Siapa yang tahan mendiami negeri yang dipimpin para pembual, diwakili
para maling, dan diinjak-injak oleh para cukong? Siapa yang betah menapaki
negeri yang hukumnya tertulis rapi, namun hanya ditegakkan di lidah saja?
Semakin lama berbetah diri di negeri ini hanya akan menelapkan
identitas kemanusiaanku saja. Jika kamu tak percaya, coba tunjukkan kepadaku
bagaimana kamu membedakan orang pintar dan orang bodoh di negeri ini?
Jika jawabanmu adalah orang pintar di negeri ini adalah orang yang
terpelajar, dan orang yang bodoh adalah sebaliknya; maka kamu sebaiknya diam
saja. Itu adalah dogma klasik yang ditanamkan sejak dini di seluruh penjuru
negeri ini.
Kamu pun bingung, mengapa bisa demikian. Namun setelah dicermati lebih
dalam, aku dan kamu hanya bisa terkulai lemas sambil menggigit jari, karena
kaum terpelajar dan kaum tak terpelajar di negeri ini layaknya larutan gula.
Entah kubangan kebodohan yang terlalu besar, ataukah pola pikir
penduduk negeri ini yang terlalu kecil. Hasilnya, entah siapa yang bodoh, entah
siapa yang pintar. Kulihat rakyatku dibodohi penguasa. Lalu kudapati penguasaku
dibodohi negeri lain.
Kemudian kulihat sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri ini tak kuasa
lagi menelurkan kaum terpelajar yang memiliki nurani dan akal sehat. Kini seluruh
penjuru negeri terisi penuh oleh berandal-berandal bergelar. Lalu, siapa lagi
yang bakal dihasilkan oleh didikan para berandal kecuali berandalnya para
berandal?!
Universitas harusnya menjadi tempat mahasiswa untuk mematenkan
karakternya, entah karakter keilmuan, karakter pribadi, ataupun yang lainnya. Universitas
harusnya menjadi tempat mahasiswa mematangkan potensi dirinya, lalu
memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Universitas mestinya menjadi tempat terbakarnya idealisme mahasiswa,
sehingga ia berusaha menunjukkan eksistensi dengan karya-karyanya yang muncul
ke permukaan. Ia bekerja seharian, bertekad merampungkan pekerjaan hingga dini
hari. Ia tak peduli dengan sayup-sayup keletihan yang terpancar di wajahnya.
Namun
apa yang terjadi?
Universitas negeri ini hanya tempat untuk mengasah keberandalan. Yang
polos jadi penipu. Yang lugu jadi pembual. Yang baik jadi berandal. Yang berandal
semakin menjadi-jadi keberandalannya.
Universitas negeri ini kemudian menjadi tempat pemenuhan hasrat
seksual para binatang yang berstatus mahasiswa. Ospek pun menjadi modus para mahasiswa
senior untuk mereguk kenikmatan birahi mereka. Mahasiswa baru pun menjadi
bulan-bulanan praktikum perbudakan manusia.
Lalu sekarang, katakan padaku, di mana letak perbedaan antara kaum
terpelajar dan kaum tak terpelajar di negeri ini? Justru kaum tak terpelajar di
pelosok negeri ini jauh lebih humanis dan sangat taat memegang nilai-nilai kemanusian,
dibanding kaum terpelajar di pusat pemerintahan sana.
***
Kulihat penduduk negeri ini tertumpuk di atas perahu lusuh yang
kehilangan kedua kayuhnya. Terapung-apung di tengah lautan. Tak punya arah.
Hanya kuasa mengikuti labilnya alunan angin. Sesekali melenggak-lenggok ke kiri
dan ke kanan.
Di lain waktu, aku hanya bisa tersenyum sendiri saat melihat gaya
hidup penduduk negeri labil ini mirip dengan gaya hidup piaraanku di kampung
dulu.
Jika pada malam hari mereka bahu-membahu saat menggonggong dan
menyerang siapa saja yang asing bagi mereka, lalu pada siang harinya mereka
sesekali berkejar-kejaran dan tidur-tiduran dibawah pohon yang rindang; maka
ketika disodorkan kepada mereka makanan atau beberapa bongkah tulang,
berubahlah gaya hidup yang tadi.
Ibu tak lagi mengenal anaknya, anak tak lagi mengenal ibunya,
seseorang tak lagi mengenal saudaranya, dan seterusnya. Semua akan baik-baik
saja ketika tak bersinggungan dengan perut.
Aku tak heran mengapa para pendahuluku banyak membuat pribahasa dari piaraanku
ini. Jika tidak percaya, simaklah beberapa pribahasa berikut ini:
“Anjing ditepuk ekor menjungkit” yang berarti orang hina
(bodoh, miskin, dsb.) kalau mendapat kebesaran menjadi sombong.
“Bagai melepaskan anjing yang terjepit” yang berarti
menolong orang yang tidak tahu membalas budi.
“Seperti anjing terpanggang ekornya” yang berati mendapat
kesusahan yang amat sangat sehingga tidak keruan tingkah lakunya.
Aku tidak tahu, apakah karena mereka melihat begitu banyak kesamaan
antara penduduk negeri ini dengan piaraan itu, ataukah hanya kebetulah
belaka. Negeri Labil, itukah dirimu?
Desember 2013
Ahmad Satriawan Hariadi