Maafkan Aku, Rumahku!

Rumahku, rupanya aku terlalu lama meninggalkanmu seorang diri. Aku tidak tahu sudah berapa purnama yang berlalu, sedang di sana kau termangu sendiri, melawan sepi dan diam.
Tak ada lagi kau dengar jeritan hatiku, kecewa jiwaku, dan sesal perasaanku. Tak ada lagi kau iringi diriku serta mimpi-mimpi besarnya, ataukah jiwaku berikut cekikikan dan tangisnya, ataukah cintaku bersama harapan-harapannya yang pupus.
Lihatlah, Rumahku! Aku kembali lagi, namun bukan seperti yang dulu. Kali ini aku kembali dalam keadaan tertawan oleh kebohongan di atas kebohongan, dan kemunafikan di atas kemunafikan. Kali ini aku kembali, sementara jiwaku terjajah hasratku yang bodoh dan tolol, hingga aku berharikan sesal sampai mati.
Maafkan aku, Rumahku! Aku bukan lagi penantang hidup yang dulu selalu kau elu-elukan. Aku bukan lagi pemilik idealis yang siap menggulingkan tirani dan kesengsaraan. Aku bukan lagi penyair yang kuasa menjadikan angin menanyikan senandung ketenangan, ataukah menjadikan terik sahara menyanyikan alunan ketegaran.

Islamic Missions City, 23 Oktober 2015
Ahmad Satriawan Hariadi 

BEBAL

kucingku tak lagi memenuhi ajakanku
mengenyahkan isyaratku
saat ia mendapatiku telah mempermainkannya dengan isyarat palsuku

burung-burung itu kini selalu menjauh ketika melihat kedatanganku
terbirit ketakutan..
karena pernah mencoba menangkapnya dalam diam

adik kecilku tak mau lagi bersamaku
ia lebih memilih dekapan orang lain yang bahkan sama sekali tak ia kenal
sebab ia pernah merasakan sakitnya dibentak-bentak penuh kasar

namun ada apa dengan aku yang semakin matang dan dewasa ini?
aku tidak kunjung juga belajar dari pahitnya kegagalan
aku masih saja bebal
meski sudah berulang kali..
dikhianati sikap menunda
dikecewakan kemalasan
dipermainkan perempuan
dan diperbudak harapan kosong


Fustat, 2 Juli 2015
Ahmad Satriawan Hariadi

USAI

Aku belum pernah merasakan ketenangan batin dan kebahagiaan jiwa seperti hari ini. Perjalanan bersama Elok hari ini memang singkat. Namun, tahukah kamu, jika itu adalah akhir dari segalanya. Aku tidak lagi tersekat dalam pahitnya dendam. Aku tak lagi terpasung dalam kubangan pertanyaan yang menyayat jiwa dan membuat ragu-ragu langkahku.

Terima kasih, Elok. Mulai hari ini, kisah usang ini pun menemui akhirnya. Iya, sejatinya kisah ini sudah tertelan waktu sejak lama. Lebih dari setahun yang lalu. Bahkan aku sendiri pun tidak sempat untuk memikirkannya lagi. Sehingga wajar sekali, kalau aku meminta waktu sama Elok untuk mengumpulkan ingatanku lagi terkait kisah usang ini.

Sebetulnya aku, tadi itu, hanya menyelesaikan permasalahan lama dengan cara dewasa dan santun. Tujuanku hanya mencari jawaban dari apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata masalah ini begitu simpel. Ketika aku mendengar jawaban Elok, aku rasa tidak ada lagi yang perlu dipendam untuk menjadi dendam. Tidak perlu lagi langkahku tertatih-tatih penuh ragu sembari membawa kesal.

Kini aku menjalani kisah yang, tidak pernah terbesit dalam khayalku, akan seunik dan seindah ini. Aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya begitu dicintai dan diperhatikan. Bagaimana rasanya diterima apa adanya. Ia sama sekali tidak peduli dengan kekanakan maupun ke-cengengesan-ku ini. Yang ia tahu, adalah bagaimana membesarkan hatiku, agar aku selalu semangat menggapai mimpi-mimpiku. Kini aku merasa tidak lagi punya tujuan, selain melanjutkan rajutan tawa dan harap itu, di bawah naungan langit. Terima kasih, Sayang! Aku akan pergi ke tanah biru untukmu. Hanya untukmu!


Islamic Missions City, 27 Juli 2015
Ahmad Satriawan Hariadi

Menelaah Buku al-Haqq al-Mubin, Milik Dr. Osama Sayyid Azhary [Pengantar]

Kali ini, biarkanlah saya menyampaikan isi pikiran saya mengenai buku al-Haqq al-Mubin, milik guru saya, Dr. Osama al-Azhary. Apapun bentuk tanggapan saya terhadap buku ini, tidak lain merupakan cerminan dari kebenaran yang saya dapati, lalu saya yakini sepenuh hati
.
Tidak peduli, apakah tanggapan ini berupa ketidaksepakatan sehingga berubah menjadi kritik; ataukah berupa sikap sependapat sehingga berubah menjadi pujian. Hal ini karena keyakinan saya yang mendalam, bahwa kebenaran, tidak lain merupakan hulu dan hilir kehidupan ilmiah seorang mukmin yang berakal sehat.

Dengan begitu, tidak ada lagi celah bagi siapapun untuk mengatakan, bahwa sikap sependapat saya adalah bentuk fanatisme saya terhadap Al-Azhar, atau cinta buta terhadap Dr. Osama khususnya. Begitu juga halnya ketika saya tidak sepakat dengan Dr. Osama, akan menciptakan benang merah antara saya dengan pihak yang dibabat habis oleh buku Dr. Osama; yaitu Jemaah Ikhwanul Muslimin, atau Sayyid Qutb khususnya. Sama sekali tidak ada. Sebab kebenaran yang saya yakini, jauh lebih agung dan lebih besar ketimbang kecintaan maupun kebencian saya terhadap siapapun.

Dalam hal ini, saya sepenuhnya sepakat dengan Abu Hayyan al-Tauhidy di dalam bukuya al-Basha’ir wa al-Dzakha’ir (1953:9), ketika ia mengatakan, “Kebenaran tidak manut kepada sesuatu, tapi segala sesuatu manut padanya. Kebenaran tidak ditolok ukur dengan sesuatu, tapi segala sesuatu ditolok ukur dengan kebenaran.”     

Kembali lagi ke Buku al-Haqq al-Mubin. Iya, buku tersebut sudah selesai saya baca sejak satu setengah bulan yang lalu. Sebuah buku yang saya baca secara teliti dan dalam. Menelaah ulang, secara detail, buku-buku yang dijadikan rujukan dan sandaran oleh Dr. Osama untuk menjustifikasi Sayyid Qutb dan pemikiran-pemikirannya. Membandingkan model interpretasi --salah satunya ayat ‘tamkin’-- ala Dr. Osama, dengan penafsiran para ulama.

Merenungkan secara dalam, ketika Dr. Osama mengatakan bahwa Al-Azhar tidak memonopoli hak interpretasi dan penggunaan teks-teks keagamaan. Berpikir keras, saat apa yang dikatakannya barusan ternyata tidak sejalan, ketika kita melihat realitas dan tataran praktisnya pada setiap pembahasan buku tersebut.

Berusaha sekuat mungkin menahan diri, saat melihat apa yang terjadi dan terpampang secara gamblang adalah Al-Azhar --atau lebih tepatnya Dr. Osama--; benar-benar merajalela dengan interpretasi dan keabsahan metodologinya, terlebih ketika ia menafsirkan ayat ‘tamkin’ pada Surat Yusuf.

Apalagi jika kita mencermati penegasan yang lebih dari biasanya, terkait metodologi, yang menurutnya, satu fondasi --bahkan satu kesatuan-- dengan metodologi para ulama Islam dalam bergelut dengan teks-teks keagamaan. Hal ini, menurut saya, bertujuan untuk mematenkan kapasitas penulis buku tersebut, sekaligus mematahkan argumen yang tidak sepaham dengan dia.

Jadi, logikanya, jika Anda menyalahkan pendapat, interpretasi teks-teks keagamaan, dan metodologi dia; maka Anda, secara otomatis, telah menyalahkan ulama-ulama Islam, berikut metodologi mereka, terkait hal-hal tersebut.

Kemudian ada hal yang ingin saya tegaskan, bahwa diskursus-diskursus yang ada di dalam buku ini seperti al-Hakimiyah, Takfir, Jahiliyah Modern, Jihad, Nasionalisme, dan lain-lain; bukan hal baru yang pertama kali diteliti secara komprehensif oleh Dr. Osama. Sama sekali bukan. Sebab sebelum buku ini terbit, telah ada puluhan buku milik para ulama dan peneliti, yang membahas setiap diskursus di atas, secara apik dan detail dalam satu karya tulis.

Jika Anda tidak percaya, silakan baca buku al-Daulah al-Islamiyah, milik Dr. Muhammad Imarah, misalnya, untuk pembahasan al-Hakimiyah; atau buku Hal al-Islam Huwa al-Hall?, milik Dr. Imarah juga, untuk pembahasan Nasionalisme; atau buku al-Jihad fi al-Islam, milik Dr. Ramadhan al-Buthi; atau buku Ibnu al-Qaryah wa al-Kuttab jilid ketiga milik Dr. Yusuf al-Qaradhawi, yang banyak dirujuk oleh Dr. Osama, saat membabat habis ‘pemikiran menyimpang’ Sayyid Qutb, berikut mendiskreditkan kapasitas keilmuannya; dan masih banyak lagi selain buku-buku yang saya sebutkan tadi.

Jadi, karena pembahasan-pembahasan buku ini sudah dibahas secara lebih apik dan lebih detail oleh para ulama dan peneliti, saya melihat buku al-Haqq al-Mubin ini lebih condong pada penegasan eksistensi Al-Azhar sebagai penjaga Islam dan Ilmu-Ilmu keislaman, dan pengukuhan keabsahan metodologi interpretasi teks-teks keagamaan ala Al-Azhar, atau lebih tepatnya ala Dr. Osama Azhary.

[Bersambung]


Islamic Missions City, 14 April 2015

Ahmad Satriawan Hariadi

MASIH

delapan purnama tertinggal waktu
memulai kembali langkah-langkah baru
setapak dua tapak dalam tatih
hingga akhirnya apa yang nampak jauh terbawa detik
saat aku tak kuasa lagi mengurai cerita tak berakhir
apalagi untuk sekedar menolehkan muka ke sana
iya, hanya apa yang terlihat saja


Islamic Missions City, 11 April 2015, pukul 23.50
Ahmad Satriawan Hariadi

Sisa-Sisa Harapan

ada sisa-sisa harapan yang berserakan
sedang waktu telah lama pergi
meski semua tak lagi sunyi
meski aku telah berlari
bahkan terlampau jauh dari biasa
jauh sekali..

ada langit yang tak lelah menangiskan gerimis
menemani napas dan darahku
lalu perlahan menghibur kusut hati
sejenak kemudian menawarkan senyuman

ada apa dengan sisa-sisa harapan usang ini?
bukankah semua telah lama membusuk lalu tak berjejak?
duhai, ternyata jiwaku ikut berpaut bersama busukan itu


Islamic Missions City, 10 April 2015, pukul 23.45

Ahmad Satriawan Hariadi

Ketika Kata Serapan dan Istilah Ilmiah Menjadi Topeng

Saya pernah memuat ulang artikel Ahmad Amin di Buletin Al-Thayf, edisi Februari 2014, yang berjudul “Adab al-Lafz wa Adab Al-Ma'na”. Pada artikel yang dimuat pada tahun 1935 tersebut, Ahmad Amin mengamini, kalau kedalaman dan keluasan makna harus dijadikan prioritas utama, sedangkan kata-kata adalah sarana yang digunakan untuk memindahkan makna dari penulis kepada pembaca.

Kemudian ada satu hal yang ingin saya tegaskan, bahwa sebuah tulisan, bisa dan berhak disebut tulisan ilmiah, jika tulisan tersebut yang menggunakan proses berpikir ilmiah dalam pembahasan pokok masalahnya. Iya, proses berpikir ilmiah yang dimulai dari identifikasi masalah kemudian membatasinya, menyusun hipotesis kemudian mengujinya, hingga akhirnya menarik kesimpulan.

Bukan tulisan yang penuh dengan kata-kata serapan yang seringkali kita sebut dengan “kata-kata ilmiah”, namun kosong dari pemikiran yang dalam dan analisis yang tajam. Bukan juga tulisan yang penuh dengan istilah-istilah ilmiah, namun tidak ada hal baru yang bisa dikemukakan selain memindahkan atau mengalihbahasakan pemikiran orang lain.

Kemudian Anda, jangan sampai terpedaya oleh mindset yang mengatakan bahwa sebuah tulisan, baru dan bisa terkategori keren dan berbobot, jika tulisan Anda penuh dengan kata-kata serapan dan istilah-istilah ilmiah. Memang, warna dan corak bahasa Anda mecerminkan wawasan dan kapasitas Anda. Namun tetap saja, Anda tidak jauh beda dengan fakir miskin yang mengenakan setelan jas bagus, biar disangka orang kaya. Namun sejatinya tidak bisa mencukupi dirinya sendiri, apalagi untuk berbagi kepada orang lain.  

Tidak hanya itu, sikap berlebihan di dalam ‘memolesi’ tulisan dengan kata-kata serapan dan istilah-istilah ilmiah, bisa saja mengaburkan maksud yang diinginkan penulis, bahkan bisa menimbulkan pemahaman yang berseberangan.

Berangkat dari situ, saya pun akhirnya mulai curiga dengan iklim ilmiah kita yang lebih mementingkan penampilan ketimbang kualitas berpikir dan ketajaman analisis. Apakah otak kita memang benar-benar sudah tidak bisa diandalkan sehingga kita lebih memilih menyembunyikan kebobrokan berpikir kita di balik kata-kata serapan dan istilah-istilah ilmiah tersebut?

Saya teringat kalau ada perkataan Anis Mansur yang sangat menyentuh, yang kemudian saya jadikan pegangan, saat membaca bukunya “Asyu fi Hayati”, musim panas tahun lalu. Ia mengatakan, “Aku akhirnya menyadari kalau memiliki bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti itu bukan hal yang gampang. Seseorang, tidak akan bisa menulis dengan mudah, kecuali jika ia sudah paham. Kemudian ia tidak akan bisa memindahkan pemahamannya kepada orang lain dengan mudah, kecuali jika ia telah berlatih agar memiliki bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Bukan sehari dua hari, namun butuh kerja esktra keras dan waktu yang sangat lama untuk itu. Sejak dulu, aku selalu berkeinginan untuk memiliki bahasa sederhana, jelas dan menawan. Bahkan hingga saat ini.”

Benarkah tulisan kita yang kebanjiran kata-kata serapan dan istilah-istilah ilmiah tersebut adalah indikasi lemahnya pemahaman dan miskinnya inovasi di dalam diri kita? Semoga saja tidak.


Islamic Missions City, 28 Februari 2015

Ahmad Satriawan Hariadi 

Jalan Keabadian

ada masanya..
ketika tujuan tak lagi tertuju
saat apa yang dirasa
mencipta sesal tiada akhir
saat apa yang diinginkan
berujung ratapan iba

ada waktunya..
saat hasrat mengawali dua hati itu
ketika keduanya masa bodoh dengan pijakan
mengenyahkan mata yang tak lelah menatap
mengabaikan raga yang tak berhenti berdiri

lalu kini..
keduanya sempoyongan mengubur masa kelam
menuntun kembali jiwa-jiwa yang hilang arah
mengarahkan kaki menapaki jalan keabadian
agar kebersamaan esok tak mengenal kata jarak
agar jalinan setelah tiada tak menemui kata akhir

inilah jalan keabadian..


Islamic Missions City, 22 Januari 2015 pukul 02.45 dini hari
Ahmad Satriawan Hariadi

Ingin Sukses? Balaslah Dendam Anda!

Sumber gambar: http://news.viva.co.id/
Pernahkah dada Anda sesak oleh sebuah dendam? Dengan penuh keyakinan, Anda pasti akan menjawab “Pernah”. Iya, Anda, saya dan semua orang pasti pernah menyimpan sebuah dendam, bahkan tumpukan dendam. Lalu Anda pasti bertanya-tanya, mengapa saya bertanya demikian? Bukankah hal tersebut manusiawi? Jawaban saya “Iya”, bahkan sangat manusiawi.
Dendam, menurut saya, adalah kekecewaan dalam kelemahan. Lalu katakan kepada saya, siapa di antara kita yang tidak pernah kecewa? Siapa di antara kita yang tidak ingin membalas kekecewaannya dengan hal setimpal, bahkan lebih?
Kalau dendam tidak manusiawi, maka langit tidak akan pernah mengundangkan undang-undang ‘balas dendam’. Kalau dendam tidak manusiawi, maka kita tidak akan pernah mendengar bagaimana orang Arab Jahiliah menuhankan balas dendam. Kita tidak akan pernah tahu mitos Arab Jahiliah yang mengatakan, jika mereka tidak membalas dendam, maka mereka dan kabilah mereka akan terkutuk untuk selamanya.
Kembali lagi ke pertanyaan sebelumnya, yaitu mengapa saya menanyakan hal di atas. Saya menanyakan hal di atas karena saya menegaskan bahwa pengaruh dendam begitu signifikan dalam kehidupan seseorang. Pengaruh dendam itu, menurut saya, ibarat pisau. Iya, pisau yang bisa membunuh jika penggunaannya salah. Begitu juga sebaliknya.
Jadi, ketika dada Anda mulai sesak oleh sebuah dendam, maka pada saat itu juga Anda berada di tengah-tengah persimpangan jalan. Apakah Anda bakal menjadikan dendam itu sebagai motivasi untuk melejitkan potensi, atau sarana untuk menyingkirkan Anda dari kafilah kehidupan. Semuanya kembali kepada diri Anda.
Jika kita merenung lebih dalam lagi, kita pada ujungnya akan menyimpulkan bahwa tidak ada di atas permukaan bumi ini satupun motivasi yang mengalahkan motivasi balas dendam. Anda mungkin akan menyanggah, bagaimana dengan motivasi cinta? Iya, motivasi cinta memang kuat, tapi tidak sekuat motivasi balas dendam. Cinta Anda bisa bertambah dan berkurang. Cinta Anda bahkan bisa lenyap seketika jika sudah terinfeksi virus “telantar”. Namun tidak dengan dendam. Dendam hanya mengenal kata bertambah dan bertambah.
Dari sana, kita akhirnya akan sepakat betapa pentingnya kita mengatur rasa dendam yang membuncah di dalam dada. Memang, dendam sangat identik dengan kekerasan dan hal-hal negatif lainnya. Namun jika kita lebih cermat lagi, maka kita akan menyadari kalau rasa dendam adalah anugerah Tuhan yang paling agung dalam membantu manusia menyingkap semua potensi yang masih tersembunyi di dalam dirinya.
Kita yang terhalangi oleh kelemahan kita saat ini untuk membalas ejekan dan hinaan, sama sekali bukan akhir dari segalanya. Rasa kecewa yang begitu pahit dan mengikis hati ini seharusnya membuat kita yang selama ini biasa-biasa saja menjadi semakin cepat berlari, semakin tekun belajar, semakin mengasah bakat, dan semakin menghargai waktu.
Lalu ketika semua benar-benar dalam keseriusan dan kesungguhan, kita akan mendapati bahwa rasa dendam tersebut tiada lain merupakan titian hidayah menuju Allah. Dalam hal ini, apa yang saya maksudkan tadi sungguh sejalan dengan perkataan orang salih zaman dulu, “Kami sebelumnya menuntut ilmu dengan berbagai macam motif. Namun setelah kami mendalaminya, ilmu tersebut menolak motif-motif kami, sebab hanya ingin kami menuntutnya karena Allah.”

Islamic Missions City, 13 Januari 2015
Ahmad Satriawan Hariadi 

Maulid Nabi Muhammad di Mata Taha Hussein

Ini adalah artikel Taha Hussein berjudul “Milad wa Milad”, yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Artikel ini pertama kali dimuat di harian El-Gomhuria, 28 Oktober 1955. Lalu dimuat ulang oleh Majalah Al-Azhar pada edisi Rabiul Awal 1436/Januari 2015.

Merujuk pada tahun penulisannya, artikel ini ditulis pada fase keempat atau terakhir, dari perjalanan hidup Taha Hussein. Sebuah fase yang --kata Prof. Dr. Muhammad Imarah-- di dalamnya Taha Hussein mengumumkan secara tegas kepada khalayak, bahwa ia menyelisihi pemikiran-pemikiran yang dulu menyimpang; baik di bidang keagamaan maupun kesusastraan.

Pada artikel ini anda akan mendapati Taha Hussein yang bangga dengan Islamnya, bangga dengan Nabinya, bangga dengan Qurannya, bangga dengan sejarah dan kebudayaannya. Itu semua begitu jelas saat ia mengadopsi begitu banyak kandungan Alquran ketika menulis artikel ini.

Selamat membaca! Semoga bermanfaat.  

Hay Asyir, 2 Januari 2015
(Ahmad Satriawan Hariadi)

***

Perayaan ulang tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kita saksikan beberapa hari yang lalu sungguh aneh. Bagaimana tidak, yang terlihat secara kasatmata adalah merayakan keamanan dan kedamaian. Sedangkan yang sebenarnya mereka rayakan adalah peperangan dan kelaliman, atau paling tidak, mereka merayakan kebimbangan dan kecemasan.

Lalu hari ini kaum Muslimin di seluruh dunia berbondong-bondong merayakan hari jadi, yang sama sekali tidak ada sedikitpun campur tangan manusia di dalamnya. Tidak peduli apakah campur tangan tersebut berupa hipotesis, perencanaan, perundingan, pendekatan, perdebatan, ataupun pemaksaan yang tidak bersumber dari nurani.

Iya, kaum Muslimin merayakan hari jadi sosok yang terlahir ke muka bumi, tanpa ada tabuhan gendang ataupun tiupan terompet yang mengiringi kelahirannya. Sosok yang terlahir namun tidak ada kibaran panji yang menyambutnya. Sosok yang terlahir namun tidak ada untai-untai mimpi yang menantinya. Sosok yang terlahir namun tidak ada tumpukan kelakar jiwa yang menawarkannya harapan.

Iya, sosok tersebut terlahir sebagaimana umumnya kebanyakan. Sebagaimana keluarga sederhana yang bahagia karena kedatangan anggota baru. Namun kebahagiaan keluarga tersebut nyatanya diliputi rasa iba yang mendalam, karena bayi tak berdosa tersebut terlahir dalam keadaan yatim.  Bapaknya terlebih dahulu tiada saat ia di dalam kandungan ibunya.

Bahkan ia belum saja menikmati hari-hari indahnya saat ia harus menelan pahitnya kesedihan, saat ia harus berkabung dalam duka yang menyayat hati, saat ia dan keluarganya harus merasakan semua itu; yaitu saat ibunya tertakdirkan untuk berpulang selama-lamanya, dan ia sendiri belum genap berusia tujuh tahun.

Ia kemudian tumbuh dan berkembang, sebagaimana umumnya anak yatim piatu, di bawah asuhan kerabatnya. Ia menjalani hari-harinya seperti kebanyakan orang. Tidak ada sedikitpun yang spesial. Manusia pun tidak peduli dengannya. Perkataan dan perbuatannya sama sekali tidak mengubah lifestyle mereka.

Ini bukan karena apapun, melainkan karena ia adalah seorang yatim yang menjalani kehidupan layaknya para yatim. Para yatim yang hidupnya tidak selalu serba ada dan mudah. Para yatim yang kesusahan dan sempit penghidupannya lebih kentara ketimbang kemudahan dan kenyamanannya. Lalu belum saja menginjak remaja, ia sudah harus banting tulang seharian penuh, sebagaimana orang-orang yang mendapati dunia begitu bakhil dengan kebaikannya dan kenyamanannya.

***

Pada suatu hari, saat ia sudah mencapai kematangan mental dan pikirannya, saat ia sudah menjadi lelaki seutuhnya, saat ia sudah cukup sigap untuk melawan segala macam dan bentuk aral yang melintang; ia menyampaikan dakwah yang belum pernah didengar oleh orang-orang terdekatnya, hingga membuat mereka ketakutan.

Ia menyerukan dakwah yang serupa kepada khalayak ramai, hingga mereka memberontak penuh perlawanan terhadap dakwah maupun dirinya. Tak ayal, kaumnya pun melakukan segala cara untuk menghilangkan riak-riak dakwah dan si empunya. Meskipun demikian, tetap saja ada segolongan manusia yang memenuhi ajakannya. Iya, mereka adalah sekelompok kaum lemah dan tertindas.

Iya, mereka yang lemah dan tertindas inilah yang menjadi pengikutnya. Keadaan dirinya sendiri dan para pengikutnya yang lemah dan tertindas, justru membuatnya semakin kuat dan agresif. Keadaan lemah dan tertindas ini justru menjadikan ia dan pengikutnya semakin teguh hati menghadapi cobaan, semakin sabar menahan sakit dan pedih, semakin tegar melawan fitnah dan cemoohan.

Jasad-jasad mereka berharikan perih dan tangis, sementara jiwa-jiwa mereka larut dalam bahagia dan tenang. Sempitnya penghidupan meliputi mereka, sementara bunga-bunga harapan semakin bermekaran di pelupuk mata mereka. Ketakutan mengepung mereka dari segala penjuru, sementara hati mereka semakin penuh terisi iman, rida, percaya diri, dan rasa aman.

Lalu untuk menyelamatan agama dan dakwah, mereka harus meninggalkan kampung halaman. Iya, mereka meninggalkannya dengan kepala tegak, tanpa ada keragu-raguan sedikitpun. Bahkan mereka meninggalkan semua itu dengan gembira dan senang hati. Mereka lebih memilih hijrah bersama agama, ketimbang bercengkrama dengan sanak saudara di rumah. Mereka lebih memilih pergi bersama keyakinan, tanpa peduli banyak atau sedikitnya harta dan kekayaan mereka di kampung kelahiran.

Kemudian saat mereka harus berperang mempertahankan keyakinan dan negeri dari invasi kaum Musyrikin, mereka menjalaninya tanpa ada sedikitpun rasa gentar, tanpa ada secuilpun rasa iba. Mereka menjalani untaian peperangan ini dengan tegar, sebagaimana ketegaran mereka melawan fitnah dan cemoohan sebelum hijrah. Allah pun memenangkan mereka dalam sebagian besar peperangan, dan menguji keimanan mereka dengan pahitnya kekalahan di sebagian kecilnya.

***

Tak lebih dari 20 tahun sejak dikumandangkannya dakwah ini, tiba-tiba wilayah luas yang dahulu penduduknya terkotak-kotak, kini bersatu-padu. Penduduk wilayah tersebut kini dirajut dalam indahnya persaudaraan, setelah dulu bermusuhan. Penduduk yang dulu hidup terpasung dalam kubangan kebodohan, kini menjadi manusia yang sangat mencintai ilmu, mendambakan hikmah, dan sigap terhadap apa yang namannya pengetahuan; tak peduli jarak dan waktu. Penduduk yang dulu terjajah dalam kegelapan dan kesesatan, kita hidup merdeka dalam cahaya dan hidayah.

Iya, mereka lah yang dulu keras kepala, berhati batu, dan bertabiat kasar. Tidak hanya itu, mereka membunuh anak-anak karena takut miskin, dan mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena takut cemoohan. Lalu lihatlah, kini mereka menjadi sangat penyayang. Hati mereka menjadi lunak dan halus setelah sebelumnya keras dan kasar. Mereka menjadi orang-orang beriman, yang bila disebut nama Allah, hati mereka gemetar; dan bila dibacakan ayat-ayat-Nya, iman mereka bertambah.

Mereka lah yang hanya menyembah Allah, tanpa menyekutukan-nya dengan siapapun. Mereka lah yang menjadikan kehidupan dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Mereka lah yang sepenuhnya yakin, bahwa kehidupan dunia tidak akan bisa menjadi wasilah yang pas untuk menggapai keridaan Allah, jika mereka tidak berlaku adil terhadap siapapun.

Dengan berlaku adil, mereka tidak tidak lagi membeda-bedakan mana yang kuat dan lemah, mengotak-ngotakkan mana yang kaya dan miskin, memetak-metakkan mana yang Arab dan nonarab. Dengan berlaku adil, mereka hanya tahu bahwa semua manusia sama, terkait hak dan kewajiban mereka. Kemudian tidak ada yang membedakan mereka selain ketakwaan, kebaikan, dan taraf kesungguhan dalam menyebarluaskan kebaikan.

Tak lebih dari 20 tahun sejak wafatnya, bangsa yang bersatu setelah bercerai-berai, bersepakat setelah berselisih, melunak setelah kasar dan keras seperti batu, dan mulai belajar dari kesalahan dan kebodohan; berubah menjadi bangsa yang paling kuat di muka bumi. Bangsa tersebut tidak hanya membumikan keadilan dan kebaikan di tanah Arab saja, tapi di seluruh dunia. Mereka lah yang membebaskan umat manusia dari kubangan kebodohan dan kezaliman, kemudian mengarahkannya menuju cahaya ilmu dan keadilan.

***

Hari ini kaum Muslimin berbondong-bondong merayakan hari jadi sosok yang mengubah kehidupan manusia. Menyibukkan mereka dengan kebajikan, setelah sebelumnya tersibukkan oleh kemungkaran. Mengisi hati mereka dengan kasih sayang, setelah sebelumnya berisikan kekerasan. Mengajari mereka makna keadilah, setelah sebelumnya hanya mengenal penindasan dan kezaliman.

Jika dicermati lebih dalam, ia sebenarnya tidak memikul beban dakwah yang berat dan begitu berbahaya ini seorang diri. Tetapi yang menolongnya adalah Tuhan, yang melindunginya saat ia terlantar, yang memberinya petunjuk saat ia bingung, dan yang mencukupkannya saat ia serba kurang.

Dialah yang kemudian memerintahkannya untuk membacakan kepada kaumnya ayat-ayat-Nya, dan mengajarkan mereka Alquran dan Sunah. Dialah yang memerintahkannya untuk mengeluarkan umat manusia dari gelapnya kekafiran menuju cahaya keimanan. Lalu lihatlah, kini ia telah menunaikan amanah dan risalah yang diemban dengan sempurna. Memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk terlahir kembali, sesuai dengan fitrah penciptaan mereka.

***

Dengan demikian, sungguh jauh perbedaan antara apa yang dirayakan oleh orang-orang Barat beberapa hari yang lalu, dengan apa yang dirayakan oleh kaum Muslimin. Orang-orang Barat  merayakan hari jadi PBB yang nyatanya belum bisa berbuat apa-apa. Akibatnya, mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Sedangkan apa yang dirayakan oleh kaum Muslimin hari ini, kuasa untuk merealisasikan mimpi-mimpi mereka; yaitu membumikan keadilan, kebenaran, dan kebajikan di tengah-tengah masyarakat. Mengapa? Karena risalah Muhammad tidak terhenti dan terputus dengan kepergian sang Nabi, melainkan terus berlanjut dan berlaku hingga akhir zaman.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya Nabi Muhammad selalu ada —bahkan memiliki tempat spesial— di hati kaum Muslimin; kapan saja dan di mana saja. Keadaan demikianlah yang senantiasa mengaktualkan kebajikan sekaligus mencegah kemungkaran. Keadaan demikianlah yang hanya mampu membuat umat manusia berlomba-lomba dalam kebaikan.

Keadaaan demikianlah yang kuasa menjelaskan kepada kaum Muslimin, bahwa mereka tidak akan memiliki kekuatan dan suara yang didengar; kecuali jika berpegang teguh pada agama Allah dan tidak bercerai berai. Keadaan demikianlah yang bisa membuat mereka senantiasa ingat kalau hanya dengan nikmat Allah, mereka kini bersatu padu dalam indahnya persaudaraan, setelah dulu bermusuh-musuhan. []

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India