Tentang Penulisan Tesisku di Universitas Al-Azhar

Bersama promotorku

Aku tahu, tak banyak yang peduli urusan orang lain. Sebab setiap orang hanya peduli dirinya sendiri. Bahkan ketika seseorang membaca biografi atau cerita fiksi berupa cerpen atau novel, apakah dia membacanya karena benar-benar peduli urusan dan perjalanan hidup sosok yang dibacanya? Aku rasa tidak. Dia membaca biografi atau cerita fiksi karena ia menemukan kepuasan tersendiri di dalamnya. Jadi, bukankah itu bentuk kepedulian terhadap diri sendiri, dan bukan bentuk kepedulian terhadap orang lain? 

Ya. Hanya mereka yang sangat mencintaimu yang benar-benar peduli urusanmu, yang lebih mementingkan dirimu dan kebaikanmu ketimbang diri mereka dan kebaikan mereka sendiri. 

Tidak hanya itu. Hal ini berlaku juga untuk para haters sejatimu. Mereka begitu memedulikanmu, mengikuti semua alur hidupmu, dan mengetahui semua tentangmu. Bedanya, mereka selalu risih bahkan terbakar dahsyat dengan kebahagiaan dan pencapaian-pencapaian brilianmu. Lalu mereka akan menjadi makhluk yang paling bahagia dan merasa paling sukses di dunia ketika menyaksikan kamu berurai air mata dan kehilangan asa. 

Kembali ke perkataanku yang sebelumnya, yaitu tak banyak yang peduli urusan orang lain. Karenanya, aku merasa nyaman menceritakan segala hal tentang diriku di blog ini. Selain karena memang tidak ada yang memedulikanku dan urusanku, aku juga merasa—dan semoga perasaanku ini adalah sebuah kekeliruan—bahwa kita rupanya tidak akan pernah sembuh dari penyakit malas membaca. 

Bahkan, aku seringkali merasa bahwa ketika aku menulis apa pun tentang diriku di blog ini, aku seumpama menulis di atas kertas kosong yang tak lama kemudian kusobek-sobek untuk kubuang ke tempat sampah. Bukankah selalu ada semacam ketenangan dan kelegaan, ketika kita berhasil menumpahkan semua kenyataan pahit dan keluh kesah hidup kita dalam sebuah coretan-coretan pendek. 

Kali ini, aku ingin bercerita tentang tesisku. Mungkin kamu sudah tahu, aku sudah lulus tamhidi dua pascasarjana di Universitas Al-Azhar sejak Agustus 2017 lalu. Kemudian setelah berusaha sekuat tenaga, sembari ditopang dengan ketegaran yang luar biasa karena menghadapi penolakan demi penolakan proposal tesis yang kuajukan; akhirnya pada bulan Maret 2018, judul tesisku diterima oleh senat fakultas atau majlis al-kulliyyah

Ketika itu, aku merasa bahagia sekali. Seumpama jalanan Kairo yang rusuh dan sampah yang berserakan di mana-mana, tiba-tiba, di mataku, menjadi taman asri yang penuh dengan kicau burung yang membawa ketenangan. Di situlah aku merasa telah menjadi mahasiswa pascasarjana seutuhnya, yang hidupnya hanya berkutat dengan referensi, jurnal, dan diskusi.

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Karena pada keesokan harinya, aku baru menyadari bahwa aku baru saja memasuki alam baru nan luas, tanpa persiapan yang matang. Gamang. Bingung. Tidak tahu harus memulai dari mana. Referensi sangat minim. Tidak adanya kepercayaan diri untuk mulai menulis, karena bacaanku tentang tema yang aku garap begitu terbatas.

Itulah kendala-kendala yang kuhadapi saat itu. Namun semua hal tadi tidak sebanding dengan kekesalanku yang memenuhi dadaku, ketika aku menyadari bahwa aku sedang meneliti sebuah fenomena dalam antologi puisi milik seorang penyait Arab abad ke-11 Masehi. Dalam artian, aku harus mempelajari dan memahami dengan baik semua puisi yang ada pada antologi setebal 365 halaman tersebut, guna menemukan puisi yang berkaitan dengan tema yang aku bahas. Jika kamu pernah mencoba membaca dan memahami puisi Arab klasik dengan baik, setidaknya tergambar di benakmu dimensi dan kadar kesusahan yang terbentang di hadapanku saat itu.  

Semua hal tadi membuatku teringat pada perkataan Muhammad Taufiq, seniorku dulu di Asrama Buus. “Saya heran dengan mereka yang menganggap masa-masa tamhidi pascasarjana itu adalah hal tersulit ketika kita mengambil S2 di Al-Azhar. Padahal, menulis tesis itulah yang kesulitannya berkali-kali lipat di atas ujian tahmidi yang terkenal ketat dan susah itu,” ujarnya kepadaku.

Benar. Selama tahun 2018 hingga pertengahan 2019, aku belum menyetorkan selembar pun kepada promotor tesisku. Sebab aku hanya memfokuskan diri untuk melengkapi referensiku dan membaca semua referensi tersebut. Ditambah lagi, pada Juni 2018, aku pulang ke tanah air, dan baru kembali lagi ke Mesir pada awal Oktober 2018.

Di sini, aku tidak ingin membela diri dengan menyebutkan kepulanganku selama empat bulan lebih. Aku memang malas dan terlalu santai. Sehingga aku baru mulai menyetorkan tulisanku pada September 2019. Wow! Lebih dari satu setengah tahun sejak judulku diterima, aku baru menyetorkan tulisan pertamaku kepada kedua promotorku. Aku pemalas, bukan?! Dan tidak ada hal yang lebih menunjukkan kemalasan dan kebobrokanku selain fakta, bahwa hingga detik ini tesisku belum-belum selesai juga.

Aku tahu. Kamu pasti kecewa. Namun tahukah kamu, kalau aku dulu pernah berjanji kepada diriku bahwa aku harus menjadi sosok yang mandiri ketika berusia 25 tahun. Dan benar. Aku merasa Allah mengabulkan tekadku untuk tidak membebani orang tuaku saat usiaku genap seperempat abad. Karena pada bulan September 2017, aku mendapat telepon dari Pak Atdikbud Usman Syihab. Beliau merekrutku menjadi tenaga honorer part time di Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI, atas rekomendasi dari sahabatku, Agus Susilo. Mulai saat itu juga, aku meminta kepada orang tuaku untuk tidak lagi mengirimiku uang bulanan.

Aku juga tidak ingin menjadikan keadaanku yang memaksaku untuk belajar sambil bekerja sebagai alasan kenapa tesisku tidak juga kelar sampai detik ini. Karena faktanya, aku memang payah dan pemalas. Namun, aku merasa bahwa aku juga perlu menceritakan sisi terang dari penulisan tesisku. 

Ya. tesisku memang sudah hampir rampung. Dan pada waktu yang sama, promotorku yang selalu memarahiku karena kemalasanku, kini begitu menyayangiku. “Aku ini bapakmu, Ahmad, ujar beliau dengan lembut kepadaku saat aku menemuinya Selasa kemarin (29/12). Kalau ada masalah, jangan sungkan-sungkan untuk menelponku. Ayo, Ahmad! Segera selesaikan tesismu! Setoran terakhirmu yang kemarin itu sangat bagus.” 

Aku kira ceritaku kali ini cukup sampai di sini. Sampai ketemu pada ceritaku selanjutnya. []

 

Islamic Missions City, 3 Januari 2021

Ahmad Satriawan Hariadi  


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India