Jalanan Mesir

serupa jalanan Mesir tanah airku
terlampau lapang pada hakikatnya
namun sayang, tataan tak menjamah
akhirnya merimba berikut hukumnya
jejal kendaraan orang kaya
menari serabutan di pinggiran
hanya satu saja yang menapaki
sedang sisanya mengekor panjang
simfoni klakson yang memuakkan
arena adu jotos yang memilukan
wahana menyuarakan ketidakadilan
berlalu hanya menyisakan kesal
berlama hanya menelapkan kewarasan

22 Desember 2013
Ahmad Satriawan Hariadi

Ayakan Dawai

umpama ayakan dawai bangsaku
tak satu pun tiba di masanya
lelah rakyat dalam ringkihnya
gending tangis kemiskinan
gebar isak kesengsaraan
penguasa meracau membual
cukong-cukong berkenduri
wakil-wakil rakyat terlelap tenang
hajat penduduk terhenti di meja
bawah dan atas semakin senjang
pragmatisme menjelma agama
kepentingan menjelma sesembahan
tak peduli jalan yang tertapak
hanya terpikir raupan di hadapan
nilai-nilai melepuh terkikis
ketulusan tinggal cerita lama

22 Desember 2013
Ahmad Satriawan Hariadi



Negeri Labil

Siapa yang tahan mendiami negeri yang dipimpin para pembual, diwakili para maling, dan diinjak-injak oleh para cukong? Siapa yang betah menapaki negeri yang hukumnya tertulis rapi, namun hanya ditegakkan di lidah saja?

Semakin lama berbetah diri di negeri ini hanya akan menelapkan identitas kemanusiaanku saja. Jika kamu tak percaya, coba tunjukkan kepadaku bagaimana kamu membedakan orang pintar dan orang bodoh di negeri ini?

Jika jawabanmu adalah orang pintar di negeri ini adalah orang yang terpelajar, dan orang yang bodoh adalah sebaliknya; maka kamu sebaiknya diam saja. Itu adalah dogma klasik yang ditanamkan sejak dini di seluruh penjuru negeri ini.

Kamu pun bingung, mengapa bisa demikian. Namun setelah dicermati lebih dalam, aku dan kamu hanya bisa terkulai lemas sambil menggigit jari, karena kaum terpelajar dan kaum tak terpelajar di negeri ini layaknya larutan gula.

Entah kubangan kebodohan yang terlalu besar, ataukah pola pikir penduduk negeri ini yang terlalu kecil. Hasilnya, entah siapa yang bodoh, entah siapa yang pintar. Kulihat rakyatku dibodohi penguasa. Lalu kudapati penguasaku dibodohi negeri lain.

Kemudian kulihat sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri ini tak kuasa lagi menelurkan kaum terpelajar yang memiliki nurani dan akal sehat. Kini seluruh penjuru negeri terisi penuh oleh berandal-berandal bergelar. Lalu, siapa lagi yang bakal dihasilkan oleh didikan para berandal kecuali berandalnya para berandal?!

Universitas harusnya menjadi tempat mahasiswa untuk mematenkan karakternya, entah karakter keilmuan, karakter pribadi, ataupun yang lainnya. Universitas harusnya menjadi tempat mahasiswa mematangkan potensi dirinya, lalu memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Universitas mestinya menjadi tempat terbakarnya idealisme mahasiswa, sehingga ia berusaha menunjukkan eksistensi dengan karya-karyanya yang muncul ke permukaan. Ia bekerja seharian, bertekad merampungkan pekerjaan hingga dini hari. Ia tak peduli dengan sayup-sayup keletihan yang terpancar di wajahnya. 

Namun apa yang terjadi?
  
Universitas negeri ini hanya tempat untuk mengasah keberandalan. Yang polos jadi penipu. Yang lugu jadi pembual. Yang baik jadi berandal. Yang berandal semakin menjadi-jadi keberandalannya.

Universitas negeri ini kemudian menjadi tempat pemenuhan hasrat seksual para binatang yang berstatus mahasiswa. Ospek pun menjadi modus para mahasiswa senior untuk mereguk kenikmatan birahi mereka. Mahasiswa baru pun menjadi bulan-bulanan praktikum perbudakan manusia.

Lalu sekarang, katakan padaku, di mana letak perbedaan antara kaum terpelajar dan kaum tak terpelajar di negeri ini? Justru kaum tak terpelajar di pelosok negeri ini jauh lebih humanis dan sangat taat memegang nilai-nilai kemanusian, dibanding kaum terpelajar di pusat pemerintahan sana.

*** 

Kulihat penduduk negeri ini tertumpuk di atas perahu lusuh yang kehilangan kedua kayuhnya. Terapung-apung di tengah lautan. Tak punya arah. Hanya kuasa mengikuti labilnya alunan angin. Sesekali melenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan.

Di lain waktu, aku hanya bisa tersenyum sendiri saat melihat gaya hidup penduduk negeri labil ini mirip dengan gaya hidup piaraanku di kampung dulu. 

Jika pada malam hari mereka bahu-membahu saat menggonggong dan menyerang siapa saja yang asing bagi mereka, lalu pada siang harinya mereka sesekali berkejar-kejaran dan tidur-tiduran dibawah pohon yang rindang; maka ketika disodorkan kepada mereka makanan atau beberapa bongkah tulang, berubahlah gaya hidup yang tadi. 

Ibu tak lagi mengenal anaknya, anak tak lagi mengenal ibunya, seseorang tak lagi mengenal saudaranya, dan seterusnya. Semua akan baik-baik saja ketika tak bersinggungan dengan perut.

Aku tak heran mengapa para pendahuluku banyak membuat pribahasa dari piaraanku ini. Jika tidak percaya, simaklah beberapa pribahasa berikut ini: 


“Anjing ditepuk ekor menjungkit” yang berarti orang hina (bodoh, miskin, dsb.) kalau mendapat kebesaran menjadi sombong. 

“Bagai melepaskan anjing yang terjepit” yang berarti menolong orang yang tidak tahu membalas budi. 

“Seperti anjing terpanggang ekornya” yang berati mendapat kesusahan yang amat sangat sehingga tidak keruan tingkah lakunya. 

Aku tidak tahu, apakah karena mereka melihat begitu banyak kesamaan antara penduduk negeri ini dengan piaraan  itu, ataukah hanya kebetulah belaka. Negeri Labil, itukah dirimu?

Desember 2013
Ahmad Satriawan Hariadi

Tak Kunjung Datang

Tak Kunjung Datang

Terkadang, semua ketidakpastian itu lebih baik daripada kepastian yang membuat kita terburu-buru, hingga akhirnya mengacaukan pencapaian. Namun sampai kapan keadaan menemaniku dengan ketidakpastian ini?

Bilamana kesal ini beranjak dari tempatnya? Berapa banyak sudah mimpi yang kugoreskan dalam doa dan tekad. Hanya saja kejenuhan ini terlalu kuat untuk ditaklukkan.

Apa yang tergapai selama ini hanyalah upaya untuk mempercepat kepastian eksistensimu, sayangku. Nyatanya kau masih saja diam dan betah dalam pertapaanmu. Masa penantianku akan sosokmu adalah kegelisahan jiwa yang terus mendorongku untuk terus menggerakkan tanganku menuliskan beberapa kata.

Untung saja idealisme yang bersemayam dalam jiwaku masih mampu menutupi gelora harapan itu agar tak tercium oleh mereka. Tetapi tahukah kamu, jika ruh tulisan-tulisan itu hanya menyebut namamu, sayangku.

Jika pun kamu masih ingin tetap di sana, tetaplah di sana. Semua akan baik-baik saja. Tekadku menyala. Semangatku terbakar. Aku pun kini berlari sekuat tenaga. Aku  hanya bisa berterima kasih kepadamu, karena telah menghujani aku dengan ide-ide. Tanganku tak akan letih menuliskan wahyu harapan ini.


Desember 2013

Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India