Belajar Cinta dari Zaid

Di atas bukit, ia hanya bisa duduk termangu seraya mengarahkan pandangannya ke arah sahara. Berkelebat di dalam benaknya, bilamana putra bungsunya kembali ke dalam dekapannya. Ia begitu ingat, ketika ia dengan berat hati mengiyakan kehendak istrinya untuk membawa sang putra menemui sanak dan kerabat ibunya yang berasal dari kabilah Thay’. Saat itu, ia sadar betul bahaya yang bakal menanti istri dan anaknya di tengah padang sahara. Lalu kini, setelah beberapa purnama berlalu, ia semakin yakin kalau apa yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi.

Ya. Itulah yang dirasakan oleh Haritsah bin Syarahil, pembesar kabilah Kalb. Jika bukan karena posisinya sebagai tetua kabilah, ia mungkin sudah menjerit sekeras-kerasnya. Dalam sisa-sisa harapnya, sambil menitikkan air mata, ia hanya bisa menyenandungkan kesedihannya dalam beberapa bait puisi yang begitu menyentuh. Melihat hal ini, tak ayal, para kerabatnya pun melakukan berbagai macam upaya untuk menghiburnya. “Kami akan melakukan apapun untuk menemukan Zaid!” ujar salah seorang dari mereka. “Kami akan memberikan seluruh harta kami, bahkan jiwa raga kami, untuk menebusnya kembali!”

Haritsah hanya membalas kata-kata mereka dengan senyuman tipis yang begitu dipaksakan.

Setelah beberapa waktu, salah seorang anggota kabilahnya mengabarinya tentang keberadaan Zaid. “Ketika sedang duduk di pelataran Ka’bah, aku melihat Zaid bersama orang ternama dari kabilah Quraisy,” kata orang tadi. “Kalau tidak salah, ia adalah Muhammad, putra Abdul Muttalib, pemimpin kabilah Quraisy.”

Tanpa membuang-buang waktu, Haritsah menyiapkan seluruh hartanya seraya mengajak adiknya untuk pergi ke Mekah. Jika ada yang berkelebat di pikirannya, maka itu tiada lain adalah Zaid dan Zaid. Baru kali ini ia merasakan kebahagiaan yang menggebu-gebu dalam setiap langkah perjalanannya di padang sahara, yang semua perjalanan sebelumnya selalu dihantui rasa takut yang mendalam. Ketika ia menginjakkan kakinya di pelataran Ka’bah, tanpa menunggu waktu, ia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai kaum Quraisy, adakah di antara kalian yang menujukkan kepadaku di mana Muhammad, putra Abdul Muttalib?”

Tanpa menuggu waktu, ia pun diantar salah seorang penduduk Quraisy ke tempat yang ia tuju. Di sana, tanpa berbasa basi ia langsung mengutarakan keinginannya kepada Muhammad, yang waktu itu belum diutus sebagai nabi dan rasul. “Kami siap membayar berapapun untuk menebus Zaid,” ujar Haritsah.

Akan tetapi Haritsah bukannya mendapat jawaban berapa nominal tebusan yang harus ia bayar, melainkan mendapat tawaran yang sama sekali tidak pernah terbesit dalam benaknya. Ia malah ditawari Muhammad untuk memberikan Zaid pilihan, apakah dia memilih bapak dan sanak keluarganya, lalu dia dikembalikan tanpa tebusan; ataukah memilih Muhammad dan keluarganya lalu, mau tidak mau, bapak dan keluarganya harus merelakan pillihan Zaid. Mendengar tawaran ini, ia hanya bisa ternganga penuh kagum melihat keluhuran budi Muhammad seraya memujinya.

“Aku tidak akan memilih siapapun lagi setelah memilihmu,” jawab Zaid setelah ditanya Muhammad terkait pilihannya. “Bagiku, Anda adalah ayah dan ibuku.”

“Yang benar saja kau Zaid,” timpal Haritsah seakan tidak percaya. “Memilih hidup sebagai budak ketimbang hidup merdeka bersama ayah, paman dan sanak keluargamu?!”

“Ya,” jawab Zaid penuh yakin. “Aku telah melihat sesuatu dari Muhammad yang membuatku enggan memilih siapapun setelah memilihnya.”

Mendengar hal tersebut, tanpa menunggu waktu, Muhammad menggenggam tangan Zaid lalu membawanya ke pelataran Ka’bah. “Wahai saudara-saudara sekalian,” Muhammad berkumandang. “Saksikanlah bahwa mulai hari ini, Zaid adalah anakku. Aku mewarisinya sebagaimana ia mewarisiku.”

Setelah hari itu, Zaid, oleh orang-orang, dipanggil Zaid bin Muhammad. Sebab, Zaid, menurut tradisi bangsa Arab saat itu, telah resmi menjadi anak Muhammad, dalam artian ia telah memiliki semua hak yang dimiliki anak kandung; seperti hak waris mewarisi, hak kasih sayang, hak penghidupan, dan lain-lain. Mulai saat itu pula, ia menjadi sosok yang paling dicintai Muhammad dan paling dekat dengannya, bahkan hingga setelah diangkat menjadi nabi dan rasul. Bagaimana tidak, ia telah menjadi satu-satunya putra Muhammad yang masih tersisa, dan orang kedua yang masuk Islam setelah Khadijah. Tak ayal, sebagai ayah Zaid, Muhammad mempersunting untuk Zaid putri bibinya, Zainab binti Jahsy. Sehingga jika ada lelaki yang paling tahu hakikat Muhammad, maka orang tersebut tidak lain adalah Zaid. Kemudian jika ada orang yang paling memiliki naluri kepemimpinan Muhammad dan mental perwiranya, maka orang tersebut tidak lain juga adalah Zaid.

Ya. Zaid adalah tangan kanan Nabi nomor satu, hingga ia menemui ajalnya pada tahun 8 Hijrah, saat perang Mu’tah. Hal ini terbukti ketika Nabi selalu menjadikannya panglima kompi (sariyyah) yang bertugas untuk berpatroli di sekitar Madinah, pada awal-awal hijrah. Begitu juga ketika ia selalu diberikan mandat untuk sebagai pemimpin Madinah, saat Nabi melakukan perjalanan ke luar kota. Bukan Abu bakar, ataukah Umar, ataukah Utsman, bahkan Ali sang sepupu.

“Aku pernah ikut berperang bersama Nabi sebanyak tujuh peperangan,” ungkap Salamah bin al-Akwa’, salah seorang sahabat Nabi. “Dan bersama Zaid sembilan peperangan. Dia, oleh Nabi, selalu dijadikan panglima perang kami.”

“Rasulullah tidak pernah mengirim Zaid dalam sebuah pasukan kecuali menjadikannya sebagai panglima,” kata Aisyah, istri Nabi. “Jika Zaid masih hidup, beliau pasti menunjuknya sebagai khalifah.”

Jika sahabat-sahabat Nabi yang lain termaktub di dalam Alquran dengan kata ganti ʻdia’, atau ʻkalian’,  atau ʻmereka’, maka Zaid merupakan satu-satunya sahabat Nabi yang namanya diabadikan di dalam Alquran. Yaitu ketika Allah mengundangkan pelarangan adopsi (tabanni) di dalam surat al-Ahzab, beberapa saat setelah perang Khandaq. Mulai saat itu juga, ia tak lagi dipanggil Zaid bin Muhammad, melainkan Zaid bin Haritsah.

Lalu apakah sikap Nabi kepada Zaid berubah dengan turunnya pelarangan adopsi tadi? Tidak. Nabi bahkan semakin mencintai Zaid. Jika sebelumnya rasa cinta Nabi lebih didasarkan cinta seorang ayah kepada putra semata wayangnya, maka cinta Nabi setelah pelarangan adopsi tadi lebih pada cinta seorang kepada sosok kekasih yang sangat dikaguminya. “Wahai Zaid,” kata Nabi kepadanya. “Kamu adalah tuanku, kamu bagian dariku, kamu adalah orang yang paling aku cintai.”

Wujud kecintaan Nabi kepada Zaid tercermin begitu jelas ketika berita kematiannya di perang Mu’tah sampai kepada Nabi. “Beistigfarlah kalian untuk Zaid. Ia telah masuk surga dalam keadaan berlari,” perintah Nabi kepada kaum Muslimin. “Ya Allah. Ampunilah Zaid! Ampunilah Zaid! Ampunilah Zaid! Ampunilah Ja’far dan Abdullah bin Rawahah!”

Begitulah! Nabi memintakan ampunan untuk Zaid sebanyak tiga kali secara khusus, dan sekali untuk Ja’far bin Abu Talib dan Abdullah bin Rawahah dalam waktu bersamaan. Bahkan sebelum itu, Ja’far memprotes keputusan Nabi yang memilih Zaid sebagai panglima utama pasukan kaum Muslimin, ketimbang dirinya yang tidak lain adalah sepupu Nabi. Namun Nabi kukuh dengan pendiriannya, yaitu menjadikan Zaid sebagai panglima, dan Ja’far sebagai wakilnya.

Demikian pula halnya ketika Nabi melihat putri Zaid menangis di hadapannya setelah mendengar kabar gugurnya Zaid. Ya. Nabi menangis hingga tersedu-sedu. Menyaksikan hal demikian, sahabat Nabi, Saad bin Ubadah hanya bisa tercengang. “Wahai Rasulullah, apa-apaan ini?!” tanya Saad kepada Nabi seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Ini adalah kerinduan seorang kekasih kepada kekasihnya,” jawab Nabi.

Inilah Zaid, sosok yang paling dicintai Nabi, bahkan hingga keturunannya. Anda tentunya tahu ketika beberapa saat sebelum wafat, Nabi mengirim pasukan terakhirnya untuk melawan pasukan Romawi di bawah pimpinan Usamah, putra Zaid yang masih berusia belasan tahun. Saat itu orang-orang yang berada di dalam pasukan itu adalah para pembesar sahabat Nabi semisal Abu bakar, Umar, dan lain-lain. Meskipun begitu, tetap saja ada sahabat Nabi yang keberatan keputusan Nabi tersebut. “Jika kalian masih mempermasalahkan kepemimpinan Usamah, maka kalian sebelumnya telah melakukan hal yang sama, yaitu mempermasalahkan kepemimpinan bapaknya,” kata Nabi. “Demi Allah! Sungguh bapaknya memang benar-benar layak memimpin kalian. Sungguh dia adalah orang yang paling aku cintai. Dan ini (seraya menunjuk Usamah), adalah orang yang paling aku cintai setelah bapaknya.”

Kecintaan Nabi kepada Zaid, yang melebihi cintanya kepada siapapun, tidak semata-mata ada begitu saja, tanpa sebab yang pasti. Tidak. Zaid telah menyemai kekaguman dan kecintaannya kepada Muhammad sejak lama, yaitu ketika Muhammad belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul; lebih tepatnya ketika Muhammad baru-baru berumah tangga dengan Khadijah. Di sanalah Zaid membuktikan ketulusan cintanya kepada Muhammad ketika ia lebih memilih Muhammad, majikannya, ketimbang orang tua kandungnya. Ya. Ketika ia lebih memilih tetap menjadi budak asal tetap bersama Muhammad, ketimbang hidup bebas merdeka melakukan apapun yang ia inginkan. Ketika ia lebih memilih hidup terasing di negeri orang demi bersama Muhammad, ketimbang hidup di kampung halaman bersama sanak saudara.

Kemudian ketika fajar Islam mulai terlihat riak-riaknya di ufuk timur, kecintaaan Zaid kepada Muhammad semakin menjadi-jadi. Ia menapaki titian ujian dan cemoohan saat di Mekah yang tak mengenal kata henti dengan tegar dan tabah, sebagaimana ketegaran dan ketabahan Muhammad. Ya. Zaid adalah satu-satunya orang yang menemani Nabi berdakwah di Tha’if. Ia adalah satu-satunya orang yang mandi darah karena berusaha sekuat tenaga melindungi Nabi, saat kabilah Tsaqif, penduduk Tha’if, menghujani mereka berdua dengan lemparan batu dan cemoohan.

Setelah menguraikan kisah Zaid di atas, sudah saatnya kini kita mengintrospeksi diri. Jika kita benar-benar mencintai Rasulullah, apa saja yang kita lakukan saat beliau dilecehkan? Apa saja sumbangsih kita terhadap agama yang beliau bawa ini? Apa saja upaya yang kita lakukan untuk memajukan umatnya yang masih betah bersemayam di bawah kubangan kebodohan, perpecahan, perdebatan tak berguna, dan fitnah tak berujung? Ataukah jangan-jangan kita ini hanya ingin masuk surga sendiri?!


Islamic Missions City, 12 Februari 2016
Ahmad Satriawan Hariadi

Sumber dan Referensi:
  • Ibnu Saad, Muhammad. 2012. Kitab al-Thabaqat al-Kabir. Cairo: Maktabah al-Khanji.
  • Ibnu Hisyam, Abdul Malik. tt. al-Sirah al-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
  • Mubarakfury, Shafiyyurrahman. 2010. al-Rahiq al-Makhtum. Mansoura: Dar al-Wafa.
  • Gulen, Muhammad Fethullah. 2007. al-Nur al-Khalid. Istanbul: Dar al-Nil.
  • Hussein, Taha. 1998. ʻAla Hamisy al-Sirah. Cairo: Dar al-Ma’arif.



 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India