Menanggalkan Kacamata

Lokasi: Masjid Ahmad bin Tulun, Kairo
Kemarin, setelah 11 tahun menemani perjalananku, ia akhirnya resmi kutanggalkan. Mungkin untuk selamanya. Aku tidak tahu yang pasti. Sebab siapa yang tahu rencana langit esok hari, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya. Rencana yang hanya bisa dinego sedikit perubahannya oleh beberapa untaian doa penuh khusyuk. Selebihnya ia akan berlaku sesuai dengan ketentuan azali Sang Maha Bijak.

Benar sekali. Siapa lagi teman setiaku kalau bukan kacamata yang selama ini aku kenakan. Bahkan tidak berlebihan jika aku harus jujur, kalau kacamataku adalah segalanya bagiku sejak aku mulai mengenakannya ketika aku kelas tiga SMP. Dengan keberadaannya, aku kuasa menikmati keindahan dunia ini sebagaimana orang lain pada umumnya.

Aku mulai merasakan betapa berharganya nikmat pengeliahatan normal, setelah memakai kacamata. Aku begitu iri dengan mereka yang pengelihatannya masih normal. Sangat iri. Bisa dikatakan kalau mengutuk kecacatan pengelihatanku adalah ritual harianku. Terlebih jika aku melakukan kesalahan --meskipun begitu sepele-- akibat kecacatan mataku tersebut.

Aku tidak tahu sudah berapa banyak tanggapan tentang pemakaian kacatamaku. Mulai dari yang bilang aku tampak kelihatan cerdas dan cool, ataupun sok keren dan culun. Ya. Kelihatannya saja. Manusia memang selalu tertipu dengan sesuatu yang benama ‘kelihatan’. Seolah ‘kelihatan’ adalah fakta yang sesungguhnya; sehingga begitu banyak waktu kita yang amat berharga, terbuang percuma karena tersibukkan oleh ‘kelihatan’.

Kamarin, aku menjalani operasi lasik --walhamdulillah-- dengan lancar. Perasaan bahagiaku sungguh tak terlukiskan ketika keindahan yang selama ini hilang; bisa kutatap kembali dengan mata telanjang. Inilah awal perjalanan yang penuh dengan kesadaran akan pentingnya mensyukuri nikmat Allah yang Maha Pemurah. Kesadaran akan pentingnya menjaga titipan-Nya yang begitu berharga.

Semoga aku selalu diberi taufik untuk senantiasa bersyukur dan menjaga karunia Allah yang Maha Pengasih.


Islamic Missions City, 27 Oktober 2016
Ahmad Satriawan Hariadi

Inilah Mengapa Anda Harus Bermusuhan

Sungguh benar Imam Ahmad bin Hanbal Ketika mengatakan bahwa tidak ada waktu untuk beristirahat bagi seorang mukmin, kecuali ketika kakinya telah menginjak pintu surga. Sebab manusia, akan selalu punya musuh utama yang harus ia lawan, sejak ia terlahir hingga menutup mata; yaitu dirinya sendiri.
Anda pun tahu bahwa ‘diri sendiri’ yang saya maksud di sini adalah hawa nafsu yang begitu liar, keinginan untuk selalu mendapatkan hak tanpa peduli kewajiban, ketamakan, keegoisan, kemalasan, dan lain sebagainya.
Berangkat dari sana, manusia tentu tidak akan benar-benar mengenal kata istirahat ketika ia mendapati bahwa musuhnya bukan hanya dirinya sendiri, melainkan beberapa manusia yang tidak kalah sigap dalam menyesatkan langkahnya, begitu juga dengan keadaan yang ikut serta menciptakan disorientasi dalam kehidupannya.
Dengan begitu, memaksakan prinsip persahabatan pada hal-hal yang telah nyata tertakdirkan untuk menghempaskan kita dari perjalanan kita menuju Allah; tentu merupakan sebuah kedunguan. Artinya, tidak selamanya prinsip persahabatan mendatangkan kebaikan sebagaimana digembor-gemborkan selama ini.
Dengan begitu pula, prinsip permusuhan mengambil kedudukan yang amat penting untuk kebaikan hidup manusia di dunia maupun di akhirat. Prinsip permusuhan akan kentara kegunaannya ketika menjadikan kita lebih siaga dan sigap dalam menangkal segala upaya pemakzulan kita dari kafilah orang-orang ikhlas dan salih. Bahkan prinsip permusuhan akan menjadi kebutuhan mendesak, untuk melawan berbagai kezaliman dan penistaan terhadap moral dan kemanusiaan.
Lalu ketika peristirahatan tadi hanya akan ada ketika manusia mengecap kematian, kita harus mengerti bahwa permusuhan tak akan mengenal kata akhir hingga seluruh manusia lenyap dari muka bumi. Artinya, kita mestinya bermindset bahwa selain berjuang untuk diri sendiri, kita juga harus menyiapkan dan mendidik pejuang-pejuang tangguh yang akan melanjutkan perjuangan kita ketika telah tiada nanti.
Dalam hal ini, Anda melihat dengan jelas bagaimana beratnya tanggung jawab yang harus dipikul manusia ketika berada dalam kafilah kehidupan. Anda juga akan mendapati bagaimana sebenarnya manusia begitu sibuk jika ia menyadari semua kewajibannya. Saya, dalam hal ini, begitu setuju dengan salah satu tokoh Islam modern ketika mengatakan, “Kewajiban lebih banyak dibandingkan waktu yang ada.”
Kita tidak mengingkari peranan signifikan dari ajaran kasih sayang dan cinta dalam Islam yang selama ini begitu getol dikampanyekan oleh mereka. Namun yang harus kita tahu, bahwa ajaran kasih sayang dan cinta sama sekali tidak menafikan prinsip permusuhan dan peranannya yang tidak kalah signifikan; mulai dari kehidupan pribadi seorang Muslim, lalu kehidupan spiritualnya, kemudian kehidupan sosialnya, bahkan kehidupan bernegaranya.
Sejarah Nabi dan sahabatnya merupakan contoh terbaik di mana prinsip kasih sayang dan prinsip permusuhan berpadu membentuk pribadi yang bernurani dan kesatria, pribadi yang tawaduk dan visioner, pribadi yang lantang menyuarakan kebenaran di tengah badai kebatilan sembari tidak mengharapkan apa-apa selain rida Allah, dan pribadi yang tidak mengenal kata istirahat dalam menguatkan diri dan mendidik generasi penerus untuk melawan tirani dan kezaliman.

Islamic Missions City, 23 Oktober 2016 
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India