Seandainya yang saya tangkap dari puisi Kakak itu benar, apa
keinginan Kakak setelah saya tahu/baca?
Itulah
bunyi pesannya kepadaku. Sederhana namun membuatku kalang kabut. Singkat namun
membuat lidahku kelu tak berdaya. Jelas seterang matahari namun tak mampu
kujawab. Tajam sehingga perasaanku tertusuk-tusuk oleh pesan itu.
Satu
menit, sepuluh menit, satu jam, hingga setengah hari, aku tak kunjung kuasa
menjawab pertanyaannya. Ada apa ini? Bukankah dia hanya sekedar sosok yang namanya
kupinjam untuk mengisi puisiku sebagaimana gadis-gadis yang pernah kupinjam
namanya? Ah! Aku juga bingung.
Dulu ada
Nayla, Umayma, dan Amira. Nama-nama yang pernah kupinjam untuk mengisi
puisi-puisiku. Namun hanya menjadi inspirasi, lalu berlalu begitu saja. Tak ada
yang spesial. Sahabatku, Ziad, pun seringkali meledekku karena puisi-puisiku
selama ini tidak pernah terdasar pada fakta.
“Di
mana-mana, orang jatuh cinta itu ya sama cewek. Lah kamu, jatuh cinta sama yang
khayalmu yang nggak jelas itu. Dasar aneh!” ledek Ziad seperti biasa. “Makanya
suka dulu sama perempuan.”
“Suka
kok,” jawabku kesal. “Kalau aku nggak suka, ya mana mungkin aku mengkhayalkan
perempuan di dalam puisiku? Mikir dong!”
“Hayo,
kalau kamu suka sama perempuan, siapa dia coba? Siapa namanya?”
Lidahku
keluh tak kuasa menjawab. Kulihat Ziad hanya tertawa girang atas
keberhasilannya membuatku keok tak berdaya. Aku kemudian mencoba menerawang
cakrawala pikiranku. Meraba-raba kemungkinan perempuan yang pernah atau akan
mendapatkan tempat spesial di hatiku. Nihil. Siapa ya perempuan yang kusuka?
Memang,
setiap kali aku bertemu ataupun berpapasan dengan perempuan yang berwajah
jelita, aku memang terperangah. Namun tak lebih dari satu detik. Setelah itu
hilang entah kemana. Kurasa itu normal. Bahkan jika seseorang laki-laki tak
merasa aneh alias berdesir melihat karya surga yang anggun dan berparas
menawan, maka kelaki-lakiannya perlu dipertanyakan. Aku terkekeh sendiri. Aku termasuk laki-laki normal kan?!
Iya, hanya
sebatas terperangah barang sesaat. Itulah kisahku bersama perempuan semenjak
aku menginjakkan kakiku di Negeri Piramid ini empat tahun yang lalu. Adapun
selebihnya, maka laptop dan buku. Jika tidak, maka main bola dan Masjid
al-Azhar.
Karena
duniaku yang begitu sempit ini, aku tak jarang menerima ledekan dari
teman-temanku. Jika kata ‘jomblo’ terucap, maka perhatian mereka selalu tertuju
kepadaku. Seakan-akan jomblo dan namaku umpama sepasang raga dan ruh. Tak
mungkin terpisah. Jika terpisah, maka tak ada lagi eksistensi dari jomblo
maupun namaku.
***
“Sebelum
perkuliahan ini selesai, coba kalian buka halaman 212. Di sana ada puisi milik
Mikhail Na’imah, salah satu penyair besar Arab abad dua puluh yang tinggal di
Amerika Serikat. Na’imah adalah sahabat dekat Kahlil Gibran, yang mendirikan al-Rabitha al-Qalamiya di New York tahun
1921. Tugas kalian adalah memberikan pandangan kalian terhadap puisi tersebut.
Apa saja pembaruan-pembaruan yang dilakukan Na’imah di dalam puisinya. Apakah
itu terkait uslubnya, khayalnya, maupun inovasi maknanya. Minggu depan, kalian
mengumpulkan tugas kalian dalam bentuk tulisan, yang tak kurang dari lima
halaman.”
Plak!
Dosenku menutup bukunya, lalu beranjak keluar.
Aku hanya
bisa duduk termangu mendengar apa yang baru saja kudengar. Kulihat diktat kuliahku,
lalu kubuka halaman 212. Kubaca puisi yang berjudul al-Nahru al-Mutajammid (Sungai yang Beku) tersebut dengan pelan dan
penuh penghayatan. Puisi yang indah dan dalam. Kubaca sekali, dua kali, lima
kali, hingga puluhan kali. Aku tak bosan membacanya. Bahkan kini aku sudah
menghafalnya di luar kepala.
Karena
begitu terobsesi dengan puisi tersebut, setelah pulang dari kampus, aku
langsung saja menyelesaikan tugasku hari itu juga. Done! Akan tetapi kini aku merasakan keganjilan. Iya, jika Na’imah
bisa menulis puisi seindah itu, kenapa aku tidak. Iya, aku harus menulis puisi
seperti Na’imah. Namun dengan tema yang berbeda. Iya, jika Na’imah berhasil
membahasakan kesedihan --karena sungai yang dulu tempatnya bercerita dan
bercanda ria kini menjadi sumber
kesedihan--, maka aku akan mencoba mengungkapkan cinta yang kusembunyikan
diam-diam selama ini kepada seorang gadis.
Tetapi
siapa gerangan gadis yang bakal kuungkapkan cintaku kepadanya itu? Siapa? Aku
bingung karena tak tahu harus menjawab apa. Selama ini belum ada gadis yang
bisa kuelu-elukan sosoknya, kusebut-sebut namanya dalam diam, yang mengisi
relung-relung hatiku. Tidak ada.
Tidak!
Meskipun gadis itu belum ada wujudnya di dalam dunia nyata, aku harus tetap
menulis puisi seperti Na’imah. Toh bukannya dulu aku pernah meminjam nama-nama
asing yang mengisi puisiku. Lalu apa susahnya aku mencari nama yang indah
sebagai sosok gadis yang menjadi tokoh utama di dalam puisiku. Aku tertawa
cekikikan. Gampang!
Suara
tilawah menjelang fajar sudah menggema di antero Kairo. Namun, hingga detik ini
aku belum bisa menggoreskan satu bait pun. Tak terhitung sudah berapa lembar
kertas yang berisi coretan-coretan hampa. Kepalaku mumet. Ingin rasanya
berteriak sekeras-kerasnya agar kabut-kabut kelam yang menghalangi sinar
inspirasi ini bisa beranjak dari tempatnya.
Selepas
subuh, aku kembali berkutat dengan obsesiku ini. Kubuka-buka kumpulan puisi
milik para penyair Arab klasik --seperti al-Mutanabbi, Ibnu al-Rumy,
al-Ma’arry, dan lain-lain-- dengan harapan agar bisa memberikanku inspirasi.
Namun tetap saja. Tanganku tetap dengan kekakuannya. Pikiranku tetap dengan
kekosongannya. Khayalku tetap dengan kesempitannya. Dengan untaian letih yang
menggerogoti sekujur tubuhku, akhirnya aku merebahkan badanku. Aku terkapar lemas
lalu terlelap.
***
Tiga hari
sudah pikiranku tersibukkan oleh puisi yang hendak kutulis ini. Celakanya, aku
belum menemukan inspirasinya. Aku harus memulai puisinya bagaimana? Lalu
memakai bahr apa? Kemudian harus
menggunakan qafiyah apa? Isi puisinya
seperti apa? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa
kujawab. Akan tetapi ada hal yang
membuat semua pertanyaan di atas tak terjawabkan olehku adalah
pertanyaan kepada siapa kuperuntukkan puisiku ini? Benar! Untuk siapa puisi
ini?
Terpikirkan
olehku jika puisi-puisi sebelumnya cukup menggunakan khayal karena hanya
berkutat pada lukisan deskriptif sang perempuan. Terpikirkan olehku jika
puisiku kali ini adalah pengungkapan cinta yang telah lama tersembunyi dan tak
cukup menggunakan khayal saja. Aku harus menjadi orang yang benar-benar jatuh
cinta. Benar-benar merasakan kerinduan yang mendalam saat berjauhan.
Benar-benar merasakan perih yang membuncah karena tak kunjung kuasa
mengungkapkan perasaan cinta yang sudah lama kupendam.
Aku pun akhirnya
menyimpulkan bahwa puisi ini akan mendapatkan ruhnya, jika aku benar-benar
jatuh cinta. Aku juga menyimpulkan bahwa ini hanya akan bisa terjadi, jika
gadis yang kucintai diam-diam itu benar-benar eksis di alam nyata. Gadis yang
membuatku terperangah saat menatap matanya. Gadis yang membuatku gigit jari
karena sifat pemalunya. Gadis yang membuatku merasa paling spesial karena
keramahannya.
Siapakah
gadis itu wahai langit-langit kamarku? Siapakah kiranya dia wahai rak-rak buku
yang mengelilingiku? Amboi! Kenapa kalian
tak juga memberikanku jawaban?!
***
“Mau
kemana, Bro?”
“Eh Ziad,”
aku menoleh ke arahnya. “Ke PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia kairo). Ada
tugas akhir tahun yang harus aku selesaikan sebelum ujian termin dua ini.”
“Oh.. Ya
sudah, kalau begitu hati-hati di jalan ya.”
Setelah
tiba di PMIK, aku langsung menuju rak-rak tempat buku bahasa Arab berjejer
rapi. Ketika aku sedang asyiknya mencari-cari buku rujukanku, secara tak
sengaja mataku beradu pandang dengan mata seorang perempuan. Hanya sesaat.
Secara refleks aku dengan sesegera mungkin mengalihkan pandanganku. Buku-buku
yang tersusun rapi di depanku ini rupanya hanya menyisakan mata dan keningnya.
Tak lebih. Aku pun kembali pada tujuanku, yaitu mencari buku yang kuinginkan.
Aku tersenyum kecut. Apa peduliku dengan
dia?
“Eh, ada
Kak Muzanni,” tiba-tiba aku mendengar suara perempuan yang tidak asing bagiku.
“Lagi nyari buku apa, Kak?”
“Aya?” aku
menoleh ke arah kiri dengan sedikit gelagapan. “Lagi nyari bukunya Bintu
al-Syathi nih. Tapi ngga ketemu-ketemu dari tadi.”
“Loh kok
sama sih, Kak? Aku juga lagi nyari buku beliau yang berjudul al-I’jaz al-Bayani. Aku ada tugas dari
kajian untuk meresensi buku itu. Kakak nyari buku yang sama juga?”
“Nggak,
Ay. Saya lagi nyari Tafsir al-Bayani
beliau yang jilid dua.”
“Buat apa,
Kak?”
“Saya lagi
bikin Bahts akhir tahun. Doanya ya,
biar saya lulus S1 tahun ini.”
Aya
mengangguk pelan. Lalu kembali sunyi. Aku tersibukkan oleh pencarianku. Begitu
juga Aya. Karena buku yang kucari-cari tak kunjung ketemu, aku langsung pulang
ke asrama dengan kekecewaanku.
Sambil
tidur-tiduran, aku kembali mencari-cari cara agar aku bisa menyelesaikan
puisiku tersebut. Dengan menghadirkan kembali rajutan peristiwa yang telah
kualami hari ini, dari lubuk hati yang paling dalam, aku merasa bahwa puisiku
ini bakal segera rampung. Iya, sosok itu adalah Aya.
Setahuku,
sejak mengenal Aya lewat tulisan-tulisannya yang dimuat di Buletin IQRA’ milik
kajian al-I’jaz, Aya adalah mahasiswi yang sangat open minded dan berwawasan luas. Bahkan setelah secara tidak
sengaja aku berkenalan dengannya di sebuah acara seminar, Aya adalah sosok yang
ramah dan enak diajak bicara. Tidak jarang aku mendengar celetukan-celetukan
tentang dia.
“Jika ada
perempuan yang paling idealis dan tegas layaknya prajurit khusus, maka itu
adalah Aya,” kata salah seorang temanku.
“Tulisan-tulisan
Aya di blognya itu simpel dan apa adanya. Saya suka tulisan seperti itu,” ujar
temanku yang lain.
“Meskipun
Aya tidak terkategorikan mahasiswi yang terkenal dengan dengan kecantikannya,
namun ia justru selalu menjadi bahan pembicaraan kaum mahasiswa, khususnya
mereka yang lebih senior dari dia,” celetuk Ziad.
Begitulah,
Aya yang mungil itu ternyata menjadi primadona mahasiswa tingkat akhir di
antero Kairo. Aku? Tidak! Sampai detik ini aku cenderung dingin dan biasa saja
terhadap Aya. Aku tersibukkan oleh duniaku, yaitu dunia sastra, meskipun aku
tak jarang mengikuti perkembangan pemikiran Islam modern. Dia? Sama sepertiku,
tersibukkan oleh dunianya sendiri, yaitu dunia kajian dan organisasi. Aku tidak
terlalu banyak tahu detailnya. Jika kami chatting,
maka sekenanya saja. Dia yang terkadang lama membalas obrolanku, kuanggap biasa
saja.
Pada titik
ini, setelah aku menghadirkan semua hal yang berkaitan dengan mahasiswi tafsir
tersebut. Aku semakin mantap untuk memilih dia sebagai sosok yang kucintai
sedalamnya di dalam puisiku ini. Iya, aku kini mantap memilih Aya. Iya, kini
Aya mulai menuliskan kisahnya di lembaran hidupku. Iya, Aya kini mulai menjadi trending topic di pikiranku. Jika untuk
menjaga perasaan cinta ini tetap mekar, aku harus menyebut-nyebut namanya; akan
kusebut namanya dalam diam, saat temaram, di tengah keributan, di mana dan
kapan saja. Semua ini tak lain karena aku ingin all out dalam menuliskan puisiku ini.
Benar! Aku
benar-benar tenggelam ke dalam dunianya Aya. Lalu lihatlah! Satu bait, dua
bait, tiga bait, sepuluh bait, dua puluh bait. Done! Puisi ini telah selesai kugarap dalam kurun waktu dua hari.
Girangnya bukan main. Aku sangat senang. Aku tak tahu tiba-tiba air mataku
menetes bahagia. Allah!
***
Untuk
menghindari kejadian yang tidak diharapkan, aku berpikir jika aku harus memberi
tahu Aya terkait puisi, yang setiap baitnya mengelu-elukan namanya penuh
takzim. Itu semua agar tidak terjadi kesalahpahaman suatu saat nanti antara aku
dan dia. Tak ayal, aku segera bergegas menemuinya di PMIK. Mengapa di PMIK?
Karena dia adalah pengunjung rutin perpustakaan sederhana tersebut. Benar saja,
saat aku tiba di PMIK, dia sedang asyik membaca sambil berdiri di depan rak
buku.
“Ay, boleh
bicara sebentar?”
“Eh Kak
Muzan. Ahlan,” jawab Aya dengan
sedikit terperangah.
“Sebelumnya
saya minta maaf karena ngeganggu Aya
membaca.”
“Nyante
aja kali, Kak,” ujarnya sambil tersenyum. “Mau ngomong apa? Kayaknya penting
banget.”
“Begini,
saya kan kemarin nulis puisi bahasa Arab dan saya memakai nama Aya di dalamnya.
Tujuan saya hanyalah ingin memberi tahu Aya sekaligus meminta izin. Boleh
nggak?” aku menyodorkan selembar kertas.
Setelah
beberapa saat membaca puisiku, Aya kemudian menghela napas panjang, seakan-akan
ia ingin mengatakan sesuatu.
“Di dalam
puisi itu ada yang namanya Tajribah
Syu’uriyyah, yang mana seorang penyair berlagak seperti orang yang jatuh
cinta, padahal ia sendiri tidak jatuh cinta, seperti puisi saya ini,” aku
terlebih dahulu bicara untuk mencairkan suasana. “Tenang saja, Ay! Saya tidak
bermaksud apa-apa. Saya meminjam nama Aya saja. Nggak lebih.”
“Bukan itu
maksud saya, Kak.”
“Lalu?”
“Saya
tidak mempermasalahkan apakah Kakak mau pakai nama saya atau siapapun,” ujar
Aya penuh kehati-hatian. “Saya cuma nggak enak aja sama teman-teman terdekat
saya, saat melihat nama saya menjadi judul puisi Kakak. Saran saya sih judulnya
diganti aja pakai yang lain.”
“I..ya,
gampang. Inysaallah nanti saya ganti,” aku terkekeh.
Keadaan
kemudian menjadi senyap. Aya kembali membaca. Aku kembali ke asramaku.
Pikiranku kini agak tenang. Aya tidak marah sedikitpun. Ia hanya memintaku
untuk mengganti judulnya saja. Kejadian ini memang sudah kuprediksikan
sebelumnya. Aya bukan sosok yang berpikiran sempit. Aku hanya memastikannya
saja.
***
Ujian
termin dua tinggal dua hari lagi. Namun bayangan Aya masih saja menghantuiku.
Padahal sudah hampir sebulan aku merampungkan puisi tersebut. Bahkan semakin
hari, semakin menjadi-jadi. Aku sendiri heran dengan diriku yang tak kunjung
kuasa berlepas dari bayangan Aya. Tiap kali aku memandang jauh ke depan, pada
saat itu juga kulihat Aya berdiri di kejauhan sana, seakan-akan ia sedang
menungguku. Akibatnya, saat aku berjalan, aku lebih banyak merunduk ketimbang
melihat ke depan atau menoleh kesana kemari.
Awalnya
aku merasa bahwa kejadian semacam ini terkategori normal. Namun akhir-akhir ini
aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku. Oh No! Wahai diriku, jangan bilang kalau aku benar-benar jatuh cinta
pada Aya! Jangan bilang aku kini telah memendam perasaan diam-diam terhadapnya!
Jangan bilang kalau sudah mulai tersenyum sendiri saat mengingat dia! Jangan
bilang kalau bayangan raut wajah Aya yang kecewa, selalu hadir, jika aku
bermalas-malasan!
Musim
ujian kali ini pun jauh berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Jika sebelumnya
aku menjalani ujian dengan santai tanpa beban, maka kali ini aku menjalaninya
dengan rasa takut yang mendalam. Aku merasa selalu diawasi oleh bayangan Aya,
yang mau tidak mau membuatku lebih serius dan lebih fokus. Jauh di lubuk hatiku
yang terdalam, ada semacam ketakutan. Iya, aku takut jika hasil ujianku nanti
mengecewakan Aya. Aku takut jika nilai ujianku berada di bawah dia.
Ketika
ujianku usai, berkelebat di pikiranku keinginan untuk mengetahui bagaimana
kabar Aya, bagaimana ujiannya, apakah ujiannya sudah usai sepertiku, terus apa
saja rencananya pas liburan musim panas ini. Dari sekian banyak pertanyaan di
atas, ada satu pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan kepadanya. Iya, aku
ingin tahu pendapatnya mengenai puisi yang kutuliskan untuknya itu.
Dengan
sisa nyali yang masih ada pada diriku, aku mencoba memberanikan diri untuk
mengirimi Aya pesan lewat jejaring sosial, menanyakan semua yang berkelebat di
pikiranku. Hingga akhirnya aku menanyakan pendapat dia mengenai puisi yang
kutulis untuk dia. Tahukah kamu apa jawaban Aya? Dia belum membaca puisinya.
Saat kusodorkan kertas itu, dia hanya melihat namanya saja yang waktu itu
menjadi judul puisi itu. Tak lebih. Kecewa? Iya, aku kecewa.
Aku
berpikir bahwa Aya harus tahu, bagaimana susahnya menulis puisi yang
menyebut-nyebut namanya tersebut. Aya harus tahu semua kejadian yang menimpaku
saat menulis puisi tersebut. Tak ayal, aku menulis pesan yang lumayan panjang
kepadanya, menceritakan bagaimana aku menyebut-nyebut namanya. Begitu juga
dengan bayangannya yang terus menghantuiku setelah puisi itu kurampungkan.
Tahukah
kamu bagaimana respons Aya? Iya, dia tidak membalas pesanku. Kurasa dia
tersinggung karena aku yang mungkin terlalu blak-blakan saat menceritakan
pengalamanku tersebut. Sedangkan aku? Tentu saja aku mengkhawatirkan keadaan
gadis itu. Kamu tentunya tahu bagaimana perasaan orang yang tersekat kerinduan,
saat orang yang didambakannya diam seribu bahasa. Oh Aya, kenapa kamu diam?!
Sejak saat
itu, aku semakin memikirkan gadis mungil itu. Begitu juga dengan bayangannya
yang semakin menghantuiku. Kini aku benar-benar dirundung kegelisahan dan
kebimbangan. Jauh di dalam hatiku, aku merasa bahwa aku terlalu berlebihan dengan
obsesiku ini. Aku menyalahkan diriku, kenapa aku harus mengikutsertakan gadis
tak berdosa itu ke dalam duniaku yang penuh dengan obsesi gila ini.
Namun tak
selamanya Aya diam. Enam hari kemudian, aku mendapat pesan dari Aya.
“Wah, sepertinya belum ada sesuatu dari saya yang pantas menjadi
inspirasi orang lain. Ala kulli hal, jazakallah khaira. Niat Kakak baik sekali.
Tapi maaf, saya agak kurang berkenan dengan penyampaian Kakak, karena
itu membuat saya tidak nyaman. Padahal Kakak adalah seseorang yang sangat saya
kagumi dan ingin saya hormati sebagai senior.
Afwan jika ada kata yang kurang berkenan.
O ya, saya bisa baca puisinya di mana ya, Kak?”
Dugaanku benar. Aya
memang tersinggung. Bahkan sangat geram. Kata-kata setelah ‘padahal’ itu
menunjukkan bahwa aku tak bernilai apa-apa lagi di mata gadis itu, sekaligus
mencerminkan betapa dewasa dan tegasnya dia. Malu? Iya, aku sangat malu
padanya. Kini aku merasa di titik nadir hidupku. Tahukah kamu bagaimana
perihnya hati, saat orang yang kamu cintai dan dambakan, memandangmu sebelah
mata?
Di tengah-tengah
kesedihanku, aku berpikir bahwa Aya harus membaca puisi itu, agar ia tahu bahwa
aku tidak main-main. Aya harus tahu bahwa semua yang tertera didalam puisi itu
adalah kalimat jiwaku. Tak ada yang dibuat-buat.
“Aya mungkin nggak percaya dengan apa yang saya sampaikan di pesan saya
sebelumnya. Tapi setelah anda baca puisi itu, you're gonna know the truth.
Ala kulli hal, saya memohon maaf yang sedalamnya atas pernyataan saya
yang sebelumnya. Puisinya udah ada di blog. Saya baru posting dua hari yang
lalu.”
Aya tak langsung
membalas. Dan memang begitulah dia. Bedanya, kini aku selalu menantikan balasan
dari dia. Aku selalu berharap ia menggerakkan jemarinya, meski hanya satu kata
saja. Tapi nihil! Aya tak langsung membalas. Padahal ia sudah melihat pesannya
sejak kukirimkan. Mungkinkah dia sedang membaca puisi itu? Ah, aku sama sekali
tidak tahu.
Sehari kemudian, ia
mengirimkan balasan.
“Saya sudah baca puisi itu di blog Kakak. Ternyata di luar dugaan saya. Dan
ana mau langsung aja. Seandainya yang saya tangkap dari puisi Kakak itu benar,
apa keinginan Kakak setelah saya tahu/baca?”
Jleb! Lagi-lagi aku
dibuat tak berdaya oleh gadis ini. Meskipun begitu, aku sendiri sudah mempunyai
jawaban dari pertanyaan Aya di atas. Iya, aku ingin Aya menjadi ibu dari
anak-anakku. Itulah perkataan hati kecilku. Namun kini aku bingung, apakah aku
menjawab seperti itu? Tentu tidak. Mana berani aku berkata demikian.
Mengungkapkan perasaan secara langsung kepada perempuan adalah hal yang paling
tabu di dalam hidupku. Lagian hal tersebut tentu mengganggu konsentrasi
belajarnya. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah siapa tahu Aya sudah
punya calon suami alias sudah bertunangan. Aku bimbang.
***
Dua minggu sudah
berlalu, namun aku belum memberikan Aya jawaban. Aku benar-benar bimbang.
Hari-hariku penuh dengan keraguan dan kekhawatiran. Ragu-ragu untuk menjawab,
dan khawatir, apa yang bakal terjadi setelah aku menjawab pertanyaan Aya dengan
jujur. Apakah Aya bakal membenciku, kemudian tak mau lagi mengenalku? Apakah
perasaanku bakal ditolak mentah-mentah oleh dia? Jika pun diterima, lalu aku
harus bagaimana? Apakah aku harus melamarnya?
Aku memang sudah
memikirkan bahwa tak lama lagi aku bakal menikah. Itu semua karena aku ingin
sekali mempunyai seorang titisan. Ada kerinduan yang begitu mendalam akan sosok
keturunanku tersebut. Sayangnya, aku hanya memikirkan titisanku, namun lupa
memikirkan siapa ibu yang bakal melahirkannya. Akibatnya, aku belum berpikir
terlalu jauh untuk itu. Dalam pikiranku hanyalah keinginan untuk benar-benar
menjadi manusia, dengan keberadaan titisanku di pangkuanku. Merasakan indahnya
hidup dari keringat sendiri, tanpa bergantung kepada siapapun selain kasih
sayang langit. Menyadari sekaligus merasakan betapa kerasnya penghidupan ini.
Iya, aku selalu
memimpikan kehadiran titisanku. Mengkhayalkan suasana ketika kudapati fokusku
hanya pada bagaimana agar ia tak seperti bapaknya yang hidupnya selalu bimbang
dan setengah-setengah. Bagaimana agar ia tak bodoh dan sok pintar seperti
bapaknya. Bagaimana agar ia tak menjadi pembangkang dan pengkritik seperti
bapaknya.
Itulah salah satu
pendorong mengapa aku harus menjawab pertanyaan Aya dengan jujur. Jujur bahwa
aku ingin ia menjadi ibu dari anak-anakku. Jujur bahwa aku siap memenuhi semua
persyaratan yang ia ajukan agar aku layak menjadi suaminya. Jujur bahwa aku
akan memberikan segala yang kupunya untuk membuat ia bahagia dan bangga. Jujur
bahwa aku ingin ia menjadi sosok ibu yang membuat mataku tertuju kepadanya,
mengisi relung hatiku, membuat waktuku tertahan beberapa saat ketika menatap
matanya.
Namun di sana ada
hal yang menghalangiku untuk jujur. Iya, aku merasa bahwa aku hanya orang asing
yang tidak tahu diri, karena mencoba memintanya menjadi pendampingku. Aku
merasa bahwa aku sama sekali tak bernilai apa-apa di matanya. Aku merasa bahwa
aku tidak mempunyai tempat di hatinya. Apalagi jika menyadari bahwa bahwa Aya
selama ini tak pernah langsung membalas pesan-pesan yang kukirimkan kepadanya.
Begitu juga dia yang begitu dingin saat aku bersua dengannya dalam berbagai
kesempatan.
Setelah berpikir
panjang, akhirnya aku memutuskan untuk diam hingga akhirnya. Aku berkeyakinan,
bahwa cintaku kepada Aya adalah murni dari hatiku yang terdalam. Aku
berkeyakinan bahwa cinta yang sejati, tidak butuh diungkapkan dengan kata-kata.
Aku berkeyakinan bahwa cinta sejati adalah cinta yang diungkapkan dengan
perbuatan nyata dan pengorbanan tulus.
Aku hanya ingin
memperlihatkan kepada Aya, bahwa nama dan jiwanya selalu ada dalam setiap
tulisan yang kugoreskan, dan keringat yang bercucuran saat menapaki kerasnya
penghidupan. Karena dikatakan secara langsung atau tidak, bagiku itu tetap
cinta. Aya, maafkan aku! Aku tak bisa
memberi tahu kalau aku mencintaimu sedalamnya.
Islamic Missions
City, 1 Juli 2014
Ahmad Satriawan
Hariadi