Gegabah dalam Kehidupan Ilmiah (!)

Tidak ada yang lebih disayangkan dari kehidupan ilmiah seseorang, selain ketika ia terjebak di dalam kungkungan, yang menyebabkan ia tidak kuasa untuk menilik pendapat-pendapat yang lain, lalu melakukan komparasi antara pendapat-pendapat yang berseberangan, hingga akhirnya keluar dengan kesimpulan yang adil dan objektif.

Namun apa daya, orang-orang semacam ini hanya melihat satu pendapat (atau jika ia lebih terbuka sedikit, maka hanya terfokus pada satu pendapat di antara pendapat-pendapat yang ada di depannya); sehingga tanpa berpikir panjang, ia dengan begitu tergesanya menjustifikasi, lalu mendiskreditkan, bahkan jika perlu mengkafirkan.

Penyakit semacam ini biasanya mewabah dikalangan para pemula, karena naluri ketergesaan yang didorong oleh semangat yang berapi-api. Atau bisa juga mewabah di kalangan para tetua, karena naluri fanatis yang berawal dari akal yang stagnan dan mata yang tertutup. Atas dasar inilah mengapa kita seringkali mendapati beberapa pelajar yang masih ‘ingusan’, dengan mudahnya mendiskreditkan orang-orang besar dari para ulama maupun pemikir.

Di antara ulama dan pemikir yang seenaknya didiskreditkan oleh orang di atas adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghany dan Syeikh Muhammad Abduh. Kita harus akui bahwa ada beberapa ‘ketimpangan’ yang membuat kita bertanya-tanya atau bahkan gigit jari, di dalam kehidupan ilmiah, sosial, dan politik mereka berdua.

Dan ketimpangan semacam ini di dalam kehidupan orang-orang besar dari para ulama maupun pemikir; merupakan hal yang yang lumrah. Sehingga --mengutip perkataan Dr. Muhammad Ramadan Al-Buty ketika membuka pembahasannya mengenai Sayyid Jamaluddin Al-Afghany-- akan jarang kita temukan sosok yang aktivitasnya melintasi sebuah negara dengan karakter pergerakannya yang bertaraf internasional; yang tidak lepas dari beberapa ‘ketimpangan’ di dalam perjalanan hidupnya.

Namun apakah ketimpangan ini akan membuat kita menutup mata terhadap hal-hal besar yang mereka persembahkan untuk agama dan umat? Apakah ketimpangan ini akan membuat kita memandang rendah mereka? Apakah ketimpangan ini akan membuat kita yang masih ‘ingusan’ dan ‘kerdil’ ini merasa sejajar dengan mereka? Apakah sikap kritis seorang ulama terhadap mereka bisa melegitimasi kita untuk merendahkan mereka?

Jika orang di atas mencoba untuk lebih teliti dan lebih sabar terhadap dirinya sendiri, ia akan mendapati Syeikh Al-Buty di dalam buku “Syakhsiyat Istauqafatni”, mengajarinya bagaimana sikap kritis, namun senantiasa menjaga adab, bagaimanapun rupa atau bentuk ketimpangan yang ia dapati, saat membaca perjalanan hidup para pemikir maupun ulama.

Namun sebagaimana karakter para pemula, yang baru membaca beberapa buku, lalu merasa sudah di atas angin; kata-kata orang di atas mengisyaratkan bahwa ia seakan lebih alim, lebih fakih, dan lebih kritis dari Sayyid Jamaluddin Al-Afghany, Syeikh Muhammad Abduh, dan Dr. Muhammad Imarah.

Bahkan jika orang di atas lebih kritis lagi dengan tidak terpaku pada satu sumber, ia tentu akan meragukan perkataan Dr. Al-Buty ketika menjelaskan bahwa Syeikh Muhammad Abduh tidak lagi berada pada ‘rel kebenaran’ setelah beliau berguru pada Al-Afghany, sembari terheran, bagaimana mungkin kita membela orang yang suratnya kepada Al-Afghany penuh dengan ‘kekufuran’.

Mengapa?

Karena semua buku-buku Syeikh Muhammad Abduh yang terkenal dan diakui validitas berikut kualitasnya, semisal Risalah Tauhid, Tafsir Juz Amma, dan Al-Islam wan Nasraniyah; ditulis setelah beliau pulang dari pengasingan. Karena Syeikh Muhammad Abduh benar-benar memulai kehidupan ilmiahnya dalam menelurkan semua karyanya dan mendidik murid-murid yang nantinya bakal menjadi para Pemimpin dan Grand Syeikh (seperti Saad Zaghlul, Syeikh al-Maraghy dan Syeikh Mustafa Abdul Raziq) dan melakukan reformasi multidimensional di Al-Azhar; setelah beliau kembali dari pengasingan.

Artinya apa? Kita seyogianya tak langsung membenarkan begitu saja, ketika Syeikh Al-Buty mengatakan demikian, meskipun kita tetap yakin bahwa ketimpangan-ketimpangan --seperti beberapa fatwa ataupun surat-surat beliau kepada Al-Afghany, sebagaimana dicontohkan Dr. Al-Buty-- akan selalu ada di dalam perjalanan hidup Syeikh Muhammad Abduh.

Apalagi jika kita tahu, kalau faktanya Syaikh Muhammad Abduh belum pernah berfatwa ataupun menulis buku, sebelum bertemu dengan al-Afghany. Jika adanya demikian, bagaimana mungkin kita bisa menjustifikasi bahwa fatwa dan tulisan Syeikh Muhammad Abduh sebelum bertemu dengan Al-Afghany seluruhnya benar, atau berada di atas rel kebenaran; sementara instrumen untuk menjustifikasi tidak ada?!

Lalu kita akan dibuat terheran dan tidak habis pikir oleh orang di atas, saat dengan santainya mengatakan, “Dr. Muhammad Imarah sudah mencoba mengadakan pembelaan terhadap Jamaluddin Al-Afghany di dalam kitabnya tentang Al-Afghany. Hanya saja, menurut saya, pembelaan itu hanya tafalsuf belaka.”

Mengapa? Karena dari pemaparannya saja, kita berani berkesimpulan kalau orang tersebut belum pernah membaca buku Dr. Imarah yang ia maksudkan. Dengan kata lain, ia mendengar tentang buku ini dari orang lain. Jikapun ia pernah membacanya, maka bisa dipastikan bahwa ketika ia membaca buku ini, akal dan pikirannya entah kemana, sehingga tidak sanggup meraba titik jangkau kenapa buku ini ditulis.

Jikapun ia pernah membacanya, tentu ia akan bisa membedakan antara tahqiq (penelitian) dan tafalsuf (berfilsafat), saat Dr. Imarah menghabiskan 29 halaman untuk melakukan tahqiq terhadap asal usul Al-Afghany dari 80 halaman yang dikhusukan untuk Bitaqah Hayah. Jikapun ia pernah membacanya, ia tidak akan begitu saja mengatakan Dr. Imarah sudah mencoba mengadakan pembelaan. Mengapa? Karena tujuan buku ini ditulis adalah untuk memaparkan ide dan gagasan reformis Al-Afghany, berikut beberapa pengalaman Al-Afghany di dalam pergerakan politiknya. []


Hay Sabie, 10 Oktober 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Cerita Kebersamaan

Cerita itu bermula dari halte tua
di alun-alun yang kini ringkih tak terurus
Ingatkah kamu perahu lusuh
yang kemudian kita naiki bersama?
Menyisir gemercik ketenangan sungai Nil saat senjakala
Mengisi untaian detik dengan kelakar-kelakar ringan
hingga akhirnya kita menyadari
bahwa yang berinteraksi bukan hanya tatapan kita,
bukan hanya napas kita,
bukan hanya raga kita.

Lihatlah!
Lihatlah jiwa kita yang kini mulai saling memahami!
Lihatlah makna-makna yang dipancarkan aura kita ini
mulai berbicara dalam diam,
mulai berbisik dalam harap,
mulai bersimpuh dalam doa!

Lihatlah ruh kita mulai berlepas
dari jasad kita yang kaku,
lalu berterbangan di langit ketulusan
lalu ikut berlarian bersama awan pengorbanan!

Lihatlah bagaimana kata-kata begitu iri dengan kita berdua
karena tak kuasa
melukiskan suasana langit yang menyelimuti kita ini!

Biarlah jiwa kita yang berbicara,
memahamkan kita bahwa kebersamaan dan keakraban ini
sama sekali tak membutuhkan kata-kata
untuk menjelaskan siapa keduanya,
sama sekali tak membutuhkan istilah
untuk membuat ia tak lekang oleh waktu.

Biarlah diam ini sebagai bukti,
bahwa ruh kita ingin terus bersama
dan selalu akrab hingga akhirnya.

Biarlah ketidakpastian ini sebagai tanda,
bahwa kita tak mau tertipu oleh kata-kata
yang seringkali membuat dua menusia berjauhan,
lalu tersekat dalam ambigunya sebuah jalinan.


Senin, 6 Oktober 2014, pukul 01.54 dini hari
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India