SELAMANYA (Cerpen)

“Kita tidak hidup di dunia ini untuk bahagia, Sayang.”
Itulah yang kamu ucapkan secara tiba-tiba saat kita berdua memandang jauh ke tengah lautan. Waktu itu aku hanya acuh tak acuh saja dengan apa yang baru saja kamu katakan. Karena berada di sampingmu adalah kebahagiaan itu sendiri.
Ketenangan, debat ringan yang membangun, cekikikan, kamu yang selalu mengalah,  kamu yang tidak pernah marah, kamu yang tidak banyak mengeluh, dan masih banyak lagi; adalah kebahagian yang tiada terkira. Siapa lagi perempuan di dunia ini yang lebih bahagia dari diriku?
Itulah yang ada di dalam benakku saat kamu mengatakan perkataanmu barusan.
***
“Maaf! Anda Gita, kan?”
“Iya..”
“Saya Nadif. Sorry! Saya telat sepuluh menit.”
“Santai aja kali.”
Kita berdua larut dalam cekikikan untuk beberapa saat lamanya. Kurasakan keramaian kafe itu menjadi lenggang seketika, karena perhatianku sudah tertuju kepadamu. Aku masih ingat bagaimana kamu berusaha menenangkan dirimu yang salah tingkah saat itu. Dalam hati, aku hanya bisa tertawa sepuasnya. Ya ampun! Kasihan banget sih orang ini.
Gimana, bisa kita mulai wawancaranya?”
Iya, wawancara itulah yang membuat kita bertemu untuk pertama kalinya. Aku, yang saat itu sedang giat-giatnya di LSM Muslimah Cendekia. Sedangkan kamu adalah peneliti muda yang juga adalah penulis aktif di beberapa media nasional. Pertemuan pertama itu rupanya bukan untuk wawancara saja, tapi lebih didominasi oleh diskusi alot antara dua pemikiran yang bersebrangan.
Satu pertemuan pun tidak cukup untukmu. Kamu pun kembali mengajakku untuk bertemu. Aku, yang merasa asik saat berdiskusi sama kamu, pun dengan senang hati mengiyakan ajakanmu.
Waktu-waktu luang setelah itu pun menjadi momen yang paling ditunggu untuk bertukar pikiran denganmu. Kita selalu datang dengan pikiran yang bertolak belakang. Semua akhir dari pertemuan pun menjadi jurang pemisah; aku semakin yakin dengan pendapatku, dan kamu semakin memegang teguh pendapatmu. Namun tetap saja, bertambahnya wawasan dan cara pandang, selalu menjadi nilai tambah dalam setiap pertemuan kita.
Tidak pernah terbesit dalam pikiranku kalau aku akan jatuh hati sama kamu. Aku rasa kamu pun begitu. Kamu begitu dingin dalam masalah perasaan. Kamu pun tidak pernah mengarahkan pembicaraan mengenai perasaan. Aku pun bisa membaca, bahwa kamu tidak sedikitpun menaruh ketertarikan padaku, layaknya seorang laki-laki terhadap perempuan.
Kini aku digerayangi rasa penasaran. Aku begitu sering mendengar pujian, baik dari laki-laki maupun teman-teman perempuanku, mengenai kecantikanku dan prestasiku. Dan faktanya, sudah berapa kali aku diajak menjadi hubungan oleh beberapa laki-laki, yang menurut teman-temanku sangat kece luar dan dalamnya. Namun karena sangat idealis dan gemar menilai, kutolak saja mereka secara terang-terangan. Lalu mengapa kamu begitu dingin kepadaku? Mengapa, Nadif?
Inilah fantasiku. Perempuan memang gemar berfantasi. Namun dunia seakan berhenti saat ia dikuasai rasa penasaran. Ia seakan tak peduli lagi dengan apa yang ada di depannya. Semua hal menjadi kecil di mata sang perempuan, kecuali rasa penasarannya.
***
“Menurut kamu, gadis yang cocok untuk pria aneh seperti kamu itu seperti apa sih?”
“Tumben banget nanya beginian,” Ujarmu sambil menatap mataku.
Kamu pun bilang kalau kriteriamu itu tidak muluk-muluk. Kamu ingin menikah dengan gadis yang mencintaimu. Itu saja. Tidak hanya itu, kamu pun menjelaskan bahwa kecantikan fisik dan hati wanita tidak akan ada gunanya sama sekali bagi dirimu, jika si gadis tidak mencintaimu. Kamu pun bertanya-tanya, bagaimana si gadis bisa menjadi penampung air mata dan penghilang keluh kesah, jika ia menganggapmu sebagai budaknya?
“Kebanyakan cowok itu melihat kecantikan wajah dan keindahan lekuk tubuh perempuan. Namun tidak bagiku. Aku melihat keduanya seperti napas yang telah dihembuskan.”
“Menurut kamu, aku ini bagaimana?”
“Kamu?” Kamu pun kembali menatap mataku dengan kerutan di keningmu. “Mmm.. Cantik, putih, tinggi, pintar dan energik.”
“Itu doang?!”
Emang apa lagi? Wong kamu udah keren gitu kok.”
Tahukah kamu, jika di dalam hati, aku sebal banget sama kamu. Tahukah kamu, jika aku menginginkan sesuatu yang lebih dari apa yang baru saja kamu katakan. Aku ingin sekali mendengar langsung kalau kamu tertarik kepadaku. Tapi sebagaimana yang kukatakan sebelumnya, kalau kamu itu memang dingin dan aneh. Dasar!
Setelah merenung beberapa saat, akhirnya aku menyadari kalau kamu memang bukan seperti kebanyakan orang yang selalu tergiur oleh hal-hal yang bersifat sesaat. Kamu tidak tergiur oleh rasa takjub, suka, rindu dan cinta sesaat; yang pada akhirnya terkikis sedikit-demi sedikit oleh rasa penat dan bosan.
Akupun menyadari kalau kamu tidak tertarik dengan kecantikan wajah dan kemolekan tubuh, yang sebentar lagi dimakan waktu. Aku juga sadar, kalau kamu tidak tertarik dengan kepintaran seorang perempuan jika hanya untuk memperdayai dirinya saat bersama-sama kelak.
***
Kini kita sudah memasuki usia senja. Sudah setengah abad kita mengarungi kehidupan bersama-sama. Bedanya, aku di sini berteman sepi, sementara kamu sudah pergi selama-lamanya. Aku baru menyadari makna “Kita tidak hidup di dunia ini untuk bahagia”, yang kamu ucapkan saat kita memandang jauh ke tengah lautan dulu.
Aku menyadari kalau kamu memang telah memberikan segalanya untukku. Kamu rela tidak mengecap indahnya kebahagiaan, demi menunaikan hak-hak orang lain atasmu. Itulah yang memenuhi ruang pikiranmu setiap waktu. Aku pun bersaksi bahwa kamu telah menunaikan semua kewajibanmu dengan sempurna, sayangku.
Maafkan aku yang selalu marah-marah sama kamu. Maafkan aku yang selalu memenuhi hari-harimu dengan permintaan-permintaan konyol. Maafkan aku yang ingin menang sendiri saat berdiskusi denganmu. Maafkan aku karena tidak bisa menjadi pendamping yang baik bagimu.
Terima kasih karena kebahagian tiada tara yang kamu berikan kepadaku. Akulah perempuan yang paling beruntung di dunia ini karena berada dalam dekapanmu. Tuhan! Bilamana aku bertemu dengannya lagi? Tanpa dirinya, remuklah aku dalam wujudku, Tuhan. Aku mencintaimu sedalamnya, Nadifku. Sangat dalam!

Islamic Missions City, 10 Februari 2014

Ahmad Satriawan Hariadi

TANTANGAN

Tantangan
Menyadarkan diri
Melejitkan potensi
Mahalnya determinasi
Lalu unjuk diri

Lihatlah mereka!

Hina di permulaan
Tertuju pada akhirnya

Lalu kamu!

Masa yang panjang
Membatu mengakar


Islamic Missions City, 3/2/14
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India