Kelogisan yang Hilang dan Alquran

Sampai sekarang, masih banyak cerita atau film anak-anak yang bercerita tentang kesaktian, manusia terbang, mengubah batu menjadi emas, berubah menjadi manusia super, dan lain-lain. Bahkan, mereka semakin kreatif untuk membuat hal-hal demikian. Memang, hal tersebut mengajarkan dan selalu berpesan kalau kebenaran akan selalu menang. Tapi, tahukah anda dampaknya bagi anak-anak anda?

Di antara dampak yang paling signifikan dari hal-hal tersebut adalah menghambat anak-anak anda untuk berpikir logis dan cenderung malas untuk berusaha, akibat keajaiban yang tak kunjung tiba. Bukan kesaktian ataupun khayalan menjadi kesatria yang menjadikan seseorang sebagai sosok agung, atau suatu bangsa berperadaban. Sama sekali bukan.


Yang menjadikan seseorang sebagai sosok agung adalah cara berpikirnya yang logis, sebab ia meyakini kalau sunnatullah (hukum sebab akibat) pasti akan berlaku kepada pemegang identitas kehidupan. Begitu juga dengan sikapnya yang reali
stis, yang diiringi dengan ketekunan dalam berusaha, hingga ia menggapai mimpi-mimpinya. Umat yang berperadaban bukan mereka yang terkungkung dalam khayalan kesaktian dan mukjizat dari langit. Alquran mengajarkan umatnya agar mereka realistis.

Jika anda ingin mempersiapkan generasi agung yang siap membangun peradaban, mulailah dari anda sendiri dan orang-orang terdekat anda (anak-anak). Mulailah memahami alquran seutuhnya. Sebab Alquran mengajari kita untuk berpikir logis, tekun berusaha, bersikap superior, selalu waspada terhadap bahaya meskipun saat beribadah, serta ikhlas dan jujur terhadap diri sendiri. Inilah rahasia para pendahulu ketika mereka membangun peradaban.

Dengan demikian, satu-satunya cara untuk merobohkan mental pecundang dan sikap hipokrit yang menggerayangi hati dan pola pikir umat ini adalah dengan kembali kepada Alquran. Bukan kembali membaca ataupun mengahafalnya tanpa tahu makna dan gagasan universal dari bacaan maupun hafalan, apalagi memahaminya dengan pemahaman yang menyelisihi karakteristik agung Islam.

Tetapi kembali dalam artian memahami maksud dan tujuan universal Alquran sebagai rahmatan lil alamin. Satu-satunya jalan untuk menggapainya adalah dengan memanifestasikan Alquran dalam diri kita dan seluruh umat ini. Sehingga generasi yang membangun peradaban kelak adalah "Generasi Alquran Berjalan".

27/01/2013
Pencari Alquran yang hilang

PENYESALAN

Tiba-tiba malam ini aku merasa begitu terusik dengan karyaku sendiri. Bisa dikatakan, kalau untuk pertama kalinya aku menyesal menulis puisi dalam hidupku. Berawal dari obsesi yang kuat untuk eksis, hingga akhirnya mencoba hal-hal yang aku pikir tabu bagi kebanyakan orang. Memang, aku sangat suka melawan perkara-perkara yang masih abstrak di mataku. Bahkan, aku sangat siap menerima risiko dari perlawananku tersebut.

Puisi tersebut berjudul "Pergi Selamanya", yang kutulis pada tanggal 17 januari kemarin. Belakangan ini, aku dibuat begitu naif oleh puisi tersebut. Bagaimana tidak, puisi tersebut menceritakan perihal seseorang tertinggal menikah oleh orang yang dikaguminya diam-diam. Parahnya lagi, aku mengambil ide dari pernikahan sahabat sekaligus rekanku di Jurnal Himmah, Salsabila.  Akibatnya, persepsi-persepsi miring pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Iya, mereka mengira aku terjangkit virus "Galau", karena pernikahan tersebut.

Dalam hati sih aku terkakak-kakak mendengarnya. Sebab, aku berhasil memvisualkan tokoh utama puisi tersebut begitu menyedihkan, dan hampir seperti kenyataaan. Semua instrumen --fakta, opini, maupun khayal-- yang kupakai, hampir akurat 100%, sebab semua yang ada pada diri Salsabila ataupun puisi-puisinya sukses kugunakan sebagai instrumennya, kecuali deskripsi gadis yang jenjang (berpostur tinggi), bermata lentik, cekatan merawat pujangga, dan menerima apa adanya.

Keempat karakteristik itu memang pernah kupakai pada puisiku "Sesal dan Harap" untuk mendeskripsikan gadis salju impianku dalam puisi "Kebahagiaan Mereka dan Obsesiku". Secara eksplisit, karakter pertama dan kedua tersebut memang tidak dimiliki oleh Salsabila. Adapun karakter yang ketiga dan keempat hanya sekedar asumsi belaka, sebab pasangan yang baik --menurut tabiat kaum laki-laki-- adalah pasangan yang perhatian dan qanaah. Aku pun tidak tahu apakah Salsabila memiliki kedua karakter tersebut atau tidak, sebab aku tidak terlalu intens bergaul dengannya.

Kini, puisi "Pergi Selamanya" pun menjadi bumerang bagiku. Selain itu, rasa bersalahku pun menghatui, karena mengusik kebahagiaan orang lain. Kesalahan ini tidak boleh terulang kembali. Jangan sampai, rasa penasaran dan coba-coba untuk membuat puisi galau akibat ditinggal nikah --karena sukses membahasakan indahnya pernikahan Yusuf Nugroho dan Jurishiwa Katsuki dalam puisi "Kebahagiaan Mereka dan Obsesiku"-- jadi pengganggu orang lain. Aku menyadarinya sekarang. Untuk kali ini aku salah. Aku meminta maaf kepada semuanya.

Islamic Missions City, 21 Januari 2013
Ahmad Satriawan Hariadi

KEMATIAN

kematian mengajariku arti kesempatan
hari yang kulewati selalu mati bersama cahaya merah jingga
artiku tetap tak berati jika sekedar menghembuskan napas
adaku tak berada jika sekedar terbangun lalu kembali terlelap
puasku tak memuaskan jika hanya menelan lalu membuang
aku mati sebelum mati!

kematian mengingatkanku arti detak jantung ini
semuanya berkalang dari denyut ini
ada kasih yang setia menggerakkannya
ada karunia yang tak berhenti mengaliri jasad ini
ada kekuatan yang membuat aku tersimpuh lusuh tak berdaya
ada jalan yang selalu ia buka agar aku kembali sebelum masaku tiba

kematian menuntunku ke asal mulaku
bermula seperti kain putih, lalu kini terbalut kain putih
sahabatku hanyalah apa yang kugoreskan semasa hidup
sedang selebihnya hanyalah tinta-tinta kering yang masam
aku ingin tersenyum saat kematian
aku ingin tersenyum.. 

18 Januari 2012
Ahmad Satriawan Hariadi

Pergi Selamanya (Puisi)

aku tak menyangka kalau rasa yang terpendam akan berakhir iba. dengan nama Pencipta, namanya telah tersulam dalam malam. sulaman yang menemaniku sepanjang senja. dengan perasaan yang diam-diam, kutulis "Sehari Hidupku" untuknya. dengan menatapnya, kutulis "Sesal dan Harap" sebagai bingkah doa. dialah gadis jenjang bermata lentik yang cekatan merawan pujangga apa adanya.

lalu apa setelah ini?

kata-kataku terhenti menahan peri. rintihan sayup-sayup kesedihan bermuara dari sini. kau tak lagi luasa berterbangan di atas bunga-bunga yang ranum. pujangga itu tiba-tiba datang mendekapmu. jalanmu pun bermuara ceria dalam perasaan yang tak menentu. iya, kau telah menemukan kepingan hati yang tersurat dari langit. aku pun berakhir dalam sendu pertengahan jalan.

mengapa begini?

mengapa baru sekarang? padahal jiwa ini telah memaknai wujudmu sekian lama. merinaikan senandung ragamu yang membuat malamku kepayang. tak usah kau sangka, akulah yang mencari wujudmu diam-diam. membaca duniamu. mengeja kata-kata yang kau goreskan saat cahaya lembayung meredup lemah. bertanya-tanya, mengapa khayalmu selalu penuh dengan "camar" dan "peri"?

inilah masanya..

aku harus jujur dengan hembusan napas ini. letih rasanya menyimpan rapat, namun menyisakan harapan yang menyesakkan. kau telah didekap lalu pergi untuk selamanya. kau telah memerah jingga lalu terbenam selamanya. kau telah mengalir lalu bermuara selamanya. kau telah pergi lalu tak pernah kembali lagi selamnya.

inilah cerita tentang gundahnya hati tertinggal pergi. semoga bahagia hingga menapak taman surga. dalam sunyi, doa ini kupanjatkan untuk keabadian kalian berdua. akulah yang tak tahu harus berkata apa. remuklah aku dalam perasaanku. tak ada lagi perasaan dan harapan.

Hingga masaku tiba..


17 Januari 2013

Setelah menerima kabar bahagia itu langsung darinya

Fakih Eksklusif


Melihat kemampuan Imam Syafii dalam mengambil kesimpulan hukum fikih dan kedalaman analisisnya, pemuda itu pun bertanya kepadanya, “Bagaimana anda mencapai level setinggi ini dalam kesimpulan fikih dan analisis anda?” Imam Syafii menjawab, “Aku belajar seluk beluk kehidupan sosial selama 20 tahun lamanya untuk memudahkanku dalam mengambil kesimpulan fikih.”

Cerita di atas, terlepas dari kebenarannya, cukup menggambarkan kepada kita bagaimana seorang fakih, atau akademisi muslim pada umumnya, harus benar-benar matang, baik ilmu pengetahuan, wawasan, maupun pengalaman. Ia harus mempersiapkan dirinya secara multidimensi dan maksimal. Kesiapan multidimensi mencakup keluasan pengetahuan terhadap ilmu agama, kejelian pikiran dalam menyingkap makna-makna yang tersirat dalam teks-teks sumber hukum serta kaitannya satu sama lain, dan kelapangan dada untuk turun langsung ke ranah kehidupan untuk membaca realitas sosial dan konstelasi politik yang marak diperbincangkan. Selain itu, ia harus memiliki kesiapan yang maksimal, baik mental maupun fisik. Dengan kata lain, seorang akademisi muslim harus benar-benar all out di dalam kehidupan ilmiahnya, tidak boleh setengah-setengah.

Titik tekan dari cerita di atas sebenarnya ada pada pentingnya seorang fakih untuk membaca realitas kehidupan. Inilah yang seringkali dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan akademisi muslim, karena beberapa sebab; di antaranya adalah terlalu terpaku pada teks sumber hukum atau pun  pada fatwa ulama-ulama terdahulu, begitu juga dengan pola pikir sang fakih yang sangat sempit, keengganan untuk melihat realitas umat dan bergaul dengan masyarakat luas (eksklusif), dan lain sebagainya. Akibatnya, hikmah Islam sebagai rahmatan lil alamin pun tergerus bersama hilangnya humanisme Islam, fleksibelitas, toleransi terhadap pemeluk Islam sendiri maupun pemeluk agama lain, dan empat karakteristik Islam lainnya sebagaimana dicatat oleh Sheikh Al-Qaradhawi di dalam al-Khashâ’ish al-‘âmmah li al-Islâm.

Tidak hanya itu, sifat eksklusif fakih ini juga berimbas pada perubahan paradigma masyarakat terhadap agama. Mereka menganggap agama hanya ritual-ritual yang menjadi rutinitas. Bahkan, mereka menganggap agama sebagai kungkungan yang setiap orang harus berlepas darinya, karena dianggap mengebiri hak-hak personal.

Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan kondisi sastra. Suatu hari, Prof. Thahir Abdul Lathif, dosen mata kuliah Sastra Arab di Fakultas Dirasat Islamiyah, pernah ditanya, “Man huwa al-adîb?” (Siapakah sastrawan itu?) Ia menjawab, “Al-Adîb huwa alladzi yamsyî tahta aqdâm al-mujtama.” (Sastrawan itu adalah mereka yang berjalan di bawah telapak kaki masyarakat). Dalam hal ini sungguh jelas, bahwa sastrawan yang sebenarnya adalah mereka menggunakan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dimengerti tatkala dibaca oleh berbagai lapisan masyarakat,  namun bermakna dalam dan penuh dengan pesan-pesan moral.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa adanya kemiripan antara “sastrawan aristokrat” dengan “fakih eksklusif” dalam hal orientasi dan cara pandang, yang masing-masing berusaha menjauhkan nilai-nilai dari sastra dan agama. Bahkan, fakih eksklusif inilah yang paling bertanggung jawab atas perubahan paradigma masyarakat terhadap agama. Jika sejatinya agama adalah pengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari aturan personal hingga kehidupan berbangsa dan bernegara, maka agama di mata masyarakat saat ini adalah kumpulan ritual personal yang membosankan. Parameter takwa dalam konsep relasi vertikal, maupun parameter akhlak dalam konsep relasi horizontal, hanya tertulis di buku-buku sejarah para pendahulu. Tujuh kakteristik universal Islam yang seharusnya menjadi landasan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sekedar teori yang tak kunjung diaktualkan.

Di samping itu, ada beberapa kalangan dari akademisi muslim yang hanya menjadikan Islam sebagai alat legitimasi untuk mempropagandakan ide-ide impor yang pada dasarnya sangat sulit diterima oleh nalar dan fitrah manusia. Permasalahan yang paling kentara dan banyak diperbincangkan oleh kalangan ini adalah kebebasan (liberty), persamaan (egality), dan kesetaraan (fraternity), yang berujung pada integrasi semua agama. Dalam hal ini, Islam jelas-jelas mempunyai jalan sendiri dalam memandang ketiga hal tersebut. Namun lagi-lagi, tidak banyak kaum muslimin yang mengetahuinya, apalagi mengamalkannya.

Jika ditelusuri, penyebab munculnya kalangan akademisi muslim yang seperti ini adalah karena hilangnya nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasi sekaligus karakter setiap pemegang identitas muslim; seperti keikhlasan, kejujuran, dan lain-lain. Akibatnya, orientasi mereka dalam mempelajari agama bukan lagi untuk tegaknya kalimat Allah di muka bumi, namun karena tujuan-tujuan tertentu. sehingga mereka hanya mempelajari Islam secara umum, bukan secara mendetail.

Dalam hal ini, Imam Syafii merupakan tipe ideal seorang akademisi muslim. Ia merupakan sosok yang matang, baik ilmu, wawasan, maupun pengalamannya. Setelah mematangkan ilmu agamanya, ia tak segan-segan untuk mendalami berbagai disiplin ilmu sosial dan bahasa, yang secara tidak langsung sangat membantunya dalam memecahkan berbagai macam permasalahan fikih. Sehingga aktualisasi Islam sebagai rahmatan lil alamin benar-benar termanifestasi di dalam dirinya sebagai seorang akademisi muslim teladan sepanjang sejarah.

Di era modern, kita melihat beberapa fakih/akademisi muslim  yang yang patut dijadikan teladan dalam membaca realitas sosial dan konstelasi politik; seperti Syeikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqhu al-Aulawiyât (Fikih Prioritas), Fiqhu al-Aqaliyyât al-Muslimah (Fikih Muslim Minoritas), Min Fiqhi al-Daulah (Fikih Bernegara), dan lain-lain; begitu juga dengan Grand Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi dalam Muʻamalât al-Bunûk wa Ahkâmuha al-Syarʻiyyah (Hukum-hukum Syariah Transaksi Perbankan); demikian pula halnya dengan Syeikh Muhammad Imarah dalam Fiqhu Muqâwamah al-Istibdâd al-Siyâsi (Fikih Melawan Tirani), salah buku yang ia tulis pascarevolusi 25 Januari 2011 kemarin.


Mereka semua telah membuktikan bahwa hidup seorang fakih/akademisi muslim tidak hanya berkisar antara rumah atau perpustakaan. Seorang fakih justru harus membaca realitas dan mengikuti perkembangan zaman. Ia harus berbekal dengan berbagai ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Seorang akademisi muslim harus pandai memainkan kejelian pikirannya—dengan asas takwa dan jujur—untuk menguraikan hikmah dan kemudahan ajaran Islam. Sehingga Islam benar-benar menjadi pola hidup manusia, baik yang berkaitan dengan relasi vertikal maupun horizontal, di tangan para akademisi muslim yang sejati. Begitu juga Islam menjadi dasar konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Shaqr Quraisy, 15 Januari 2013
Artikel ini dimuat di Buletin Terobosan, Edisi Interaktif Liburan, 31 Januari 2013

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India