Ini adalah artikel Taha Hussein berjudul
“Milad wa Milad”, yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Artikel ini
pertama kali dimuat di harian El-Gomhuria, 28 Oktober 1955. Lalu dimuat ulang
oleh Majalah Al-Azhar pada edisi Rabiul Awal 1436/Januari 2015.
Merujuk pada tahun penulisannya, artikel
ini ditulis pada fase keempat atau terakhir, dari perjalanan hidup Taha Hussein. Sebuah
fase yang --kata Prof. Dr. Muhammad Imarah-- di dalamnya Taha Hussein
mengumumkan secara tegas kepada khalayak, bahwa ia menyelisihi pemikiran-pemikiran yang dulu
menyimpang; baik di bidang keagamaan maupun kesusastraan.
Pada artikel ini anda akan
mendapati Taha Hussein yang bangga dengan Islamnya, bangga dengan Nabinya,
bangga dengan Qurannya, bangga dengan sejarah dan kebudayaannya. Itu semua
begitu jelas saat ia mengadopsi begitu banyak kandungan Alquran ketika menulis
artikel ini.
Selamat membaca! Semoga bermanfaat.
Hay Asyir, 2 Januari 2015
(Ahmad Satriawan Hariadi)
***
Perayaan ulang tahun Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang kita saksikan beberapa hari yang lalu sungguh aneh.
Bagaimana tidak, yang terlihat secara kasatmata adalah merayakan keamanan dan
kedamaian. Sedangkan yang sebenarnya mereka rayakan adalah peperangan dan
kelaliman, atau paling tidak, mereka merayakan kebimbangan dan kecemasan.
Lalu hari ini kaum Muslimin di
seluruh dunia berbondong-bondong merayakan hari jadi, yang sama sekali tidak
ada sedikitpun campur tangan manusia di dalamnya. Tidak peduli apakah campur
tangan tersebut berupa hipotesis, perencanaan, perundingan, pendekatan,
perdebatan, ataupun pemaksaan yang tidak bersumber dari nurani.
Iya, kaum Muslimin merayakan hari
jadi sosok yang terlahir ke muka bumi, tanpa ada tabuhan gendang ataupun tiupan
terompet yang mengiringi kelahirannya. Sosok yang terlahir namun tidak ada
kibaran panji yang menyambutnya. Sosok yang terlahir namun tidak ada untai-untai
mimpi yang menantinya. Sosok yang terlahir namun tidak ada tumpukan kelakar
jiwa yang menawarkannya harapan.
Iya, sosok tersebut terlahir
sebagaimana umumnya kebanyakan. Sebagaimana keluarga sederhana yang bahagia karena
kedatangan anggota baru. Namun kebahagiaan keluarga tersebut nyatanya diliputi
rasa iba yang mendalam, karena bayi tak berdosa tersebut terlahir dalam keadaan
yatim. Bapaknya terlebih dahulu tiada
saat ia di dalam kandungan ibunya.
Bahkan ia belum saja menikmati
hari-hari indahnya saat ia harus menelan pahitnya kesedihan, saat ia harus berkabung
dalam duka yang menyayat hati, saat ia dan keluarganya harus merasakan semua
itu; yaitu saat ibunya tertakdirkan untuk berpulang selama-lamanya, dan ia
sendiri belum genap berusia tujuh tahun.
Ia kemudian tumbuh dan berkembang,
sebagaimana umumnya anak yatim piatu, di bawah asuhan kerabatnya. Ia menjalani
hari-harinya seperti kebanyakan orang. Tidak ada sedikitpun yang spesial.
Manusia pun tidak peduli dengannya. Perkataan dan perbuatannya sama sekali
tidak mengubah lifestyle mereka.
Ini bukan karena apapun,
melainkan karena ia adalah seorang yatim yang menjalani kehidupan layaknya para
yatim. Para yatim yang hidupnya tidak selalu serba ada dan mudah. Para yatim
yang kesusahan dan sempit penghidupannya lebih kentara ketimbang kemudahan dan
kenyamanannya. Lalu belum saja menginjak remaja, ia sudah harus banting tulang
seharian penuh, sebagaimana orang-orang yang mendapati dunia begitu bakhil
dengan kebaikannya dan kenyamanannya.
***
Pada suatu hari, saat ia sudah
mencapai kematangan mental dan pikirannya, saat ia sudah menjadi lelaki
seutuhnya, saat ia sudah cukup sigap untuk melawan segala macam dan bentuk aral
yang melintang; ia menyampaikan dakwah yang belum pernah didengar oleh
orang-orang terdekatnya, hingga membuat mereka ketakutan.
Ia menyerukan dakwah yang serupa
kepada khalayak ramai, hingga mereka memberontak penuh perlawanan terhadap
dakwah maupun dirinya. Tak ayal, kaumnya pun melakukan segala cara untuk
menghilangkan riak-riak dakwah dan si empunya. Meskipun demikian, tetap saja ada
segolongan manusia yang memenuhi ajakannya. Iya, mereka adalah sekelompok kaum
lemah dan tertindas.
Iya, mereka yang lemah dan
tertindas inilah yang menjadi pengikutnya. Keadaan dirinya sendiri dan para
pengikutnya yang lemah dan tertindas, justru membuatnya semakin kuat dan
agresif. Keadaan lemah dan tertindas ini justru menjadikan ia dan pengikutnya semakin
teguh hati menghadapi cobaan, semakin sabar menahan sakit dan pedih, semakin tegar
melawan fitnah dan cemoohan.
Jasad-jasad mereka berharikan perih
dan tangis, sementara jiwa-jiwa mereka larut dalam bahagia dan tenang. Sempitnya
penghidupan meliputi mereka, sementara bunga-bunga harapan semakin bermekaran
di pelupuk mata mereka. Ketakutan mengepung mereka dari segala penjuru,
sementara hati mereka semakin penuh terisi iman, rida, percaya diri, dan rasa
aman.
Lalu untuk menyelamatan agama dan
dakwah, mereka harus meninggalkan kampung halaman. Iya, mereka meninggalkannya
dengan kepala tegak, tanpa ada keragu-raguan sedikitpun. Bahkan mereka meninggalkan
semua itu dengan gembira dan senang hati. Mereka lebih memilih hijrah bersama
agama, ketimbang bercengkrama dengan sanak saudara di rumah. Mereka lebih
memilih pergi bersama keyakinan, tanpa peduli banyak atau sedikitnya harta dan kekayaan
mereka di kampung kelahiran.
Kemudian saat mereka harus
berperang mempertahankan keyakinan dan negeri dari invasi kaum Musyrikin,
mereka menjalaninya tanpa ada sedikitpun rasa gentar, tanpa ada secuilpun rasa
iba. Mereka menjalani untaian peperangan ini dengan tegar, sebagaimana
ketegaran mereka melawan fitnah dan cemoohan sebelum hijrah. Allah pun
memenangkan mereka dalam sebagian besar peperangan, dan menguji keimanan mereka
dengan pahitnya kekalahan di sebagian kecilnya.
***
Tak lebih dari 20 tahun sejak dikumandangkannya
dakwah ini, tiba-tiba wilayah luas yang dahulu penduduknya terkotak-kotak, kini
bersatu-padu. Penduduk wilayah tersebut kini dirajut dalam indahnya
persaudaraan, setelah dulu bermusuhan. Penduduk yang dulu hidup terpasung dalam
kubangan kebodohan, kini menjadi manusia yang sangat mencintai ilmu,
mendambakan hikmah, dan sigap terhadap apa yang namannya pengetahuan; tak
peduli jarak dan waktu. Penduduk yang dulu terjajah dalam kegelapan dan
kesesatan, kita hidup merdeka dalam cahaya dan hidayah.
Iya, mereka lah yang dulu keras
kepala, berhati batu, dan bertabiat kasar. Tidak hanya itu, mereka membunuh
anak-anak karena takut miskin, dan mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena
takut cemoohan. Lalu lihatlah, kini mereka menjadi sangat penyayang. Hati
mereka menjadi lunak dan halus setelah sebelumnya keras dan kasar. Mereka
menjadi orang-orang beriman, yang bila disebut nama Allah, hati mereka gemetar;
dan bila dibacakan ayat-ayat-Nya, iman mereka bertambah.
Mereka lah yang hanya menyembah
Allah, tanpa menyekutukan-nya dengan siapapun. Mereka lah yang menjadikan
kehidupan dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Mereka lah yang sepenuhnya yakin,
bahwa kehidupan dunia tidak akan bisa menjadi wasilah yang pas untuk menggapai
keridaan Allah, jika mereka tidak berlaku adil terhadap siapapun.
Dengan berlaku adil, mereka tidak
tidak lagi membeda-bedakan mana yang kuat dan lemah, mengotak-ngotakkan mana
yang kaya dan miskin, memetak-metakkan mana yang Arab dan nonarab. Dengan
berlaku adil, mereka hanya tahu bahwa semua manusia sama, terkait hak dan
kewajiban mereka. Kemudian tidak ada yang membedakan mereka selain ketakwaan,
kebaikan, dan taraf kesungguhan dalam menyebarluaskan kebaikan.
Tak lebih dari 20 tahun sejak
wafatnya, bangsa yang bersatu setelah bercerai-berai, bersepakat setelah
berselisih, melunak setelah kasar dan keras seperti batu, dan mulai belajar
dari kesalahan dan kebodohan; berubah menjadi bangsa yang paling kuat di muka
bumi. Bangsa tersebut tidak hanya membumikan keadilan dan kebaikan di tanah
Arab saja, tapi di seluruh dunia. Mereka lah yang membebaskan umat manusia dari
kubangan kebodohan dan kezaliman, kemudian mengarahkannya menuju cahaya ilmu
dan keadilan.
***
Hari ini kaum Muslimin
berbondong-bondong merayakan hari jadi sosok yang mengubah kehidupan manusia. Menyibukkan
mereka dengan kebajikan, setelah sebelumnya tersibukkan oleh kemungkaran. Mengisi
hati mereka dengan kasih sayang, setelah sebelumnya berisikan kekerasan. Mengajari
mereka makna keadilah, setelah sebelumnya hanya mengenal penindasan dan
kezaliman.
Jika dicermati lebih dalam, ia
sebenarnya tidak memikul beban dakwah yang berat dan begitu berbahaya ini seorang
diri. Tetapi yang menolongnya adalah Tuhan, yang melindunginya saat ia terlantar,
yang memberinya petunjuk saat ia bingung, dan yang mencukupkannya saat ia serba
kurang.
Dialah yang kemudian memerintahkannya
untuk membacakan kepada kaumnya ayat-ayat-Nya, dan mengajarkan mereka Alquran dan
Sunah. Dialah yang memerintahkannya untuk mengeluarkan umat manusia dari gelapnya
kekafiran menuju cahaya keimanan. Lalu lihatlah, kini ia telah menunaikan
amanah dan risalah yang diemban dengan sempurna. Memberikan kesempatan kepada
umat manusia untuk terlahir kembali, sesuai dengan fitrah penciptaan mereka.
***
Dengan demikian, sungguh jauh
perbedaan antara apa yang dirayakan oleh orang-orang Barat beberapa hari yang
lalu, dengan apa yang dirayakan oleh kaum Muslimin. Orang-orang Barat merayakan hari jadi PBB yang nyatanya belum
bisa berbuat apa-apa. Akibatnya, mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Sedangkan apa yang dirayakan oleh
kaum Muslimin hari ini, kuasa untuk merealisasikan mimpi-mimpi mereka; yaitu
membumikan keadilan, kebenaran, dan kebajikan di tengah-tengah masyarakat. Mengapa?
Karena risalah Muhammad tidak terhenti dan terputus dengan kepergian sang Nabi,
melainkan terus berlanjut dan berlaku hingga akhir zaman.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya
Nabi Muhammad selalu ada —bahkan memiliki tempat spesial— di hati kaum Muslimin;
kapan saja dan di mana saja. Keadaan demikianlah yang senantiasa mengaktualkan
kebajikan sekaligus mencegah kemungkaran. Keadaan demikianlah yang hanya
mampu membuat umat manusia berlomba-lomba dalam kebaikan.
Keadaaan demikianlah yang kuasa
menjelaskan kepada kaum Muslimin, bahwa mereka tidak akan memiliki kekuatan dan
suara yang didengar; kecuali jika berpegang teguh pada agama Allah dan tidak
bercerai berai. Keadaan demikianlah yang bisa membuat mereka senantiasa
ingat kalau hanya dengan nikmat Allah, mereka kini bersatu padu dalam indahnya
persaudaraan, setelah dulu bermusuh-musuhan. []