Bulan
September tahun ini sungguh penuh dengan kejutan dan keanehan. Aku
menyambutnya, sementara apa yang paling aku inginkan tahun
ini—alhamdulillah—telah menjadi kenyataan. Ya. Aku berhasil mendapatkan gelar
Diploma Pascasarjana dari Universitas Al-Azhar tahun ini dengan nilai yang
cukup memuaskan. Dengan begitu, aku diperbolehkan mengajukan judul tesisku
untuk mendapatkan gelar Master.
Bahagia?
Tentu aku sangat bahagia. Namun, berdasarkan pengalaman seperempat abad
menghirup napas, aku selalu curiga dan waspada terhadap kebahagiaan yang
ditawarkan kehidupan kepadaku. Karena kebahagiaan yang ia suguhkan, pada
hakikatnya, tidak pernah murni. Selalu ada bayang-bayang kesedihan di baliknya.
Begitu juga dengan kesedihan yang menimpa. Tidak pernah seutuhnya. Karena
setelah direnungi, apa yang membuat seseorang sedih, tidak lain adalah alasan dia
untuk bahagia, jika dilihat dari perspektif yang berbeda.
Oleh
sebab itu, aku memilih untuk bersikap biasa saja. Tidak mau berlebih-lebihan
dalam merayakan kebahagiaan ini. Karena aku tahu betul, bahwa ia hanya sesaat.
Sehingga hal yang paling penting untuk dilakukan saat ini, adalah fokus pada
jalan hidup yang telah aku bentangkan; tanpa menghiraukan apakah aku sedang
bahagia atau diliputi kemurungan. Ya. Aku tidak peduli dengan suasana
perasaanku, sebagaimana aku tidak peduli dengan tujuanku. karena yang
terpenting adalah bagaimana aku tetap berjalan dengan semangat dan penuh
kesabaran.
Kejutan
di bulan September ini tidak lain adalah kehadiran orang baru, yang menurutku,
begitu spesial. Ia datang, sementara aku tidak sedikitpun berharap atau
terpikir, kalau kedatangannya akan sedini dan secepat ini. Di sinilah letak
keanehannya. Karena sosoknya adalah megaproyekku di masa depan; di mana semua usaha
dan perhatianku hanya bermuara untuk kebahagiaan dia, hingga bahkan aku dan dia
telah berada di alam lain. Akan tetapi langit rupanya berkata lain. Ya. Ia
mengirimkan sosok tersebut karena tujuan lain yang—semoga—sepenuhnya untuk
kebaikanku dan kebaikannya.
Aku selalu
percaya, bahwa setiap apapun yang datang dan pergi dari kehidupan kita, selalu
membawa tujuan tersirat atau menyisakan hikmah untuk direnungi. Jika kita
berhasil menerjemahkan tujuan dan hikmah tersebut dengan baik, tentu lidah kita
tidak akan berhenti melantunkan tahmid kepada Tuhan. Karena kita masih diberi
kesempatan untuk menilik celah-celah rahmat Tuhan kepada kita; sementara ribuan
manusia di belahan bumi yang lain, dalam waktu bersamaan, masih terjebak di
balik jeruji besi pikiran mereka yang sempit. Sehingga kita tidak perlu heran,
jika yang terdengar dari mulut mereka, saat langit tidak mengiyakan satu saja
keinginan mereka, hanyalah sumpah serapah kepada Tuhan.
Lalu
apa kira-kira tujuan kedatangan sosok spesial ini yang begitu dini? Aku belum
bisa menjawabnya saat ini. Yang jelas ia telah mengambil tempat spesial di hati
dan pikiranku. Aku akan membiarkan waktu menceritakan sendiri kenapa ia datang
di bulan September ini, kenapa ia datang tepat setelah aku menyelesaikan
diploma pascasarjanaku di Al-Azhar, kenapa ia datang saat aku hampir putus asa
terhadap eksistensi tulusnya sebuah jalinan.
Awal
musim gugur, 10 September 2017
Ahmad
Satriawan Hariadi