Ketika Kata Serapan dan Istilah Ilmiah Menjadi Topeng

Saya pernah memuat ulang artikel Ahmad Amin di Buletin Al-Thayf, edisi Februari 2014, yang berjudul “Adab al-Lafz wa Adab Al-Ma'na”. Pada artikel yang dimuat pada tahun 1935 tersebut, Ahmad Amin mengamini, kalau kedalaman dan keluasan makna harus dijadikan prioritas utama, sedangkan kata-kata adalah sarana yang digunakan untuk memindahkan makna dari penulis kepada pembaca.

Kemudian ada satu hal yang ingin saya tegaskan, bahwa sebuah tulisan, bisa dan berhak disebut tulisan ilmiah, jika tulisan tersebut yang menggunakan proses berpikir ilmiah dalam pembahasan pokok masalahnya. Iya, proses berpikir ilmiah yang dimulai dari identifikasi masalah kemudian membatasinya, menyusun hipotesis kemudian mengujinya, hingga akhirnya menarik kesimpulan.

Bukan tulisan yang penuh dengan kata-kata serapan yang seringkali kita sebut dengan “kata-kata ilmiah”, namun kosong dari pemikiran yang dalam dan analisis yang tajam. Bukan juga tulisan yang penuh dengan istilah-istilah ilmiah, namun tidak ada hal baru yang bisa dikemukakan selain memindahkan atau mengalihbahasakan pemikiran orang lain.

Kemudian Anda, jangan sampai terpedaya oleh mindset yang mengatakan bahwa sebuah tulisan, baru dan bisa terkategori keren dan berbobot, jika tulisan Anda penuh dengan kata-kata serapan dan istilah-istilah ilmiah. Memang, warna dan corak bahasa Anda mecerminkan wawasan dan kapasitas Anda. Namun tetap saja, Anda tidak jauh beda dengan fakir miskin yang mengenakan setelan jas bagus, biar disangka orang kaya. Namun sejatinya tidak bisa mencukupi dirinya sendiri, apalagi untuk berbagi kepada orang lain.  

Tidak hanya itu, sikap berlebihan di dalam ‘memolesi’ tulisan dengan kata-kata serapan dan istilah-istilah ilmiah, bisa saja mengaburkan maksud yang diinginkan penulis, bahkan bisa menimbulkan pemahaman yang berseberangan.

Berangkat dari situ, saya pun akhirnya mulai curiga dengan iklim ilmiah kita yang lebih mementingkan penampilan ketimbang kualitas berpikir dan ketajaman analisis. Apakah otak kita memang benar-benar sudah tidak bisa diandalkan sehingga kita lebih memilih menyembunyikan kebobrokan berpikir kita di balik kata-kata serapan dan istilah-istilah ilmiah tersebut?

Saya teringat kalau ada perkataan Anis Mansur yang sangat menyentuh, yang kemudian saya jadikan pegangan, saat membaca bukunya “Asyu fi Hayati”, musim panas tahun lalu. Ia mengatakan, “Aku akhirnya menyadari kalau memiliki bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti itu bukan hal yang gampang. Seseorang, tidak akan bisa menulis dengan mudah, kecuali jika ia sudah paham. Kemudian ia tidak akan bisa memindahkan pemahamannya kepada orang lain dengan mudah, kecuali jika ia telah berlatih agar memiliki bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Bukan sehari dua hari, namun butuh kerja esktra keras dan waktu yang sangat lama untuk itu. Sejak dulu, aku selalu berkeinginan untuk memiliki bahasa sederhana, jelas dan menawan. Bahkan hingga saat ini.”

Benarkah tulisan kita yang kebanjiran kata-kata serapan dan istilah-istilah ilmiah tersebut adalah indikasi lemahnya pemahaman dan miskinnya inovasi di dalam diri kita? Semoga saja tidak.


Islamic Missions City, 28 Februari 2015

Ahmad Satriawan Hariadi 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India