Alquran dan Sastra; Sebuah Benang Merah

Hampir semua orang, menurut saya, termotivasi belajar bahasa Arab karena ingin memahami Alquran. Lalu, orang-orang tadi, beranggapan bahwa untuk memahami Alquran, Anda cukup memahami kaidah-kaidah dasar bahasa Arab; yang terdiri dari Nahwu dan Sharf. Maka, ketika Anda sudah memahami buku semisal Matn Ajurrumiyah dan Ilmu al-Tashrif dengan baik, Anda, menurut anggapan orang-orang di atas, dapat dipastikan sudah bisa memahami Alquran.

Benarkah demikian?

Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, alangkah baiknya kita menegaskan bahwa Alquran adalah lambang supremasi kefasihan bahasa dan estetika sastra; sebelum menjadi konstitusi agama dan lentera hidayah bagi umat manusia sepanjang zaman.

Artinya, jika kita tidak memahami dan merasakan langsung kedua aspek di atas dengan baik, saat berinteraksi dengan Alquran; maka kemukjizatan Alquran yang sering kita dengar di mana-mana itu, bagi kita, hanya cerita belaka. Sebab, kita hanya tahu kalau Alquran itu adalah mukjizat; tanpa tahu bagaimana hakikat kemukjizatan Alquran, sehingga membuat para pujangga Arab Jahiliyah hanya bisa ternganga, bahkan memutuskan berhenti berkarya untuk selama-lamanya setelah membaca Alquran, seperti yang dilakukan penyair besar Arab Labid ibn Rabiah.

Setelah kita tahu esensi kedua aspek di atas, kita bisa pastikan bahwa anggapan orang-orang di atas, jauh dari realitas. Terlebih lagi jika kita tahu, bahwa banyak permasalahan-permasalahan Nahwu dan Sharf dalam teks Alquran yang membingungkan para ulama; yang tak terbahas di dalam buku-buku Nahwu ataupun Sharf yang dengan menguasainya, sebagaimana kata mereka, Anda sudah bisa memahami Alquran. Jika Anda masih ragu juga, mari kita ambil beberapa ayat Alquran sebagai contoh.

Pertama, kaidah Tadhmin pada ayat:

 ﴿عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُوْنَ♂
Atau bacaan salat kita:

 «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَه»

Kedua, perdebatan yang terjadi terkait hakikat pola atau shighah «المحيض» dan pengaruhnya terhadap permasalahan fikih dalam firman Allah:

﴿يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ

Atau hakikat pola «تَفَعَّلَ» dan impaknya terhadap perbedaan fukaha dalam firman Allah:

﴿فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ

﴿وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ♂

Dua contoh di atas merupakan gambaran dasar, betapa kelirunya anggapan di atas, sekaligus menujukkan kepada kita, bahwa untuk memahami Alquran dengan baik dan benar, kita harus meluangkan waktu lebih banyak lagi untuk menelaah karya para ulama Nahwu dan Sharf; semisal Amali milik Ibn al-Syajari, Syarh al-Mufassal milik Ibn Ya’isy, al-Muhtasab milik Ibn Jinny, dan buku-buku para ulama yang lain.

Selanjutnya, apakah dengan menjadi spesialis Nahwu dan Sharf cukup menjadi garansi seseorang untuk merasakan langsung kemukjizatan Alquran? Tentu tidak cukup. Mengapa? Karena ilmu Nahwu, sebagaimana yang kita baca di dalam buku Nasy’ah al-Nahwi milik Syaikh Muhammad al-Tantawi, diciptakan untuk mengantisipasi kesalahan di dalam membaca Alquran; dengan asumsi betapa fatalnya akibat yang ditimbulkan oleh kesalahan bacaan, yang bisa bermuara pada lembah kemusyrikan dan kesesatan. Ditambah lagi jika kita cermati lebih dalam, kalau tema Nahwu hanya berkisar pada ‘benar atau tidaknya sebuah struktur kalimat (tarkib)’. Adapun yang berkaitan dengan ‘mengapa strukturnya harus begini, dan mengapa tidak demikian, padahal sama-sama benar’, maka hal ini tidak lagi menjadi pembahasan Ilmu Nahwu, tapi sudah merangkak ke Filsafat Nahwu, atau yang populer dengan sebutan Ilmu Balagah.

Setelah kita tahu bahwa menjadi spesialis Nahwu dan Sharf saja tidak cukup untuk menyingkap lalu merasakan kemukjizatan Alquran, lantas apa yang membuat kita bisa seperti itu? Inilah inti pembicaraan kita. Sebelum membahas lebih lanjut apa saja yang membuat kita menyingkap lalu merasakan kemukjizatan Alquran, baiknya kita mengerti betul hakikat kemukjizatan Alquran yang sering kita dengar itu. Ya, kita harus mengerti apa saja yang membuat Alquran itu beda dengan yang lainnya, sehingga dikatakan sebagai mukjizat.

Ketika kita mengatakan Alquran adalah lambang supremasi kefasihan bahasa, kita harus paham betul bahwa keistimewaan Alquran dalam konteks ini, teraktualisasi mulai dari pemilihan setiap diksinya, lalu teraktualisasi pada penyusunan diksi-diksi terpilih tersebut ke dalam sebuah struktur kalimat, kemudian teraktualisasi pada korelasi setiap struktur dengan struktur lainnya; hingga mendatangkan ketepatan dan keserasian makna yang diinginkan dengan konteksnya.

Begitu juga ketika kita mengatakan Alquran adalah lambang supremasi estetika sastra. Kita harus tahu bahwa puncak estetika sebuah karya sastra, apapun genrenya, tercermin pada seberapa kuat pengaruh yang ditimbulkan di dalam jiwa pembaca maupun pendengarnya. Namun, sebelum kita mengupas hal ini lebih jauh, mari kita kembali pada sejarah ketika Alquran diturunkan. Ya, Alquran diturunkan ketika bangsa Arab dipenuhi oleh para pujagga brilian dan para orator ulung. Ya, Alquran diturunkan ketika kehormatan dan kebanggan terpusat pada kemampuan mengolah kata menjadi karya-karya sastra yang menyihir.

Setelah kita tahu hal ini, kita paling tidak akan mengerti, mengapa Alquran yang turun dari langit sebagai konstitusi kebahagiaan dunia dan akhirat ini; memilih menggunakan metode sastrawi, ketimbang metode perundang-undangan pada umumnya. Jika Anda tidak percaya, mari kita perhatikan ketika Alquran mengundangkan pelarangan gibah. Apakah Alquran mencukupkan diri hanya dengan mengatakan, “Janganlah kalian saling menggunjing!”? Tentu tidak. Namun Alquran menggunakan metode sastrawi, dengan melayangkan sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak membutuhkan jawaban, “Adakah seseorang di antara kalian yang mau memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kalian merasa jijik.” Tujuannya pun tidak lain, yaitu agar kaum Muslimin merasakan betapa keji dan joroknya sebuah gibah, lalu meninggalkannya atas kemauan sendiri.

Hal ini, secara otomatis, tidak berarti bahwa Alquran itu adalah karya sastra. Tidak! Alquran tetap merupakan wahyu, namun menggunakan metode sastrawi di dalam penyampaiannya, yang mana impaknya terhadap pembaca maupun pendengarnya, melebihi impak mahakarya sastra itu sendiri.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah orang-orang seperti kita ini, yang datang 15 abad setelah Alquran diturunkan; mampu merasakan apa yang pernah dirasakan oleh bangsa Arab pada masa itu, terkait estetika sastranya? Jika kita mampu, apakah ada upaya yang bisa kita tempuh untuk itu?

Untuk bisa merasakan pesona dan sihir Alquran seperti yang pernah dirasakan oleh bangsa Arab 15 abad yang lalu, Anda harus memiliki kapabilitas --atau yang sering disebut dengan malakah-- seperti mereka. Malakah ini tidak akan bisa Anda dapati, jika Anda tidak memahami betul kondisi bangsa Arab saat itu; mulai dari iklim, kondisi geografis, keadaan sosial, dan terutama karakter dan corak bahasa yang dipakai bangsa Arab saat itu. Tidak hanya itu, malakah juga harus selalu diasah dengan interaksi yang intens dengan karya-karya sastra pada masa itu; mulai dari menajamkan pemahaman terhadapnya, lalu menghapalnya di luar kepala, hingga malakah tadi benar-benar tertanam dan menyatu dengan diri kita.  

Inilah mengapa kita harus belajar sastra Arab!


Islamic Missions City, 30 Januari 2016
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India