sekaligus menunjukkan bahwa kita tidak kuasa (baca: tidak siap) dengan metode al-Azhar yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, mengingat keberadaan kita di Negeri al-Azhar dan status kita sebagai mahasiswa/mahasiswi al-Azhar.

Oleh sebab itu, untuk menunjang kemampuan bahasa Arab—terutama kemampuan verbal—yang selama ini diabaikan oleh mahasiswa/mahasiswi Indonesia, baik itu berupa kemampuan berdebat, pidato/khotbah, maupun penulisan makalah bahasa Arab; perlu diadakan kajian khusus berbahasa Arab yang mencakup hal-hal di atas. Adapun mengenai bayangan model kajian yang paling cocok, penulis melihat kajian Kawakib al-Fusaha’, yang dibimbing langsung oleh Dr. Syarafuddin Muslim sejak tahun 2010, merupakan model yang patut ditiru untuk kemudian diberdayakan.

Akhirnya, inilah usaha untuk mengajak kawan-kawan mahasiswa maupun mahasiswi untuk benar-benar serius menekuni dan memperhatikan bahasa Arab. Kita harus sadar, bahwa al-Azhar, lewat para azhary, telah menjaga bahasa wahyu ini selama seribu tahun lebih lamanya. Jangan sampai hal ini terputus di tangan kita, selaku azhary di masa depan. []

Islamic Missions City, 3 Maret 2013

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India