Mencari Muka

Kini baru tahu, kenapa para orang tua itu tak henti-hentinya mencari muka. Dalam berbagai kesempatan, mereka tak ubahnya besi lunak, yang siap diarahkan kemana saja, dan dipelintir seenaknya. Bahkan sampai pada titik di mana kemanusiaan tidak layak lagi disematkan kepada mereka.

Dikisahkan bahwa seorang murid yang masih belia pernah bertanya kepada gurunya, "Tidakkah kau lihat orang itu.. Dulu ia sangat anti dengan yang namanya mencari muka. Lalu sekarang, saat ia makin uzur, ia semakin gemar mencari muka?"

Sang Guru pun menjawab, "Karena ia dulu dengan leluasa mengandalkan kekuatannya saat masih muda. Lalu manakala ia sudah uzur dan kekuatannya berangsur-angsur hilang, ia menggunakan 'mencari muka' sebagai tongkat, agar ia tetap kuasa berjalan."

Kini tidak ada yang perlu diherankan dari sikap para tetua itu. Karena itu sudah lazim bagi mereka.

Akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah mereka, para pemuda, yang sedang berada di puncak kekuatannya; sangat gemar mencari muka. Ada apa ini? Apakah jiwa dan semangat kita sudah menua, seperti para tetua itu? Ataukah kita memang benar-benar sudah tua, karena otak kita yang sudah kering dari air pengetahuan, alias tidak kuasa lagi untuk didayagunakan?

Semoga saja tidak!

22 Mei 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Isyarat

Benarkah dunia yang kupijak ini tak mampu lagi mengerti isyarat-isyarat yang kukirimkan kepadanya? Apakah semuanya harus seterang matahari? Benarkah nurani, yang senantiasa bersembunyi di balik keangkuhan manusia itu, kini tak mampu lagi menangkap sindiran yang diarahkan kepada pemilik nurani tersebut? Apakah akal-akal manusia sudah menua, hingga tak kuasa lagi memahami kekeliruan mereka?

Aku tidak tahu, setiap hari orang-orang terdidik itu menulis, mengarahkan, menyindir, mengkritik, dan menasihati. Namun manusia tetap saja seperti itu. Kukuh dengan kesombongan dan kekeliruannya. Kukuh dengan kebebalan dan ketertinggalannya. Kukuh dengan kemiskinan dan kemalasannya.

Apakah batasan keterbukaan jiwa itu sudah dipersempit, hingga para pendidik itu tak perlu lagi memikirkan cara untuk memperhalus tutur mereka kepada manusia berkepala batu dan berhati baja tersebut?

"Kamu itu bodoh. Jangan malas."
"Kamu itu miskin. Jangan tidur melulu."
"Kamu itu tertinggal. Jangan diam saja."

Haruskah semua itu begitu vulgar dan menyayat hati? Ataukah manusia modern ini tidak memahami kecuali apa yang jelas dan tertuju kepadanya, hingga para pendidik itu tak perlu lagi memikirkan hati mereka?

Keadaan rupanya hanya bisa mengangguk penuh setuju dengan semua ini. Akal dan nurani manusia modern ini rupanya hanya akan terjaga, ketika semua pembicaraan benar-benar jelas dan dibarengi dengan nada sarkastis. Adapun selebihnya, maka umpama anjing mengonggong, kafilah berlalu. Tak berdampak sama sekali.


Islamic Missions City, 24 Mei 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Memegang Teguh Prinsip

Memegang teguh prinsip lalu senantiasa berjalan di atasnya, bukan hal yang mudah. Bahkan sangat susah. Oleh karena itu, hanya segelintir saja yang kuasa untuk demikian. Sedang selebihnya, hanya menjadi jawaban, bagaimana sih rupa orang yang 'menelan ludahnya sendiri'.

Misalkan ada seseorang yang begitu bangga karena partainya, kata dia, berhasil 'memutihkan GBK'. Beberapa hari kemudian, partai lain melakukan kampanye di tempat yang sama. Bedanya massanya tidak sebanyak partai yang sebelumnya. Tak ayal, si pegiat partai tadi tak henti-hentinya memamerkan kebanggan dan kelebihan partainya.

Tak sampai di situ, ia pun mulai mendiskreditkan partai yang kedua, dengan masa yang sepi lah, masa yang tidak tertib lah, bahkan sampai-sampai menghadirkan pedagang kaki lima sebagai saksi atas ketidaktertiban partai yang kedua.

Lalu apa yang terjadi sekarang? Ketika suara partai orang tersebut anjlok, dan partai yang kedua mengalami kenaikan pesat. Ketika ia tahu bahwa partainya tidak memiliki kans untuk mencalonkan presiden, sedang partai yang kedua mencalonkan presidennya. Ketika ia tahu bahwa kini partainya 'terpaksa' berkoalisi dengan partai yang kedua. Apa yang ia perbuat?

Ia kini mengerahkan seluruh kapasitasnya untuk menarik minat rakyat agar mereka memilih presiden yang diusung partai kedua. Tak hanya itu, ia pun menjelek-jelekkan saingan calon presiden yang diusungnya dengan mengatainya sebagai 'Capres Boneka' dan lain sebagainya. Begitu juga dengan kampanye kekanakan lainnya, yang sedang gencar ia lakukan.

Ia seakan lupa dengan apa yang terjadi beberapa minggu yang lalu. Ia seakan lupa dengan 'Yao Ming Face' yang ia perlihatkan, saat melihat partai yang kedua kalah ramai dari partainya sendiri. Ia seakan lupa dengan pedagang kaki lima yang ia jadikan saksi atas ketidaktertiban massa partai yang kedua.

Kita pun kini percaya, bahwa cara dia untuk memenangkan sebuah kompetisi, bukan cara ksastria dan orang-orang berjiwa besar, sebagaimana yang diajarkan oleh agamanya. Ia lebih memilih membunuh karakter lawannya dan mengaburkan semua kebaikannya; daripada menunjukkan keahlian yang ia miliki dan kerja nyatanya.

Atau jangan-jangan, keahlian dan kerja nyatanya adalah membunuh karakter lawan dan mengaburkan semua kebaikannya?! Hanya Allah yang tahu.

***

Contoh yang kedua adalah susahnya berjalan di atas prinsip karena jiwa yang begitu tendensius dalam membenci kelompok tertentu. Kali ini kita akan mengambil contoh dari sebuah halaman yang menjadi lidah Al-Azhar, yang di kelola oleh beberapa mahasiswa dan mahasiswi Universitas Al-Azhar.

Dua dari pengelola bahkan pemrakarsa halaman tersebut, adalah sahabat saya yang sangat saya hormati. Kami begitu akrab karena kami dipertemukan pada sebuah kesamaan, yaitu naluri untuk maju dan terus berkembang. Salah satu dari keduanya pernah menceritakan dengan sangat detail kanapa ia mendirikan halaman tersebut, berikut risalah dan tujuannya.
   
Bahkan lebih dari itu, perkataan-perkataan sastrawan dari Rahim Al-Azhar akhir-akhir ini, yang dimuat oleh halaman tersebut, pun bersumber dari buku-buku di kamar saya, yang dibaca dengan saksama oleh sahabat saya tersebut.

Lalu apa yang menjadi titik tendensius pengelola halaman tersebut dalam membenci kelompok tertentu? Iya, titik tendensiusnya adalah ketika pengelola halaman tersebut memuat tulisan seorang mahasiswa Darul Ifta Mesir.

Jika tulisan-tulisan yang termuat sebelumnya adalah awal dari keterbukaan jiwa dan ketenganan batin, karena perkataan atau tulisan ulama Al-Azhar tersebut, bersumber dari penghayatan yang dalam terhadap risalah Nabi Muhammad, berikut renungan filosofis yang bertujuan untuk memperbaiki gaya pikir dan mendidik akhlak, dan bebas dari nuansa politik; maka kali ini adalah sebaliknya.

Mereka memuat tulisan yang membakar kembali arang perpecahan dan perdebatan. Meskipun data yang diajukan oleh penulis artikel tersebut lebih dari cukup, bahkan bisa dikatakan kuat dari segi analisisnya dan kesimpulannya; namun tetap saja. Tetap saja memancing perdebatan yang tidak sehat, yang bisa berujung pada pembunuhan karakter. Penyebab utama hal tersebut adalah kaitan artikel tersebut yang begitu kuat dengan dunia politik.

Apakah penyimpangan terhadap risalah pendirian halaman ini adalah sebuah kesengajaan dari pengelola? Ataukah khilaf semata? Ataukah sebuah spontanitas, yang ketika ada tulisan yang menyampaikan hakikat vonis mati, si pengelola berasumsi bahwa ini layak untuk dimuat di halaman ini, tanpa berpikir panjang sekaligus meraba-raba akibatnya?

Merupakan sebuah kesepakatan tak tertulis bahwa Al-Azhar adalah tempat orang mencari ketenangan batin dan mengasah bakat yang dimilikinya. Bukan menjadi sumber perpecahan. Seharusnya mereka, yang mendeklarasikan dirinya sebagai lidah Al-Azhar, lebih tahu mengenai hal ini. Bahkan lebih dulu mengaktualkan risalah Al-Azhar di dalam kehidupan nyata. Bukan sebaliknya.

Atau jangan-jangan jiwa kita terlalu tendensius dalam membenci kelompok tertentu, hingga prinsip mulia hidup yang sebelumnya kita bangga-banggakan, kini entah kemana. Hanya Allah yang tahu.

Saya teringat kalau Kahlil Gibran pernah berkata, "Seluruh belahan dunia ini negeriku, dan seluruh manusia adalah keluargaku."  


19 Mei 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Wanita dan Cinta

Kita belum dikatakan memiliki prinsip, jika belum merasakan pahit getirnya cobaan, saat memegang teguh prinsip hidup yang kita anut. Misalkan saya berprinsip bahwa ketika kata cinta diungkapkan, maka itulah pertaruhan harga diri dan kemulian jiwa. Beratnya tanggung jawab, sungguh tak terelakkan.

Cobaan yang menghampiri tidak hanya dari luar saja, tapi dari dalam diri kita. Bahkan cobaan dari dalam diri jauh lebih berat dan menguras pikiran. Mengapa? Karena hal demikian menuntut konsistensi tingkat tinggi dan keteguhan jiwa. Sisi rasionalitas harus selalu dikedepankan.

Apalagi jika hal tersebut berkaitan erat dengan tuntutan agama, yang dengan tegas menyuruh kita untuk menjaga harga diri, menunaikan kewajiban, dan konsisten.

Apa sih cobaan yang lebih berat daripada ajakan lembut sang hawa untuk membangun tatanan abstrak yang bernama cinta, sementara kita belum kuasa?! Merajut hubungan karena luapan emosional yang tak terbendung, sementara tujuan jangka panjang hubungan suci itu masih ambigu. Saya tidak siap.

Itulah mengapa kesendirian itu masih betah sampai saat ini. Saya cenderung menikmati ejekan teman-teman terkait kesendirian saya yang belum juga berakhir.


10 Mei 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

PERCUMA!

Malam ini
Bersama redup
Bersama sunyi
Angin berbisik
Tenanglah!
Ia akan datang
Tangis tersapu
Berubah tawa

Namun masih kelu
Enggan beranjak
Berbaur kenangan
Tawa lalu tangis
Tangis lalu diam
Diam lalu hilang

Percuma!
Hanya sesaat
Menyisakan perih
Menyisakan caci
Menyisakan isak


Kenapa?
Kenapa sekarang?
Aku terbuai
Membias duniamu
Mengikuti alurmu
Akulah tangismu
Akulah tawamu
Akulah dirimu
Seutuhnya


13 Mei 2014, pukul 20.50
Ahmad Satriawan Hariadi

SEMANGAT

lihatlah bara api ini!
panas sekali..
menjelma langkah pasti
membuat mereka membisu penuh sesal
mengapa aku mengabaikan kesendiriannya?!

selesai sudah..
harapan itu pupus
tersisa naluri untuk maju
berjalan dengan bara semangat
menantang cemohan para pengecut
lalu menang..!


----
Islamic Missions City, 27 April 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Hubungan Ideal Mahasiswa dengan Politik?


Ada beberapa hal dari dinamika politik mahasiswa yang banyak mengundang tanya. Apakah itu latar belakang yang menyebabkan para mahasiswa pegiat politik ini begitu ngotot dan fanatik terhadap partai tertentu, ataukah semangat berpolitik yang jarang sekali kita temui tandingannya di dalam aktivitas-aktivitas mereka yang lain.

Kemudian dalam berbagai kesempatan, kita seringkali terheran-heran dengan keeksisan politis mereka yang kian menjadi-jadi seiring dekatnya pemilu. Bahkan beberapa kawan mahasiswa ataupun mahasiswi yang selama ini kita kenal sebagai sosok pendiam dan pemalu, kini begitu lantang mengkampanyekan partai mereka, dan tidak segan-segan lagi untuk memamerkan momen-momen politis mereka bersama teman separtai.

Lalu di dalam ranah dunia maya, artikel-artikel politis mereka akhir-akhir ini semakin banyak menghiasi timeline kita. Bahkan tidak jarang kita temui argumen-argumen tendensius mereka, agar kita memilih partai tertentu. Sehingga, semua hal yang berkaitan dengan suksesnya propaganda politis ini, tidak akan luput dari perhatian mereka. 

Kita pun bertanya-tanya, bagaimana partai politik ini masuk ke dalam kehidupan mereka, hingga layaknya sebuah mazhab? Mengapa mahasiswa politik ini begitu intens melakukan aktivitas politiknya? Apa motif yang melatarbelakangi mereka melakukan hal demikian? Lalu seperti apa hubungan ideal mahasiswa dengan politik?

Pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu sangat sulit untuk penulis jawab, mengingat penulis --dan harus diakui-- termasuk golongan mahasiswa yang antipati dengan politik praktis ala mahasiswa. 

Namun penulis berani menjamin adanya relasi yang dipaksakan saat mereka  mengaitkan kepentingan politis mereka dengan agama maupun masyarakat. Jika anda tidak percaya, lihatlah editorial media partai politik masisir yang berjudul "Anak-Anak Cinta". Dalam artikel ini anda akan mendapati bagaimana berbagai macam kegiatan sebuah partai politik, yang nyata-nyata dibelakangnya ada kepentingan politis --terlepas dari nilai positif dan negatifnya-- dikait-kaitkan dengan mauqif-mauqif Nabi yang semuanya bersumber dari wahyu. Sungguh jauh antara kepentingan politis kekinian dan wahyu. Sungguh jauh antara cinta Nabi dengan cinta yang di belakangnya ada kepentingan politis. Sungguh jauh antara rahmatan lil alamin dan cinta yang diobaral-obral untuk sebuah suara di parlemen dan beberapa kursi di kementerian.

Penulis juga berani menjamin adanya analisis tendensius, saat membaca media partai politik dan tulisan-tulisan lepas mereka di media sosial. Jika ada ragu, simaklah bagaimana tendensiusnya analisis seorang mahasiswa yang merupakan kader partai tertentu di Mesir. Lihatlah bagaimana ia dengan yakinnya menegaskan bahwa jika Islam tidak didakwahkan lewat kekuasaan, maka Islam hanya akan ada di buku-buku dan masjid-masjid. Tidak hanya itu, ia menambahkan, "Bahkan bisa saja jika buku-buku dan surau-suraunya pun tidak akan dibiarkan ada."

Penulis tidak menafikan pentingnya dakwah lewat kekuasaan. Namun anda tidak bisa mendiskreditkan begitu saja peranan masjid sebagai sekolah sosial dan buku sebagai realisasi intelektual. Jika masih ragu juga, lihatlah Al-Azhar pada Revolusi 1919, ke-Sunni-an rakyat Mesir pada zaman Dinasti Fatimiyah, Muhammadiyah dan pendidikan Indonesia, Hizmet dan Fethullah Gülen, Islam dan proses penyebarannya di nusantara, dan lain-lain.

Semuanya membuktikan bahwa tidak selamanya Islam harus di dakwahkan lewat kekuasaan. Begitu juga tidak selamanya penggunaan kekuasaan selalu berhasil dalam menyebarkan dakwah. Bahkan, tidak jarang jika masjid --yang notabene adalah sekolah sosial-- menjadi hulu revolusi melawan tirani. Jadi, tidak salah jika penulis menegaskan bahwa anda terlalu overaktif dengan kekhawatiran anda yang berlebihan, ketika Islam tidak didakwahkan lewat kekuasaan.

Oleh karena itu, meskipun penulis tidak ikut-ikutan nimbrung ke dalam sebuah partai politik, paling tidak apa yang ditampakkan oleh para mahasiswa pegiat politik --secara verbal maupun literer-- bisa menjadi acuan untuk mengetahui nafsiyah dan aqliyah mereka, terkait dunia politik yang mereka geluti. Sehingga kita, sedikit tidak, bisa meraba-raba jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan mental untuk menjawab tiga pertanyaan pertama. Sedangkan untuk pertanyaan terakhir, penulis menjawabnya dengan menggunakan pendekatan nalar. 

Mari kita jawab tiga pertanyaan pertama tersebut..! Jika kita ingin mengetahui bagaimana partai politik ini masuk ke dalam kehidupan mahasiswa, lalu menjelma layaknya sebuah mazhab, maka setidaknya kita harus tahu sebuah titik yang mempertemukan tabiat mahasiswa dan partai politik tersebut.

Sudah maklum jika mahasiswa selalu terpukau dengan hal-hal yang membakar idealisme mereka. Sudah maklum juga jika darah muda mereka selalu condong kepada hal-hal yang bersifat revolusioner, baik dalam agama maupun negara. Begitu juga dengan hal-hal lain yang menjadi ciri khas gaya pikir dan tabiat mahasiswa. 

Di sisi lain, ada semacam kecocokan antara idealisme yang diusung partai politik tertentu dengan tabiat mahasiswa yang bersangkutan. Sehingga tak ayal, terjadilah pertemuan, lalu kekaguman, hingga diakhiri dengan fusi. Di samping itu, ada semacam asupan mental dari pegiat partai yang senantiasa menjaga keberlangsungan fusi tersebut. Fusi inilah yang menjadikan partai yang didukung oleh mahasiswa layaknya sebuah mazhab, yang secara tidak langsung menuntut penganutnya untuk fanatik dan selalu berbaik sangka terhadap petinggi mazhabnya.

Selanjutnya jika kita ingin tahu mengapa mahasiswa pegiat politik itu begitu intens berkampanye berikut motifnya, maka kita harus kembalikan itu semua kepada petinggi partainya. Iya, para petinggi partai itulah otak dari semua aktivitas mahasiswa dalam kegiatan politisnya. Dengan begitu, anda tidak perlu heran saat melihat kebanyakan para mahasiswa pegiat partai politik, terkait jargon, slogan, dan ekspresi fisik hasil kreativitas petinggi partai; anda saksikan seperti anak-anak yang mengimitasi prilaku orang dewasa. 

Intensitas mereka yang begitu tinggi dalam berkampanye, bisa juga kita kembalikan pada faktor asupan mental petinggi partai terhadap mereka, terlebih jika kegiatan politis ini dikait-kaitkan dengan agama. Sehingga dalam hal ini, secara tidak sadar, kita akan dibuat ternganga oleh jerih payah tanpa batas dan determinasi para mahasiswa pegiat partai politik ini. Anda bisa bayangkan bagaimana kuatnya sebuah fisik dan mental, jika idealisme, darah muda, dan agama; bersatu padu dalam diri seseorang. 

Lalu apakah kehidupan politik semacam ini baik untuk mahasiswa? Secara nalar, kita tidak bisa begitu saja menggeneralisir baik atau tidaknya sesuatu. Karena hal tersebut hanya akan membuat kita terkucilkan, baik dalam kehidupan ilmiah maupun sosial. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya sikap moderat ketika kita dihadapkan pada sebuah permasalahan. Konsep keterbukaan --yang merupakan ciri utama dari kemoderatan-- adalah langkah awal untuk mengetahui baik atau tidaknya kehidupan politik tersebut bagi mahasiswa. 

Jika kehidupan politik yang demikian membuat mahasiswa menjadi tidak peka terhadap komunitasnya, dan berpikiran sempit kerena terbatasnya regional 'kebenaran' pada partai politiknya; maka iklim politik seperti ini jelas tidak baik untuk mahasiswa. Jika partai politik tersebut membuat mahasiswa menjadi overaktif dalam kehidupan politik, lalu mengaitkan hal-hal politis dengan hal-hal tabu dalam agama, sehingga memancing kemarahan saudara seiman; jelas tidak baik juga. 

Akan tetapi jika kehidupan politik membuat mahasiswa menjadi semangat meraih prestasi dan menuntutnya menjadi orang terdepan dalam segala hal; maka tentu sangat dianjurkan. Jika kehidupan politik berhasil menghapus jejak hitam kegagalan mahasiswa dalam merealisasikan idealisme, sehingga tak ada lagi "Gede idealisme nol perbuatan"; maka kenapa tidak.

Dengan penjelasan di atas, setidaknya terbayang di hadapan kita bagaimana hubungan ideal mahasiswa dengan politik.

Islamic Missions City, 1 April 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India