Tidak ada yang salah dengan hakikat sesuatu.
Yang salah adalah kesalahan kita dalam menyikapinya. Karena itu, kita harus
tahu mengapa Alquran mengembel-embeli kata 'banyak', saat melarang orang-orang
beriman untuk menjauhi prasangka buruk. Inilah pelajaran tidak langsung yang
penulis dapati ketika menghadiri majelisnya Dr. Yusri hari ini.
Namun yang lebih penting dari setiap majelis
yang kita ikuti adalah ketika ia membuka dan memperluas cakrawala berpikir kita
seluas-luasnya. Begitu juga ketika majelis tersebut menunjukkan kita metode
berpikir yang baik. Berikut perangai mulia yang harus melekat --bahkan menjadi
karakter-- pada diri seorang penimba ilmu.
Pada majelis Dr. Yusri malam ini, penulis
mendapati dirinya pada titik nadir, di mana hakikat itu tak lagi bersembunyi di
balik awan kebodohan, atau sempitnya pola pikir. Hakikat itu begitu terang,
seakan hawa pesimistis yang selalu dibisikkan oleh kegalauan hari esok; berubah
menjadi dorongan yang begitu kuat untuk meraba kuasa Tuhan, yang tersembunyi
rapat di balik jubah kausalitas.
Ini beberapa hakikat yang berkelebat di
kepala penulis:
1. Kita harus selalu berbaik sangka, terutama dalam bidang
keilmuan.
Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa kita
harus berbaik sangka, dan lebih harus lagi dalam hal yang menyangkut ilmu
pengetahuan? Maka jawaban yang penulis rasa paling tepat adalah karena hanya
dengan berbaik sangka, seseorang akan tahu makna dari kelapangan jiwa, saat ia
menyadari tabiat penciptaannya.
Iya, itulah tabiat perbedaan. Tuhan memang
menciptakan kita begitu berbeda dalam segala hal; kemampuan, kapasitas,
kekayaan, dan lain-lain. Namun perbedaan itu tidak bisa dijadikan alibi untuk
berpongah-pongah di depan manusia, lalu menjustifikasi mereka dengan hal yang
tidak-tidak, karena merasa lebih di suatu bidang. Sedangkan dalam waktu
bersamaan, ia lupa kalau orang lain juga memiliki kelebihan di dalam bidang
yang lain.
Pada kesempatan ini, tidak salah rasanya jika
penulis menegaskan bahwa setiap keahlian atau bidang ilmu yang digeluti,
mempunyai tabiatnya masing-masing, seperti halnya dunia yang kita tapaki ini.
Jika di daratan kita harus berjalan kaki untuk sampai ke tujuan, maka lain
halnya ketika kita di atas air. Kita harus berenang agar tujuan kita bisa
tergapai. Antara berjalan kaki dan berenang pun jelas memiliki perbedaan corak
dan karakter tersendiri.
Dengan begitu, kita harus tahu bahwa setiap bidang
ilmu memiliki corak dan karakternya tersendiri. Anda tidak mungkin memahami
sebuah ilmu dengan pemahaman yang tepat, jika anda tidak mengetahui dan
memahami baik-baik corak dan karakter ilmu tersebut. Sehingga ketika anda menjustifikasi
sebuah ilmu, anda akan keluar dengan kesimpulan atau hukum yang objektif dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Tetapi berbeda halnya ketika kita mencoba
melakukan justifikasi terhadap sebuah ilmu, dengan menggunakan pemahaman yang bersebrangan
dengan ilmu tersebut. Tahukah anda akibatnya? Iya, kita akan keluar dengan
kesimpulan subjektif yang akibatnya sangat fatal. Mengapa? Karena bisa jadi kesimpulan
kita yang sangat subjektif itu memaksa kita untuk menghukumi ilmu tertentu --berikut
orang yang menggelutinya-- sebagai sebuah kesesatan, bahkan pengkafiran.
Tentu hal di atas sangat bersebrangan dengan
nilai keluhuran yang diajarkan agama kita. Karena Allah memerintahkan kita, "Hendaklah
kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, berikut
menjadi saksi yang adil." Tidak hanya sampai di situ, Allah kemudian menegaskan,
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu
untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil! Karena keadilan itu lebih dekat
kepada takwa."
Oleh karena itu, kita tidak boleh
tergesa-gesa menghukumi sesuatu, terlebih jika akibatnya sangat fatal. Lalu apa
yang seyogianya kita lakukan? Iya, kita harus berbaik sangka, sampai kita
benar-benar tahu dan paham, corak dan karakter ilmu yang hendak kita
justifikasi, menurut pemahaman mereka yang menggelutinya. Tujuannya pun begitu
jelas, yaitu agar kesimpulan kita menjadi objektif dan elegan.
Dari sini kita harus menyadari betapa
pentingnya prasangka baik itu --terutama di dalam bidang keilmuan-- karena "Setiap
orang telah mengetahui tempat minumnya masing-masing," sebagaimana
Allah tagaskan. Artinya, setiap orang sudah memiliki bidang keahliannya
masing-masing, begitu juga setiap ilmu memiliki corak dan karakternya
masing-masing. Kemudian bagaimana jika kita mengalami kesulitan dalam
memahaminya? Tidak perlu khawatir, karena Allah menjelaskan, "Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
2. Islam; antara kesederhanaan dan falsafah ubudiah.
Jika kita renungi lebih dalam, kesederhanaan
hidup merupakan dalil kematangan akal dan pikiran. Di lain tempat,
kesederhanaan merupakan bukti sempurnanya penghidupan. Oleh karena itu, anda
tidak perlu heran dengan kesamaan gaya hidup para pembesar yang namanya terukir
manis di dalam sejarah --semisal Nabi Muhammad, Nabi Isa, Umar bin Khattab,
Umar bin Abdul Aziz, Mahatma Gandhi, Albert Einstein, Galileo Galilei, dan para
pembesar lainnya-- yaitu gaya hidup mereka yang sederhana.
Dalam berbagai kesempatan, kesederhanaan
seringkali menjadi lambang supremasi dari filosofi keindahan. Dari situ juga,
karakter utama ajaran Islam yang menyebabkan ia menjadi sempurna, adalah
kesederhanaannya. Sehingga orang yang memeluk Islam lewat kesadaran diri dan
pemahaman yang dalam, adalah orang-orang besar, yang matang akal dan pikiran.
Karena Islam dan mereka bertemu pada titik kesamaan, yaitu kesederhanaan. Dan
tentu ini tidak akan dapat dirasakan oleh orang yang memeluk Islam lewat
warisan, dan tidak mengetahui hakikat agama yang dipeluknya.
Namun kesederhanaan ini seakan menjadi lenyap
ketika kita masuk ke dalam dimensi falsafah ubudiah. Sebuah dimensi yang
menuntut orang yang memasukinya untuk menanggalkan jasadnya berjalan di muka
bumi, sementara ruhnya beranjak memulai perjalanan panjang nan berliku menuju
kemutlakan hakikat. Dimensi ketika semua eksistensi diintegeralkan pada satu
kata, yaitu ubudiah. Dimensi yang membuat orang yang memasukinya seakan
terpisah sejauh-jauhnya dengan orang yang berada di luar sana. Dimensi yang
hanya memuat segelintir orang saja.
Inilah kesimpulan mengenai falsafah ubudiah yang
penulis dapati ketika mengikuti majelis perdana kitab Manazil al-Sa'irin oleh Dr.
Yusri. Majelis ini seakan mengingatkan penulis ketika berada di majelis Dr.
Fathi Hijazi, yang seringkali mendengar kata-kata ma'allah, billah,
lillah, dan ilallah; dari penjelasan beliau. Begitu juga dengan
halaqah tafsir almarhum Syeikh Sya'rawi yang penulis ikuti lewat rekaman video.
Namun yang berbeda dari mereka berdua adalah
kesederhanaan dan begitu mudahnya hati berdecak kagum dengan kuasa Sang
Pencipta. Maka anda jangan heran ketika lidah anda tiba-tiba berdecak, "Allaah…!"
Karena anda diliputi kerinduan yang begitu mendalam dengan Pencipta alam raya,
di tengah-tengah penjelasan mereka berdua.
Sedangkan falsafah ubudiah yang disampaikan
oleh Dr. Yusri seakan membawa kita ke dalam majelis filsafat yang rumit dan menguras
pikiran. Kita akan dibawa larut kedalam rantai ubudiah yang penuh dengan berbagai
macam istilah dan isyarat. Di dalamnya, lidah seakan terbata-bata mengungkapkan
hakikat ubudiah tersebut. Sehingga nuansanya lebih mirip dengan percakapan ruh
dengan Penciptanya.
Kemudian di mana titik temu kesederhanaan
Islam dan falsafah ubudiah?
Kita harus mengakui, bahwa kesederhanaan
Islam dan falsafah ubudiah memang terlihat paradoks. Karena Islam yang begitu
sederhana dihadapkan pada falsafah ubudiah yang begitu rumit. Namun setelah
penulis renungi, ternyata keduanya akan bertemu pada sebuah muara, yaitu
membaiknya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Adapun aktualisasi konkret keduanya adalah keluhuran pekerti terhadap diri sendiri dan sesama.
Setelah direnungi juga, ternyata memang ada
beberapa gelintir manusia yang merasa tidak cukup dengan apa yang terlihat. Sehingga
gejolak jiwanya menuntut dirinya untuk menyelami lebih dalam hakikat ubudiah.
Tak ayal, ia pun mulai berfalsafah di dalamnya. Lalu muncullah berbagai macam
istilah dan isyarat yang menjelaskan makna yang ia dapati dalam falsafah ubudiahnya.
Namun tetap saja, tidak semua orang mempunyai gejolak jiwa seperti ini. Hanya beberapa
gelintir orang saja. Oleh karena itu, falsafah ubudiah sama sekali tidak akan
mengikis kesederhanaan Islam yang menjadi ciri khas ajarannya.
Inilah beberapa hakikat yang menghantui
pikiran penulis. Teruntuk sang guru, Dr. Yusri, terima kasih telah membuka mata
hati dan pikiran penulis, yang selama ini ditutupi kabut tebal kebodohan dan
kelalaian. Semoga Allah membalas kebaikan anda di dunia dan akhirat.
Islamic Mission City, 7 Maret 2014
Ahmad Satriawan Hariadi