Sukses = Haters Segudang?

Saya tidak tahu, sejak kapan persisnya kesuksesan seseorang, di satu waktu, menjadi kesalahan terbesar dalam hidupnya. Ya. Kesalahan yang membuat beberapa manusia terusik, lalu melemparinya dengan berbagai hinaan dan cibiran di berbagai forum. Dalam hal ini, sungguh benar orang bijak ketika mengatakan, “Manusia akan memaafkan apapun kesalahan Anda selama ini, kecuali kesuksesan yang Anda gapai.”
Benar sekali. Mereka tidak akan pernah merasakan ketenangan jiwa dan kelegaan hati; kecuali jika integritas Anda hancur lebur, karier Anda terpuruk, dan bisnis Anda bangkrut. Mereka akan mengambil segala risiko agar tangis Anda tak mengenal kata akhir. Mereka tak akan lelah berkampanye kesana kemari, sembari  berkoar-koar di hadapan khalayak, agar Anda dimakzulkan dari kafilah kehidupan untuk selamanya.
Itu semua semakin kentara saat manusia, diberikan berbagai akses dan sarana untuk berekspresi dan berpendapat secara bebas di era digital ini. Kita tak perlu heran ketika melihat semua orang terkenal di dunia saat ini, di samping memiliki fans berjubel, juga memiliki haters yang tidak kalah banyak. Saya pun heran, apakah besarnya kesuksesan itu berbanding lurus dengan banyaknya haters?
Saya melihat bahwa wajar jika seseorang merasa tidak terima ketika beberapa teman sebayanya mengunggulinya dalam beberapa hal. Bahkan merupakan sebuah kemestian baginya untuk tidak terima, untuk tidak rela kalah, dan untuk tidak sudi didahului dalam hal-hal positif yang membawa kebaikan untuk orang banyak.
Hal tersebut seperti ketekunan dan belajar dan keikhlasan dalam menyebarkan ilmu dan wawasan. Atau seperti kesungguhan dalam berbisnis yang sehat, dan upaya yang tak henti untuk membuka dan memperluas lapangan pekerjaan bagi penduduk negeri yang ulet dan berbakat di bidang masing-masing.
Namun yang sama sekali tidak bisa dibenarkan adalah ketika ‘ketidaksudian’ tersebut diaktualkan dengan membunuh karakter saingan, bukan dengan merekonstruksi diri dan mental; menumbangkan lawan dengan kecurangan, bukan dengan kreativitas dan inovasi.
Jika Anda sudah sampai pada tahap memalukan ini; kejayaan yang Anda rengkuh hanya fatamorgana, dan kesenangan yang Anda dapati hanya bunga mimpi di siang bolong. Sebab apa yang dirintis dan dibangun dengan cara tidak sehat; akan kandas dan berakhir dengan cara yang lebih tidak sehat dan sangat tragis, cepat atau lambat, besok atau lusa.
Saya akhirnya berkesimpulan bahwa tidak ada cerita yang tak memiliki konflik. Kita adalah cerita itu sendiri, sehingga tidak mungkin kita tidak mendapati konflik dalam perjalanan panjang kehidupan kita. Sebab konflik itu, menurut saya, diciptakan Tuhan untuk kita pecahkan dan selesaikan; bukan lari darinya.
Saya melihat, konflik dari kesuksesan yang kita rengkuh adalah bagaimana menghadapi para haters kita dengan bijak dan cerdas. Namun setelah direnungi, saya tidak melihat tanggapan yang lebih bijak dan cerdas selain upaya tiada henti untuk makin sukses dan bermanfaat buat orang banyak.  

Islamic Missions City, 26 Oktober 2017
Ahmad Satriawan Hariadi


Kejutan September

  Bulan September tahun ini sungguh penuh dengan kejutan dan keanehan. Aku menyambutnya, sementara apa yang paling aku inginkan tahun ini—alhamdulillah—telah menjadi kenyataan. Ya. Aku berhasil mendapatkan gelar Diploma Pascasarjana dari Universitas Al-Azhar tahun ini dengan nilai yang cukup memuaskan. Dengan begitu, aku diperbolehkan mengajukan judul tesisku untuk mendapatkan gelar Master.
Bahagia? Tentu aku sangat bahagia. Namun, berdasarkan pengalaman seperempat abad menghirup napas, aku selalu curiga dan waspada terhadap kebahagiaan yang ditawarkan kehidupan kepadaku. Karena kebahagiaan yang ia suguhkan, pada hakikatnya, tidak pernah murni. Selalu ada bayang-bayang kesedihan di baliknya. Begitu juga dengan kesedihan yang menimpa. Tidak pernah seutuhnya. Karena setelah direnungi, apa yang membuat seseorang sedih, tidak lain adalah alasan dia untuk bahagia, jika dilihat dari perspektif yang berbeda.
Oleh sebab itu, aku memilih untuk bersikap biasa saja. Tidak mau berlebih-lebihan dalam merayakan kebahagiaan ini. Karena aku tahu betul, bahwa ia hanya sesaat. Sehingga hal yang paling penting untuk dilakukan saat ini, adalah fokus pada jalan hidup yang telah aku bentangkan; tanpa menghiraukan apakah aku sedang bahagia atau diliputi kemurungan. Ya. Aku tidak peduli dengan suasana perasaanku, sebagaimana aku tidak peduli dengan tujuanku. karena yang terpenting adalah bagaimana aku tetap berjalan dengan semangat dan penuh kesabaran.
Kejutan di bulan September ini tidak lain adalah kehadiran orang baru, yang menurutku, begitu spesial. Ia datang, sementara aku tidak sedikitpun berharap atau terpikir, kalau kedatangannya akan sedini dan secepat ini. Di sinilah letak keanehannya. Karena sosoknya adalah megaproyekku di masa depan; di mana semua usaha dan perhatianku hanya bermuara untuk kebahagiaan dia, hingga bahkan aku dan dia telah berada di alam lain. Akan tetapi langit rupanya berkata lain. Ya. Ia mengirimkan sosok tersebut karena tujuan lain yang—semoga—sepenuhnya untuk kebaikanku dan kebaikannya.
Aku selalu percaya, bahwa setiap apapun yang datang dan pergi dari kehidupan kita, selalu membawa tujuan tersirat atau menyisakan hikmah untuk direnungi. Jika kita berhasil menerjemahkan tujuan dan hikmah tersebut dengan baik, tentu lidah kita tidak akan berhenti melantunkan tahmid kepada Tuhan. Karena kita masih diberi kesempatan untuk menilik celah-celah rahmat Tuhan kepada kita; sementara ribuan manusia di belahan bumi yang lain, dalam waktu bersamaan, masih terjebak di balik jeruji besi pikiran mereka yang sempit. Sehingga kita tidak perlu heran, jika yang terdengar dari mulut mereka, saat langit tidak mengiyakan satu saja keinginan mereka, hanyalah sumpah serapah kepada Tuhan.
Lalu apa kira-kira tujuan kedatangan sosok spesial ini yang begitu dini? Aku belum bisa menjawabnya saat ini. Yang jelas ia telah mengambil tempat spesial di hati dan pikiranku. Aku akan membiarkan waktu menceritakan sendiri kenapa ia datang di bulan September ini, kenapa ia datang tepat setelah aku menyelesaikan diploma pascasarjanaku di Al-Azhar, kenapa ia datang saat aku hampir putus asa terhadap eksistensi tulusnya sebuah jalinan.

Awal musim gugur, 10 September 2017
Ahmad Satriawan Hariadi

Pelajaran dari Masa Lalu

Ini tentang kisah lama, sekitar tiga tahun lalu. Di penghujung musim semi, saya merasa kesabaran saya sudah mencapai titik nadir. Kesabaran untuk membuat apa yang sedang berkecamuk di dalam hati; tetap tak diketahui oleh lidah saya.
Ya. Ada faktor utama yang membuat kesabaran saya hancur berantakan, yaitu ketika melihat perempuan manis yang telah lama saya sukai, ternyata disukai secara terang-terangan oleh teman-teman saya. Mereka tak segan lagi untuk mengungkapkan perasaan mereka di media sosial.
Itulah yang membuat hari-hari saya tak karuan. Perasaan takut jika dia sampai memilih orang yang pertama menyatakan perasaannya; terus saja membuat tidur saya tak nyaman. Akhirnya dengan segala keberanian yang ada, saya mulai berpikir keras agar perempuan manis tadi—kalaupun pada akhirnya tidak ada gayung bersambut—paling tidak tahu, kalau saya mencintainya.
Saya pun memutuskan untuk memilih cerpen sebagai saranan untuk mengungkapkan perasaan saya. Lalu dengan segala kemampuan yang ada, saya menulis cerpen itu dengan serius. Saya berusaha sekuat tenaga agar plot dan konfliknya tak timpang alias mengalir normal, namun tetap sepenuhnya mewakili perasaan saya. Akhirnya jadilah cerpen “Puisi dan Cinta”.
Sebagai dampaknya, beberapa hari setelahnya, saya dan perempuan tadi terlibat percakapan yang lumayan alot. Intinya dia hampir mengiyakan, lalu secara tidak langsung meminta saya untuk bersabar. Sedangkan saya, dengan bodohnya, malah menganggap itu sebagai penolakan, kemudian menyerah begitu saja, sembari berkoar-koar kalau kasih saya tak sampai.
“Saya akan menyerah, sebagaimana seseorang yang juga menyerah; sebelum hati saya teraduk semakin dalam.” Itulah kata-kata terakhir perempuan itu, yang sampai detik ini masih melekat di ingatan saya.  
Ya. Harus saya akui, jika perasaan kecewa memang tak mungkin bisa terelakkan; ketika mendapati bahwa gayung cinta saya, pada akhirnya tak bersambut. Tapi paling tidak, di balik kekecewaan mendalam tadi, ada perasaan lega; ketika apa yang selama ini saya pendam dengan rapi, akhirnya bisa diungkapkan.
Anda mungkin bertanya kenapa saya menghadirkan lagi kenangan menyedihkan ini. Jawabannya adalah karena saya ingin menegaskan satu hal penting, yaitu kita tidak pernah benar-benar tahu apa selama ini tidak kita miliki, sampai hal tersebut benar-benar ada di depan mata kita.
Kejadian di atas menunjukkan kepada saya hal fundamental yang selama ini tidak saya miliki, yaitu kesabaran dan tidak gampang menyerah. Ya. Untuk sebuah pelajaran dari hidup, terkadang kita harus mengorbankan sesuatu yang berharga. Bahkan sangat berharga. Yaitu kehilangan dia untuk selamanya.

Cairo, 22 Juli 2017
Ahmad Satriawan Hariadi


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India