Untuk diketahui, ini adalah terjemahan dari kitab "Shuwar min Hayâh
al-Tâbi`în". Kitab tersebut adalah karangan Sastrawan Besar dari Suriah, Dr. Abdurrahman Ra'fat
Pasha (1920-1986). Coba-coba belajar menerjemah untuk mengisi waktu luang
selepas ujian akhir tahun di al-Azhar. Semoga bermanfaat dan bisa diambil
hikmahnya. Mohon maaf kalau ada diksi yang kurang pas.
“Aku belum pernah melihat orang yang lebih cerdas, lebih utama, dan
lebih bertakwa dari Abu Hanifah.” (Yazid bin Harun)
Ia memiliki paras wajah yang menawan dan enak dipandang. Postur tubuhnya
yang sedang-sedang, tidak terlalu tinggi, dan tidak juga terlalu pendek. Ia
juga memiliki logika berpikir yang luar biasa dan tutur kata yang indah.
Ia memiliki banyak pakaian, selalu berpenampilan elegan, dan suka wewangian.
Sehingga jika ia keluar rumah, orang-orang sudah mengetahui kehadirannya
sebelum ia menampakkan dirinya.
Dia adalah Nu’man bin Tsabit bin Marzuban, yang lebih dikenal dengan sebutan
Abu Hanifah. Dialah yang pertama kali mengodifikasikan ilmu Fikih dan
menyingkap keindahan ilmu tersebut. Dia juga dikenal sebagai peletak dasar sekaligus pendiri mazhab
Hanafi.
Abu Hanifah hidup di masa transisi kekuasaan, dari Dinasti Umawiyah ke
Dinasti Abbasiyyah. Pada masa tersebut para Khalifah dan gubernur sedang senang-senangnya memberi,
hingga seakan rizki itu datang dari berbagai penjuru (karena melimpahnya), namun
kebanyakan rakyat tidak menyadarinya.
Hanya saja Abu Hanifah lebih memilih untuk memuliakan ilmu dan dirinya sendiri.
Tak pelak, ia pun bertekad untuk mengais rizki Allah dengan kerja keras dan
usahanya sendiri, serta berkomitmen agar tangannya selalu berada di atas.
***
Suatu hari Al-Mansur, Khalifah kedua Dinasti Abbasiyyah, memanggil Abu Hanifah. Ketika
tiba di istana, sang Khalifah menyambutnya dengan senag hati dan memuliakannya
layaknya seorang tamu besar. Al-Mansur pun turun dari singgasananya dan duduk
di hadapan sang Imam. Beberapa saat kemudian ia mulai bertanya kepada Abu
Hanifah tentang permasalahan agama dan dunia.
Manakala sang Imam hendak beranjak ke tempat kediamannya, sang Khalifah
mengeluarkan kantong berisi 30.000 dirham (kurang lebih setara 1.05 Miliar
Rupiah) untuk Abu Hanifah. Tak ayal, ia
pun berkata, “Wahai Amirulmukminin,
sesungguhnya aku ini adalah orang asing di Baghdad, dan aku tidak
mempunyai tempat untuk menyimpannya. Oleh karena itu, aku benar-benar khawatir
jika aku membawanya pulang. Jadi simpanlah harta ini untukku di Baitulmal. Dengan demikian, kapan pun
aku membutuhkannya, aku bisa mengambilnya darimu.”
Mendengar perkataan Abu Hanifah, Khalifah al-Mansur mengiyakannya. Namun
tidak lama kemudian, ia dijemput Malaikat maut guna bersua di ribaan Tuhan. Setelah
kepergian sang Imam, ditemukan harta peninggalan Abu Hanifah yang diinfakkan untuk
rakyat, jauh melebihi apa yang diberikan Khalifah al-Mansur.
Tatkala berita tersebut sampai ke telinga sang Khalifah, ia lekas berkata, “Semoga
Allah merahmati Abu Hanifah, ia begitu rendah hati dan sopan. Ia tidak mau
mengambil sepeser pun dariku, ia begitu halus menolaknya.”
Abu Hanifah berprinsip bahwa sesuap makanan yang diperoleh dari hasil usaha
sendiri, jauh lebih bersih dan mulia dibanding yang lain. Oleh karena itu, kita
mendapati Abu Hanifah meluangkan waktu khusus untuk berbisnis.
Abu Hanifah berbisnis sutera, kain tebal yang terbuat dari bulu domba, dan
pakain lainnya. Kawasan bisnis beliau meliputi seantero negeri Irak. Ia adalah
pebisnis yang memiliki kredibilitas tinggi, baik di dalam transaksi jual beli
maupun yang lain.
Sehingga tak heran, para pelanggannya pun merasa puas, ketika melakukan transaksi
dengannya. Abu Hanifah hanya mengambil yang halal saja dari hasil usahanya
kemudiaan menginfakkan keuntungannya tersebut kepada yang membutuhkan.
Keuntungan bisnis Abu Hanifah sudah tentu mengalirkan kebaikan yang melimpah
kepada dirinya sendiri. Bagimana tidak, ia menginfakkan karunia Allah tersebut tanpa
tanggung-tanggung.
Ketika mendapatkan keuntungan besar, Abu Hanifah menghitung-hitung
keuntungannya. Setelah itu ia menyisakan keuntungan tersebut untuk menafkahi
keluarganya secukupnya. Adapun sisanyanya, ia menggunakan keuntungan tersebut
untuk membelikan kebutuhan paran penghafal al-Quran, pakar Hadis, pakar Fikih,
dan para pelajar.
Abu Hanifah juga memberikan tunjangan khusus kepada mereka. Ketika
menyerahkan tunjangan tersebut ia mengatakan, “Keuntungan ini adalah milik kalian
yang dikaruniakan Allah lewat diriku. Demi Allah, aku sama sekali tidak
memberikan hartaku sedikit pun. Aku hanya memberikan karunia Allah berupa
keuntungan bisnisku. Dan tentu tidak ada yang mampu memberikan semua ini
kecuali Allah.”
Bersambung...
Islamic Missions City, 14 Juli 2011
0 komentar:
Post a Comment