Memahami Esensi Idul Fitri

Tidak ada momen yang begitu jelas menunjukkan esensi Idul Fitri selain momen ketika Nabi mengatakan, “Idul Fitri merupakan hari di mana semua manusia berbuka.” Dengan diucapkannya kalimat sederhana penuh makna ini, seakan-akan sebuah konstitusi universal tentang kemanusiaan baru saja dikumandangkan. 

Mengapa demikian? Karena kata “semua manusia” menunjukkan bahwa perbedaan strata sosial tidak akan menemukan tempatnya lagi di hati manusia. Karena kata “berbuka” mengisyaratkan bahwa pada hari yang fitri ini, kenikmatan lahir dan batin bersama-sama merangkul semua manusia dalam ikhlasnya penghambaan dan indahnya kesalingan.

Kata “berbuka” juga memiliki cakupan yang menembus batas ruang dan waktu. Ya, kata tersebut bukan sekedar istilah untuk mengakhiri puasa pada petang hari dengan makan atau minum. Sama sekali tidak! Kata “berbuka” lebih dari itu. Kata “berbuka” adalah simbol keikhlasan dan kesetiakawanan. Kata “berbuka” juga merupakan lambang supremasi totalitas penghambaan dan sempurnanya kebahagiaan. 

Artinya, ketika Nabi mengatakan demikian, maka Idul Fitri bukan sekedar perkumpulan manusia di sebuah ladang luas untuk menunaikan salat, kemudian menyimak pemaparan sang khatib. Idul Fitri juga bukan sekedar salam-salaman ataupun permohonan maaf seseorang saat bejumpa sesamanya. Akan tetapi lebih dari itu. 

Idul Fitri merupakan simbol tegaknya syiar-syiar langit. Idul Fitri merupakan lambang kebahagiaan universal yang meliputi seluruh lapisan manusia. Pada hari yang fitri inilah kesetaraan benar-benar menemukan eksistensi di alam nyata. Karena seluruh elemen masyarakat, mulai dari balita hingga kakek-nenek, dari yang paling miskin hingga yang paling kaya, dari rakyat jelata hingga penguasa tertinggi; berkumpul dan bersatu padu di bawah panji langit, sembari mengagungkan nama Sang Pencipta. 

Dengan penyebutan Idul Fitri sebagai hari berbukanya semua manusia, maka pada hari itu juga tak ada lagi sikap riya, congkak, acuh tak acuh, dan kikir. Dengan penyebutan Idul Fitri sebagai hari berbukanya semua manusia, maka yang ada pada hari itu adalah sikap ikhlas, rendah hati, solidaritas, dan kedermawanan.

Jadi, momen Idul Fitri merupakan awal tertatanya kehidupan seorang mukmin, baik secara personal maupun sosial. Idul Fitri juga merupakan waktu yang paling tepat untuk memulai hidup sebagai manusia yang utuh. Ya, manusia yang memegang teguh identitas kemanusiaannya. Manusia yang tidak tunduk kepada siapapun selain Sang Pencipta. Manusia yang berakhlak dengan akhlak khalifah Allah yang sejati. 

Manusia yang selalu menyambut hari barunya dengan hati yang lebih ikhlas, pikiran yang lebih dewasa, ilmu yang semakin dalam, wawasan yang semakin luas, dan perangai yang semakin mulia. Manusia yang setiap waktu tersibukkan untuk menata dirinya sendiri, mengarahkan sesamanya, dan melestarikan lingkungannya. Bukan manusia yang sibuk menuruti hawa nafsunya, menyakiti sesamanya, dan mencemari lingkungannya.

Dengan memahami esensi Idul Fitri sebagaimana sabda Nabi di atas, tempaan fisik dan mental selama sebulan penuh di bulan Ramadan, tidak akan berlalu sia-sia begitu saja dengan usainya bulan penuh berkah tersebut. Tidak! Ramadan, menurut penulis, merupakan langkah persiapan, untuk memulai ribuan langkah sesungguhnya yang harus ditapaki seorang muslim setelah Ramadan.

Ramadan juga merupakan satu-satunya sarana untuk mengetahui titik tertinggi kapabilitas mental dan fisik seorang mukmin dalam ibadahnya. Melalui Ramadan, kita akan mengetahui sejauh mana kejujuran kita terhadap diri kita sendiri. Kita akan menyadari seberapa jauh keimanan kita mempengaruhi gerak-gerik kita sehari-hari. Kita akan menyaksikan sejauh mana ketakwaan kita melindungi kita, agar tak terjerumus ke dalam lembah dosa dan maksiat. Kita juga akan mengetahui daya tahan fisik kita saat menapaki getirnya penghidupan.

Kemudian timbul pertanyaan besar kepada diri kita. Apakah tempaan Ramadan selama sebulan penuh tersebut akan berlalu begitu saja? Sanggupkah kita menjadikan hari-hari kita setelah Ramadan layaknya hari-hari Ramadan? Akankah kita, yang sudah berpuasa sebulan penuh, tetap menjadi sosok malaikat berwujud manusia yang --sebagaima kata Grand Sheikh Mahmud Shaltut-- tidak berbohong, tidak saling mencurigai, tidak saling fitnah, tidak membuat rencana jahat terhadap orang lain, tidak menipu, dan tidak memakan harta manusia dengan batil?

Itulah segelintir pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh keikhlasan diri dan konsistensi perbuatan kita.

Dengan memahami esensi Idul Fitri yang sesungguhnya, kita mestinya mulai untuk memanusiakan orang lain. Mulai memanusiakan orang lain berarti kita mulai menerima dan menghargai segenap perbedaan; apakah itu perbedaan suku, ras, mazhab, pandangan politik, bahkan agama. Mulai memanusiakan orang lain berarti mulai menatap manusia dengan tatapan kasih sayang. Mulai memanusiakan orang lain berarti mulai mengerahkan segala kemampuan moril maupun materiil untuk meringankan beban penghidupan sesama.

Kita tentunya tahu, jika Allah berkehendak, maka seluruh umat manusia akan sama-sama kaya, akan sama-sama berkulit putih, akan sama-sama berada di bawah naungan Islam. Namun kehendak Allah berkata lain. Ya, Allah menghendaki sebagian umat manusia tetap berada di jalan yang menyimpang, agar kita sepenuhnya menyadari bahwa hidayah Allah masih bersama sebagian yang lain. Karena jika tidak ada keburukan, maka kebaikan tidak akan pernah ada wujudnya di muka bumi. Begitulah sunnatullah.

Keburukan maupun penyimpangan yang muncul dari perbuatan manusia sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk membenci manusia. Yang bisa kita lakukan adalah membenci perbuatannya, bukan manusia itu sendiri. Karena bagaimana mungkin kita membenci makhluk yang telah dimuliakan oleh Allah ketika Ia berfirman, “Sungguh Kami benar-benar telah memuliakan keturunan Adam.”
 
Dengan demikian, memahami esensi Idul Fitri secara utuh, merupakan sarana yang paling tepat untuk memanifestasikan “sebaik-baik umat” ke dalam kehidupan nyata. Karena dengan memahami esensi Idul Fitri, seseorang secara tidak langsung telah menjadi rahmat bagi seluruh alam. Itu semua karena ia menyadari, bahwa Allah telah menghendaki kebaikan untuk segala eksistensi di atas permukaan bumi ini. Sehingga mau tidak mau, ia pun mulai berlaku baik terhadap semua ciptaan Allah, tanpa pandang pandang bulu. []


Ahmad Satriawan Hariadi
Islamic Mission City, 26 Juli 2014

Puisi dan Cinta (Cerpen)

Seandainya yang saya tangkap dari puisi Kakak itu benar, apa keinginan Kakak setelah saya tahu/baca?
Itulah bunyi pesannya kepadaku. Sederhana namun membuatku kalang kabut. Singkat namun membuat lidahku kelu tak berdaya. Jelas seterang matahari namun tak mampu kujawab. Tajam sehingga perasaanku tertusuk-tusuk oleh pesan itu.
Satu menit, sepuluh menit, satu jam, hingga setengah hari, aku tak kunjung kuasa menjawab pertanyaannya. Ada apa ini? Bukankah dia hanya sekedar sosok yang namanya kupinjam untuk mengisi puisiku sebagaimana gadis-gadis yang pernah kupinjam namanya? Ah! Aku juga bingung.
Dulu ada Nayla, Umayma, dan Amira. Nama-nama yang pernah kupinjam untuk mengisi puisi-puisiku. Namun hanya menjadi inspirasi, lalu berlalu begitu saja. Tak ada yang spesial. Sahabatku, Ziad, pun seringkali meledekku karena puisi-puisiku selama ini tidak pernah terdasar pada fakta.
“Di mana-mana, orang jatuh cinta itu ya sama cewek. Lah kamu, jatuh cinta sama yang khayalmu yang nggak jelas itu. Dasar aneh!” ledek Ziad seperti biasa. “Makanya suka dulu sama perempuan.”
“Suka kok,” jawabku kesal. “Kalau aku nggak suka, ya mana mungkin aku mengkhayalkan perempuan di dalam puisiku? Mikir dong!”
“Hayo, kalau kamu suka sama perempuan, siapa dia coba? Siapa namanya?”
Lidahku keluh tak kuasa menjawab. Kulihat Ziad hanya tertawa girang atas keberhasilannya membuatku keok tak berdaya. Aku kemudian mencoba menerawang cakrawala pikiranku. Meraba-raba kemungkinan perempuan yang pernah atau akan mendapatkan tempat spesial di hatiku. Nihil. Siapa ya perempuan yang kusuka?
Memang, setiap kali aku bertemu ataupun berpapasan dengan perempuan yang berwajah jelita, aku memang terperangah. Namun tak lebih dari satu detik. Setelah itu hilang entah kemana. Kurasa itu normal. Bahkan jika seseorang laki-laki tak merasa aneh alias berdesir melihat karya surga yang anggun dan berparas menawan, maka kelaki-lakiannya perlu dipertanyakan. Aku terkekeh sendiri. Aku termasuk laki-laki normal kan?!
Iya, hanya sebatas terperangah barang sesaat. Itulah kisahku bersama perempuan semenjak aku menginjakkan kakiku di Negeri Piramid ini empat tahun yang lalu. Adapun selebihnya, maka laptop dan buku. Jika tidak, maka main bola dan Masjid al-Azhar.
Karena duniaku yang begitu sempit ini, aku tak jarang menerima ledekan dari teman-temanku. Jika kata ‘jomblo’ terucap, maka perhatian mereka selalu tertuju kepadaku. Seakan-akan jomblo dan namaku umpama sepasang raga dan ruh. Tak mungkin terpisah. Jika terpisah, maka tak ada lagi eksistensi dari jomblo maupun namaku.
***
“Sebelum perkuliahan ini selesai, coba kalian buka halaman 212. Di sana ada puisi milik Mikhail Na’imah, salah satu penyair besar Arab abad dua puluh yang tinggal di Amerika Serikat. Na’imah adalah sahabat dekat Kahlil Gibran, yang mendirikan al-Rabitha al-Qalamiya di New York tahun 1921. Tugas kalian adalah memberikan pandangan kalian terhadap puisi tersebut. Apa saja pembaruan-pembaruan yang dilakukan Na’imah di dalam puisinya. Apakah itu terkait uslubnya, khayalnya, maupun inovasi maknanya. Minggu depan, kalian mengumpulkan tugas kalian dalam bentuk tulisan, yang tak kurang dari lima halaman.”
Plak! Dosenku menutup bukunya, lalu beranjak keluar.
Aku hanya bisa duduk termangu mendengar apa yang baru saja kudengar. Kulihat diktat kuliahku, lalu kubuka halaman 212. Kubaca puisi yang berjudul al-Nahru al-Mutajammid (Sungai yang Beku) tersebut dengan pelan dan penuh penghayatan. Puisi yang indah dan dalam. Kubaca sekali, dua kali, lima kali, hingga puluhan kali. Aku tak bosan membacanya. Bahkan kini aku sudah menghafalnya di luar kepala.
Karena begitu terobsesi dengan puisi tersebut, setelah pulang dari kampus, aku langsung saja menyelesaikan tugasku hari itu juga. Done! Akan tetapi kini aku merasakan keganjilan. Iya, jika Na’imah bisa menulis puisi seindah itu, kenapa aku tidak. Iya, aku harus menulis puisi seperti Na’imah. Namun dengan tema yang berbeda. Iya, jika Na’imah berhasil membahasakan kesedihan --karena sungai yang dulu tempatnya bercerita dan bercanda ria kini  menjadi sumber kesedihan--, maka aku akan mencoba mengungkapkan cinta yang kusembunyikan diam-diam selama ini kepada seorang gadis.
Tetapi siapa gerangan gadis yang bakal kuungkapkan cintaku kepadanya itu? Siapa? Aku bingung karena tak tahu harus menjawab apa. Selama ini belum ada gadis yang bisa kuelu-elukan sosoknya, kusebut-sebut namanya dalam diam, yang mengisi relung-relung hatiku. Tidak ada.
Tidak! Meskipun gadis itu belum ada wujudnya di dalam dunia nyata, aku harus tetap menulis puisi seperti Na’imah. Toh bukannya dulu aku pernah meminjam nama-nama asing yang mengisi puisiku. Lalu apa susahnya aku mencari nama yang indah sebagai sosok gadis yang menjadi tokoh utama di dalam puisiku. Aku tertawa cekikikan. Gampang!
Suara tilawah menjelang fajar sudah menggema di antero Kairo. Namun, hingga detik ini aku belum bisa menggoreskan satu bait pun. Tak terhitung sudah berapa lembar kertas yang berisi coretan-coretan hampa. Kepalaku mumet. Ingin rasanya berteriak sekeras-kerasnya agar kabut-kabut kelam yang menghalangi sinar inspirasi ini bisa beranjak dari tempatnya.
Selepas subuh, aku kembali berkutat dengan obsesiku ini. Kubuka-buka kumpulan puisi milik para penyair Arab klasik --seperti al-Mutanabbi, Ibnu al-Rumy, al-Ma’arry, dan lain-lain-- dengan harapan agar bisa memberikanku inspirasi. Namun tetap saja. Tanganku tetap dengan kekakuannya. Pikiranku tetap dengan kekosongannya. Khayalku tetap dengan kesempitannya. Dengan untaian letih yang menggerogoti sekujur tubuhku, akhirnya aku merebahkan badanku. Aku terkapar lemas lalu terlelap.
***
Tiga hari sudah pikiranku tersibukkan oleh puisi yang hendak kutulis ini. Celakanya, aku belum menemukan inspirasinya. Aku harus memulai puisinya bagaimana? Lalu memakai bahr apa? Kemudian harus menggunakan qafiyah apa? Isi puisinya seperti apa? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa kujawab. Akan tetapi ada hal yang  membuat semua pertanyaan di atas tak terjawabkan olehku adalah pertanyaan kepada siapa kuperuntukkan puisiku ini? Benar! Untuk siapa puisi ini?
Terpikirkan olehku jika puisi-puisi sebelumnya cukup menggunakan khayal karena hanya berkutat pada lukisan deskriptif sang perempuan. Terpikirkan olehku jika puisiku kali ini adalah pengungkapan cinta yang telah lama tersembunyi dan tak cukup menggunakan khayal saja. Aku harus menjadi orang yang benar-benar jatuh cinta. Benar-benar merasakan kerinduan yang mendalam saat berjauhan. Benar-benar merasakan perih yang membuncah karena tak kunjung kuasa mengungkapkan perasaan cinta yang sudah lama kupendam.
Aku pun akhirnya menyimpulkan bahwa puisi ini akan mendapatkan ruhnya, jika aku benar-benar jatuh cinta. Aku juga menyimpulkan bahwa ini hanya akan bisa terjadi, jika gadis yang kucintai diam-diam itu benar-benar eksis di alam nyata. Gadis yang membuatku terperangah saat menatap matanya. Gadis yang membuatku gigit jari karena sifat pemalunya. Gadis yang membuatku merasa paling spesial karena keramahannya.
Siapakah gadis itu wahai langit-langit kamarku? Siapakah kiranya dia wahai rak-rak buku yang mengelilingiku? Amboi! Kenapa kalian tak juga memberikanku jawaban?!
***
“Mau kemana, Bro?”
“Eh Ziad,” aku menoleh ke arahnya. “Ke PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia kairo). Ada tugas akhir tahun yang harus aku selesaikan sebelum ujian termin dua ini.”
“Oh.. Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan ya.”
Setelah tiba di PMIK, aku langsung menuju rak-rak tempat buku bahasa Arab berjejer rapi. Ketika aku sedang asyiknya mencari-cari buku rujukanku, secara tak sengaja mataku beradu pandang dengan mata seorang perempuan. Hanya sesaat. Secara refleks aku dengan sesegera mungkin mengalihkan pandanganku. Buku-buku yang tersusun rapi di depanku ini rupanya hanya menyisakan mata dan keningnya. Tak lebih. Aku pun kembali pada tujuanku, yaitu mencari buku yang kuinginkan. Aku tersenyum kecut. Apa peduliku dengan dia?
“Eh, ada Kak Muzanni,” tiba-tiba aku mendengar suara perempuan yang tidak asing bagiku. “Lagi nyari buku apa, Kak?”
“Aya?” aku menoleh ke arah kiri dengan sedikit gelagapan. “Lagi nyari bukunya Bintu al-Syathi nih. Tapi ngga ketemu-ketemu dari tadi.”
“Loh kok sama sih, Kak? Aku juga lagi nyari buku beliau yang berjudul al-I’jaz al-Bayani. Aku ada tugas dari kajian untuk meresensi buku itu. Kakak nyari buku yang sama juga?”
“Nggak, Ay. Saya lagi nyari Tafsir al-Bayani beliau yang jilid dua.”
“Buat apa, Kak?”
“Saya lagi bikin Bahts akhir tahun. Doanya ya, biar saya lulus S1 tahun ini.”
Aya mengangguk pelan. Lalu kembali sunyi. Aku tersibukkan oleh pencarianku. Begitu juga Aya. Karena buku yang kucari-cari tak kunjung ketemu, aku langsung pulang ke asrama dengan kekecewaanku.
Sambil tidur-tiduran, aku kembali mencari-cari cara agar aku bisa menyelesaikan puisiku tersebut. Dengan menghadirkan kembali rajutan peristiwa yang telah kualami hari ini, dari lubuk hati yang paling dalam, aku merasa bahwa puisiku ini bakal segera rampung. Iya, sosok itu adalah Aya.
Setahuku, sejak mengenal Aya lewat tulisan-tulisannya yang dimuat di Buletin IQRA’ milik kajian al-I’jaz, Aya adalah mahasiswi yang sangat open minded dan berwawasan luas. Bahkan setelah secara tidak sengaja aku berkenalan dengannya di sebuah acara seminar, Aya adalah sosok yang ramah dan enak diajak bicara. Tidak jarang aku mendengar celetukan-celetukan tentang dia.
“Jika ada perempuan yang paling idealis dan tegas layaknya prajurit khusus, maka itu adalah Aya,” kata salah seorang temanku.
“Tulisan-tulisan Aya di blognya itu simpel dan apa adanya. Saya suka tulisan seperti itu,” ujar temanku yang lain.
“Meskipun Aya tidak terkategorikan mahasiswi yang terkenal dengan dengan kecantikannya, namun ia justru selalu menjadi bahan pembicaraan kaum mahasiswa, khususnya mereka yang lebih senior dari dia,” celetuk Ziad.
Begitulah, Aya yang mungil itu ternyata menjadi primadona mahasiswa tingkat akhir di antero Kairo. Aku? Tidak! Sampai detik ini aku cenderung dingin dan biasa saja terhadap Aya. Aku tersibukkan oleh duniaku, yaitu dunia sastra, meskipun aku tak jarang mengikuti perkembangan pemikiran Islam modern. Dia? Sama sepertiku, tersibukkan oleh dunianya sendiri, yaitu dunia kajian dan organisasi. Aku tidak terlalu banyak tahu detailnya. Jika kami chatting, maka sekenanya saja. Dia yang terkadang lama membalas obrolanku, kuanggap biasa saja.
Pada titik ini, setelah aku menghadirkan semua hal yang berkaitan dengan mahasiswi tafsir tersebut. Aku semakin mantap untuk memilih dia sebagai sosok yang kucintai sedalamnya di dalam puisiku ini. Iya, aku kini mantap memilih Aya. Iya, kini Aya mulai menuliskan kisahnya di lembaran hidupku. Iya, Aya kini mulai menjadi trending topic di pikiranku. Jika untuk menjaga perasaan cinta ini tetap mekar, aku harus menyebut-nyebut namanya; akan kusebut namanya dalam diam, saat temaram, di tengah keributan, di mana dan kapan saja. Semua ini tak lain karena aku ingin all out dalam menuliskan puisiku ini.
Benar! Aku benar-benar tenggelam ke dalam dunianya Aya. Lalu lihatlah! Satu bait, dua bait, tiga bait, sepuluh bait, dua puluh bait. Done! Puisi ini telah selesai kugarap dalam kurun waktu dua hari. Girangnya bukan main. Aku sangat senang. Aku tak tahu tiba-tiba air mataku menetes bahagia. Allah!
***
Untuk menghindari kejadian yang tidak diharapkan, aku berpikir jika aku harus memberi tahu Aya terkait puisi, yang setiap baitnya mengelu-elukan namanya penuh takzim. Itu semua agar tidak terjadi kesalahpahaman suatu saat nanti antara aku dan dia. Tak ayal, aku segera bergegas menemuinya di PMIK. Mengapa di PMIK? Karena dia adalah pengunjung rutin perpustakaan sederhana tersebut. Benar saja, saat aku tiba di PMIK, dia sedang asyik membaca sambil berdiri di depan rak buku.
“Ay, boleh bicara sebentar?”
“Eh Kak Muzan. Ahlan,” jawab Aya dengan sedikit terperangah.
“Sebelumnya saya minta maaf karena ngeganggu Aya membaca.”
“Nyante aja kali, Kak,” ujarnya sambil tersenyum. “Mau ngomong apa? Kayaknya penting banget.”
“Begini, saya kan kemarin nulis puisi bahasa Arab dan saya memakai nama Aya di dalamnya. Tujuan saya hanyalah ingin memberi tahu Aya sekaligus meminta izin. Boleh nggak?” aku menyodorkan selembar kertas.
Setelah beberapa saat membaca puisiku, Aya kemudian menghela napas panjang, seakan-akan ia ingin mengatakan sesuatu.
“Di dalam puisi itu ada yang namanya Tajribah Syu’uriyyah, yang mana seorang penyair berlagak seperti orang yang jatuh cinta, padahal ia sendiri tidak jatuh cinta, seperti puisi saya ini,” aku terlebih dahulu bicara untuk mencairkan suasana. “Tenang saja, Ay! Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya meminjam nama Aya saja. Nggak lebih.”
“Bukan itu maksud saya, Kak.”
“Lalu?”
“Saya tidak mempermasalahkan apakah Kakak mau pakai nama saya atau siapapun,” ujar Aya penuh kehati-hatian. “Saya cuma nggak enak aja sama teman-teman terdekat saya, saat melihat nama saya menjadi judul puisi Kakak. Saran saya sih judulnya diganti aja pakai yang lain.”
“I..ya, gampang. Inysaallah nanti saya ganti,” aku terkekeh.
Keadaan kemudian menjadi senyap. Aya kembali membaca. Aku kembali ke asramaku. Pikiranku kini agak tenang. Aya tidak marah sedikitpun. Ia hanya memintaku untuk mengganti judulnya saja. Kejadian ini memang sudah kuprediksikan sebelumnya. Aya bukan sosok yang berpikiran sempit. Aku hanya memastikannya saja.
***
Ujian termin dua tinggal dua hari lagi. Namun bayangan Aya masih saja menghantuiku. Padahal sudah hampir sebulan aku merampungkan puisi tersebut. Bahkan semakin hari, semakin menjadi-jadi. Aku sendiri heran dengan diriku yang tak kunjung kuasa berlepas dari bayangan Aya. Tiap kali aku memandang jauh ke depan, pada saat itu juga kulihat Aya berdiri di kejauhan sana, seakan-akan ia sedang menungguku. Akibatnya, saat aku berjalan, aku lebih banyak merunduk ketimbang melihat ke depan atau menoleh kesana kemari.
Awalnya aku merasa bahwa kejadian semacam ini terkategori normal. Namun akhir-akhir ini aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku. Oh No! Wahai diriku, jangan bilang kalau aku benar-benar jatuh cinta pada Aya! Jangan bilang aku kini telah memendam perasaan diam-diam terhadapnya! Jangan bilang kalau sudah mulai tersenyum sendiri saat mengingat dia! Jangan bilang kalau bayangan raut wajah Aya yang kecewa, selalu hadir, jika aku bermalas-malasan!
Musim ujian kali ini pun jauh berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Jika sebelumnya aku menjalani ujian dengan santai tanpa beban, maka kali ini aku menjalaninya dengan rasa takut yang mendalam. Aku merasa selalu diawasi oleh bayangan Aya, yang mau tidak mau membuatku lebih serius dan lebih fokus. Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, ada semacam ketakutan. Iya, aku takut jika hasil ujianku nanti mengecewakan Aya. Aku takut jika nilai ujianku berada di bawah dia.
Ketika ujianku usai, berkelebat di pikiranku keinginan untuk mengetahui bagaimana kabar Aya, bagaimana ujiannya, apakah ujiannya sudah usai sepertiku, terus apa saja rencananya pas liburan musim panas ini. Dari sekian banyak pertanyaan di atas, ada satu pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan kepadanya. Iya, aku ingin tahu pendapatnya mengenai puisi yang kutuliskan untuknya itu.
Dengan sisa nyali yang masih ada pada diriku, aku mencoba memberanikan diri untuk mengirimi Aya pesan lewat jejaring sosial, menanyakan semua yang berkelebat di pikiranku. Hingga akhirnya aku menanyakan pendapat dia mengenai puisi yang kutulis untuk dia. Tahukah kamu apa jawaban Aya? Dia belum membaca puisinya. Saat kusodorkan kertas itu, dia hanya melihat namanya saja yang waktu itu menjadi judul puisi itu. Tak lebih. Kecewa? Iya, aku kecewa.
Aku berpikir bahwa Aya harus tahu, bagaimana susahnya menulis puisi yang menyebut-nyebut namanya tersebut. Aya harus tahu semua kejadian yang menimpaku saat menulis puisi tersebut. Tak ayal, aku menulis pesan yang lumayan panjang kepadanya, menceritakan bagaimana aku menyebut-nyebut namanya. Begitu juga dengan bayangannya yang terus menghantuiku setelah puisi itu kurampungkan.
Tahukah kamu bagaimana respons Aya? Iya, dia tidak membalas pesanku. Kurasa dia tersinggung karena aku yang mungkin terlalu blak-blakan saat menceritakan pengalamanku tersebut. Sedangkan aku? Tentu saja aku mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Kamu tentunya tahu bagaimana perasaan orang yang tersekat kerinduan, saat orang yang didambakannya diam seribu bahasa. Oh Aya, kenapa kamu diam?!
Sejak saat itu, aku semakin memikirkan gadis mungil itu. Begitu juga dengan bayangannya yang semakin menghantuiku. Kini aku benar-benar dirundung kegelisahan dan kebimbangan. Jauh di dalam hatiku, aku merasa bahwa aku terlalu berlebihan dengan obsesiku ini. Aku menyalahkan diriku, kenapa aku harus mengikutsertakan gadis tak berdosa itu ke dalam duniaku yang penuh dengan obsesi gila ini.
Namun tak selamanya Aya diam. Enam hari kemudian, aku mendapat pesan dari Aya.
“Wah, sepertinya belum ada sesuatu dari saya yang pantas menjadi inspirasi orang lain. Ala kulli hal, jazakallah khaira. Niat Kakak baik sekali.
Tapi maaf, saya agak kurang berkenan dengan penyampaian Kakak, karena itu membuat saya tidak nyaman. Padahal Kakak adalah seseorang yang sangat saya kagumi dan ingin saya hormati sebagai senior.
Afwan jika ada kata yang kurang berkenan.
O ya, saya bisa baca puisinya di mana ya, Kak?”
Dugaanku benar. Aya memang tersinggung. Bahkan sangat geram. Kata-kata setelah ‘padahal’ itu menunjukkan bahwa aku tak bernilai apa-apa lagi di mata gadis itu, sekaligus mencerminkan betapa dewasa dan tegasnya dia. Malu? Iya, aku sangat malu padanya. Kini aku merasa di titik nadir hidupku. Tahukah kamu bagaimana perihnya hati, saat orang yang kamu cintai dan dambakan, memandangmu sebelah mata?
Di tengah-tengah kesedihanku, aku berpikir bahwa Aya harus membaca puisi itu, agar ia tahu bahwa aku tidak main-main. Aya harus tahu bahwa semua yang tertera didalam puisi itu adalah kalimat jiwaku. Tak ada yang dibuat-buat.
“Aya mungkin nggak percaya dengan apa yang saya sampaikan di pesan saya sebelumnya. Tapi setelah anda baca puisi itu, you're gonna know the truth.
Ala kulli hal, saya memohon maaf yang sedalamnya atas pernyataan saya yang sebelumnya. Puisinya udah ada di blog. Saya baru posting dua hari yang lalu.”
Aya tak langsung membalas. Dan memang begitulah dia. Bedanya, kini aku selalu menantikan balasan dari dia. Aku selalu berharap ia menggerakkan jemarinya, meski hanya satu kata saja. Tapi nihil! Aya tak langsung membalas. Padahal ia sudah melihat pesannya sejak kukirimkan. Mungkinkah dia sedang membaca puisi itu? Ah, aku sama sekali tidak tahu.
Sehari kemudian, ia mengirimkan balasan.
“Saya sudah baca puisi itu di blog Kakak. Ternyata di luar dugaan saya. Dan ana mau langsung aja. Seandainya yang saya tangkap dari puisi Kakak itu benar, apa keinginan Kakak setelah saya tahu/baca?”
Jleb! Lagi-lagi aku dibuat tak berdaya oleh gadis ini. Meskipun begitu, aku sendiri sudah mempunyai jawaban dari pertanyaan Aya di atas. Iya, aku ingin Aya menjadi ibu dari anak-anakku. Itulah perkataan hati kecilku. Namun kini aku bingung, apakah aku menjawab seperti itu? Tentu tidak. Mana berani aku berkata demikian. Mengungkapkan perasaan secara langsung kepada perempuan adalah hal yang paling tabu di dalam hidupku. Lagian hal tersebut tentu mengganggu konsentrasi belajarnya. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah siapa tahu Aya sudah punya calon suami alias sudah bertunangan. Aku bimbang.
***
Dua minggu sudah berlalu, namun aku belum memberikan Aya jawaban. Aku benar-benar bimbang. Hari-hariku penuh dengan keraguan dan kekhawatiran. Ragu-ragu untuk menjawab, dan khawatir, apa yang bakal terjadi setelah aku menjawab pertanyaan Aya dengan jujur. Apakah Aya bakal membenciku, kemudian tak mau lagi mengenalku? Apakah perasaanku bakal ditolak mentah-mentah oleh dia? Jika pun diterima, lalu aku harus bagaimana? Apakah aku harus melamarnya?
Aku memang sudah memikirkan bahwa tak lama lagi aku bakal menikah. Itu semua karena aku ingin sekali mempunyai seorang titisan. Ada kerinduan yang begitu mendalam akan sosok keturunanku tersebut. Sayangnya, aku hanya memikirkan titisanku, namun lupa memikirkan siapa ibu yang bakal melahirkannya. Akibatnya, aku belum berpikir terlalu jauh untuk itu. Dalam pikiranku hanyalah keinginan untuk benar-benar menjadi manusia, dengan keberadaan titisanku di pangkuanku. Merasakan indahnya hidup dari keringat sendiri, tanpa bergantung kepada siapapun selain kasih sayang langit. Menyadari sekaligus merasakan betapa kerasnya penghidupan ini.
Iya, aku selalu memimpikan kehadiran titisanku. Mengkhayalkan suasana ketika kudapati fokusku hanya pada bagaimana agar ia tak seperti bapaknya yang hidupnya selalu bimbang dan setengah-setengah. Bagaimana agar ia tak bodoh dan sok pintar seperti bapaknya. Bagaimana agar ia tak menjadi pembangkang dan pengkritik seperti bapaknya.
Itulah salah satu pendorong mengapa aku harus menjawab pertanyaan Aya dengan jujur. Jujur bahwa aku ingin ia menjadi ibu dari anak-anakku. Jujur bahwa aku siap memenuhi semua persyaratan yang ia ajukan agar aku layak menjadi suaminya. Jujur bahwa aku akan memberikan segala yang kupunya untuk membuat ia bahagia dan bangga. Jujur bahwa aku ingin ia menjadi sosok ibu yang membuat mataku tertuju kepadanya, mengisi relung hatiku, membuat waktuku tertahan beberapa saat ketika menatap matanya.
Namun di sana ada hal yang menghalangiku untuk jujur. Iya, aku merasa bahwa aku hanya orang asing yang tidak tahu diri, karena mencoba memintanya menjadi pendampingku. Aku merasa bahwa aku sama sekali tak bernilai apa-apa di matanya. Aku merasa bahwa aku tidak mempunyai tempat di hatinya. Apalagi jika menyadari bahwa bahwa Aya selama ini tak pernah langsung membalas pesan-pesan yang kukirimkan kepadanya. Begitu juga dia yang begitu dingin saat aku bersua dengannya dalam berbagai kesempatan.
Setelah berpikir panjang, akhirnya aku memutuskan untuk diam hingga akhirnya. Aku berkeyakinan, bahwa cintaku kepada Aya adalah murni dari hatiku yang terdalam. Aku berkeyakinan bahwa cinta yang sejati, tidak butuh diungkapkan dengan kata-kata. Aku berkeyakinan bahwa cinta sejati adalah cinta yang diungkapkan dengan perbuatan nyata dan pengorbanan tulus.
Aku hanya ingin memperlihatkan kepada Aya, bahwa nama dan jiwanya selalu ada dalam setiap tulisan yang kugoreskan, dan keringat yang bercucuran saat menapaki kerasnya penghidupan. Karena dikatakan secara langsung atau tidak, bagiku itu tetap cinta. Aya, maafkan aku! Aku tak bisa memberi tahu kalau aku mencintaimu sedalamnya.

Islamic Missions City, 1 Juli 2014
Ahmad Satriawan Hariadi
  

Move On

Hidup dalam bayang-bayang kemurungan hanya akan membuat hari-hariku menjadi mati. Hidup dalam bayang-bayang kesedihan hanya akan membuat bunga-bunga harapan menjadi layu. Hidup dalam bayang-bayang pesimisme hanya akan menyisakan jasad tak bernyawa.
 
Begitulah akhirnya aku sadar, bahwa jika aku terus murung, sedih, dan pesimis; maka sebaiknya aku mundur saja dari pentas kehidupan ini. Aku juga sadar bahwa mulai saat ini, aku harus move on. Tidak sepantasnya aku terus-terusan meratapi kasih yang tak sampai itu. Tidak sepantasnya aku terus-terusan mengutuk keadaan yang tidak kunjung mau bersahabat denganku.

Bagiku, gadis itu adalah hadiah jiwa di penghujung masaku menimba ilmu di Al-Azhar. Karena setelah empat tahun keras membatu, hatiku akhirnya luluh juga oleh sosok yang berjiwa malaikat itu. Aku pun mulai optimis, bahwa pasak jiwaku kini telah berada di pelupuk mataku. Tetapi bagaimanapun optimisnya diriku, tetap saja roda hidup tak selamanya berjalan sesuai harapan. Karena di seberang sana, selain bingung dengan perasaannya sendiri, hati si gadis masih tetap dingin membeku.

Masa depan boleh saja menyatukanku dengan gadis asing pilihan Mamak dan Bapak. Masa depan bisa saja mengikatku dengan gadis yang eksistensinya masih disembunyikan takdir. Namun masa depan tetap tidak akan pernah punya kuasa atas hatiku. Tetap tidak akan pernah punya kuasa atas perasaanku. Iya, hati dan perasaanku telah dimiliki oleh gadis itu.

Aku tidak peduli dengan cinta satu arah ini. Aku tidak peduli dengan apapun yang dia katakan kepadaku. Aku tidak peduli dengan sikap dan penilaiannya terhadapku. Aku hanya tahu, setiap kali aku merindukan dia, aku selalu menengadah ke langit, sembari berdoa agar ia selalu tenang, damai, dan semangat menggapai mimpinya. Aku hanya tahu, setiap kali aku melihat bayangannya hadir di benakku, hatiku selalu berdesir, “Tuhan, jangan jadikan aku sebagai penghalang jalannya menuju-Mu.” Aku hanya tahu, bahwa aku merasa bahagia dan tenang, saat aku tahu bahwa ia baik-baik saja.

Kamu mungkin mengatakan bahwa Setan telah berhasil mempermainkan hati dan perasaanku. Kamu mungkin berasumsi bahwa Setan telah menyihir pandanganku, hingga  kawah dosa pun berubah menjadi taman ibadah di mataku. Namun aku tetap tidak peduli. Itu semua karena aku tahu sepenuhnya, bahwa hawa nafsuku sama sekali tidak mempunyai tempat di sini. Jika langkah ini terdikte oleh nafsuku, sudah tentu kamu melihatku sebagai sosok yang paling egois. Tapi nyatanya hatiku selalu condong untuk mengalah untuk kebaikan dia, dan menerima sepenuhnya semua keputusan yang dia ambil, meskipun harus menyisakan perih hingga akhir hayatku.

Bagaimanapun juga, gadis itu telah menuliskan kisahnya di hatiku. Lalu aku akan menjadi sangat naif jika terus bersikukuh untuk melupakannya. Bagaimana mungkin aku sanggup melupakan orang yang telah terkubur di dadaku. Dia akan selalu ada di manapun aku menginjakkan kaki, bahkan sampai menutup mata.

Namun tahukah kamu apa yang lebih naif dari yang di atas? Iya, aku akan seribu kali lebih naif, jika terus menerus murung, bersedih, dan pesimis. Aku harus yakin bahwa hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik untuk hidupku sepenuhnya. Aku tidak boleh berputus asa karena keadaanku yang begitu menyedihkan ini. Karena hanya orang-orang yang tidak percaya Tuhan-lah yang berputus asa dari rahmat-Nya.

Akhirnya aku pun harus yakin bahwa aku harus tetap bernapas, harus tetap bergerak, dan harus tetap berusaha menggapai mimpiku. []


Islamic Missions City, 14 Juli 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Kasih Tak Sampai

Fajar merekah dengan berbagai untaian ketenangan di dalamnya. Saat hamba-hamba Tuhan bersimpuh dalam ketundukan dan pengabdian, di dalam sebuah ruangan kecil, ada seorang yang dirundung duka dan perih. Ia sangat sedih saat orang yang begitu dicintainya mengatakan kepadanya bahwa ia sama sekali tak mempunyai tempat di hatinya.

Ia begitu ingat bagaimana --beberapa pekan terakhir ini-- pikiran dan jiwanya tersekat di dalam ruang yang bernama cinta. Iya, dia mencintai gadis itu dengan seluruh yang ada pada dirinya. Hembusan napasnya, langkah kakinya, pandangan matanya, goresan tangannya, ruang pikirannya, relung hatinya; semuanya menyebut-nyebut nama gadis yang dicintainya.

Ia telah menempuh berbagai upaya agar sang gadis bisa melihat riak-riak harapan yang ada di pelupuk matanya. Agar sang gadis bisa menangkap getaran jiwa yang dipancarkan oleh tatapan matanya. Agar sang gadis bisa mengajak hatinya untuk membaca untaian ketulusan dan pengorbanan, agar sang gadis percaya bahwa ia tidak main-main.

Ia sebelumnya begitu bahagia karena langit berkenan membukakan pintu cinta di dalam hatinya. Jauh sebelum itu, ia selalu bertanya-tanya, mengapa dirinya belum juga merasakan bagaimana indahnya tersekat cinta dan rindu. Mengapa belum juga ada gadis yang mampu mengambil hatinya, padahal tak terhitung, sudah berapa gadis yang datang menyatakan perasaannya secara langsung maupun tidak langsung.

Iya, ia begitu bahagia, karena mulai saat ini, ia tidak akan mendengar ejekan dari sahabat-sahabatnya karena tak kunjung menemukan belahan jiwanya. Ia begitu bahagia karena ibunya tidak lagi mencemaskan dirinya, karena kesendirian yang begitu betah menemaninya selama ini. Ia begitu bahagia, karena mulai saat ini, ia bakal benar-benar menjadi seorang laki-laki.

Namun apa yang terjadi? Idealisme gadis itu telah menelapkan riak harapan yang ada di pelupuk matanya. Idealisme gadis itu telah merobohkan taman mimpinya. Ia begitu tak berdaya saat ia tahu bahwa ia sama sekali tak mempunyai tempat di hati sang gadis.

Kebahagian sesaat yang ia rasakan --setelah ia tahu bahwa ia kini bisa jatuh cinta-- harus dibalas dengan kepedihan tak berujung. “Mengapa barus sekarang?” ia menggerutu. “Mengapa kamu harus mengulur-ulur waktu, hingga ketika hati ini benar-benar berharap, kamu pada akhirnya mengatakan bahwa aku hanya orang asing yang tak pantas mendapatkan tempat di hatimu?”

Ia terus melantunkan kalimat-kalimat di atas bersama air mata yang tak berhenti menetes. Dengan isakan yang terengah-engah, ia melangkah kakinya menuju atap rumah. Ia kemudian duduk terpaku sembari melihat jauh ke arah bulan yang hampir penuh.

“Wahai Bulan,” ujarnya. “Kamu begitu indah terlihat di kejauhan sana, menemani kesunyian malam dengan cahaya lembutmu. Namun siapa yang menyangka jika kau begitu menderita, karena kau hanyalah bongkahan tanah gersang yang memuakkan. Begitu juga aku. Orang-orang akan melihatku penuh senyuman saat bertatap muka dengan mereka. Namun mereka tidak tahu kalau jauh di lubuk hatiku, ada pedih yang menyayat dan derita yang membunuh.”

Yamhullah ma yasyaa’..!


Fajar 13 Ramadan 1435 H
Ahmad Satriawan Hariadi

Memusuhi 'Diam'

Aku tidak tahu, sudah berapa kali aku membaca dan mendengar berbagai seruan untuk lebih banyak diam, dalam menapakai alur kehidupan yang seringkali tak terprediksikan ini. Jika bicara adalah perak, maka diam adalah emas. Diam adalah tanda utama dari pemahaman yang dalam dan kepala yang berlimpahkan pengetahuan. Begitu juga dengan hikmah yang lainnya tentang diam.

Aku yang membaca ataupun mendengar tentang keajaiban diam dalam hidup; hanya bisa terkesima dalam anggukan kepalaku. Apalagi jika kamu tahu, kalau aku adalah orang yang paling cepat terprovokasi oleh kalimat-kalimat sihir yang maknanya terkadang lebih luas dan lebih dalam dari Lautan Teduh.

Namun kali ini aku tidak lagi mengelu-elukan 'diam', tak lagi terkesima olehnya, tak lagi jejak-jejak kehidupanku terdikte olehnya. Kini bagiku 'diam' tak hanya kata usang yang kehilangan esensinya, melainkan telah menjadi musuh bebuyutanku. Jika kamu ingin tahu bagaimana aku memusuhi 'diam', lihatlah bagaimana setan memusuhi manusia, hingga bukan hanya sekali dua kali Tuhan mengingatkan manusia bahwa setan adalah musuhnya yang amat nyata.

Kamu tentunya tahu bagaimana dahsyatnya permusuhan yang tidak pernah mengenal kata akhir itu, saat Allah mengisahkan bagaimana jawaban setan setelah ia diberi keleluasaan untuk untuk mengenyam kehidupan hingga hari kiamat. Setan menjawab, "Sebagaimana Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian akan kudatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Lalu Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka yang bersyukur." Atau teguran Allah terhadap bapak kita Adam, setelah ia tertipudaya oleh Setan, "Bukankah Aku telah melarang kalian berdua untuk mendekati pohon itu dan mengatakan bahwa Setan adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua?!"

Kamu mungkin bertanya kenapa diam yang sebelumnya sangat kukagumi, tiba-tiba menjadi musuh nomor wahid bagiku. Iya, aku memusuhi diam sejadi-jadinya karena ia telah menyiksaku begitu pedih, mengacak-acak perasaanku, dan membuat hidupku terluntai-luntai di tengah kerumunan manusia. 'Diam' begitu kasar kepadaku karena aku sedang tersekat di dalam ruangan yang bernama rindu.  

Wahai 'diam', kenapa kamu harus ada?! Kenapa kamu tidak lenyap saja dari pentas kehidupan ini?! Aku sungguh membencimu. Kenapa kamu selalu ada saat manusia belajar merindui kekasihnya?! Toh bukan manusia yang meminta rindu itu untuk menemaninya di  perapian. Akupun mulai berandai-andai, jika saja manusia tidak mengenal kata diam. Namun itu tentu saja tidak mungkin terjadi. Bodoh sekali aku ini! O 'diam', I really hate you!

Meskipun aku begitu membenci 'diam', aku tak menampik jika di balik diamnya dirimu, ada makna yang hanya bisa dijelaskan lewat diam. Iya, hanya diam dan diam. Tak ada yang lain. Kalau begitu, tetaplah diam, sayangku. Diam hingga akhirnya. 


Islamic Missions City, 18 Juni 2014

Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India