66 Tahun Indonesia, Bagaimana Memaknai Kemerdekaan (Catatan Kecil)



Tidak terasa usia Ibu Pertiwi semakin tua, hari ini Ibu Pertiwi tepatnya berusia 66 tahun. Usia yang tidak muda lagi, begitu banyak rentetan pristiwa yang mengiringi perjalanannya. Mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan, penumpasan gerakan-gerakan sparatis pada dekade 50-an, kemudian pengkhianatan oleh kaum komunis pertengahan 60-an sekaligus tumbangnya rezim Soekarno dengan ideologi Nasakom-nya.

Selanjutnya bangsa kita dipimpin oleh Soeharto selama tiga dekade menggunakan sistem militer-parlemen-birokrasi, kira-kira begitulah bahasanya. Sistem sudah terbukti mempertahankan kekuasaannya selama 30 tahun lamanya. Namun pada akhir dekade 90-an tepatnya tanggal 21 Mei 1998, rezim yang begitu kokoh itu roboh oleh para mahasiswa dari seluruh penjuru tanah air, kekuatan mereka yang dianggap begitu enteng ternyata bisa meluluhlantakkan tatanan birokrasi rezim Orde Baru, padahal jumlah mahasiswa pada saat itu tidak lebih 10% dari seluruh warga negara Indonesia.

Begitulah, pelajaran berharga yang dapat dipetik adalah jangan meremehkan sesuatu yang kecil, karena gunung yang begitu besar berasal dari bebatuan kecil atau lautan yang begitu luas dan dalam juga berasal dari tetesan air, kira-kira begitulah bunyi pesannya.

Kembali pada pembahasan, setelah itu bangsa kita memasuki fase baru yaitu zaman reformasi yang tentu Anda tahu dengan berbagai kebebasan berekspresi di khalayak umum. Zaman yang baru berumur 13 tahun ini ternyata sudah mengalami pergantian presiden sebanyak 4 kali, mulai dari BJ Habibie sampai dengan SBY yang hingga kini masih memimpin negeri ini.

Nah! Kira-kira begitulah ringkasan singkat perjalanan bangsa kita yang tercinta ini untuk sekedar mengingatkan. Namun bukan itu yang ingin saya sampaikan di sini, sebab kita sudah mempelajarinya ketika duduk di bangku sekolah menengah dulu. Kira-kira apa makna yang bisa kita petik dari perayaan hari kemerdekaan yang bertepatan dengan bulan Ramadhan yang mulia ini?

Tentu kita semua sudah tahu akan pentingnya kemerdekaan, "merdeka atau mati", kata-kata itulah yang terhujam ke alam bawah sadar para pejuang kita ketika mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan oleh sang dwitunggal negeri ini (Soekarno-Hatta), sehingga mereka seakan melihat pasukan sekutu dengan persenjataan modern lebih kecil dari semut, lebih bodoh dari keledai, dan harus diusir dari bumi pertiwi ini.

Mengapa kemerdekaan harus dibayar dengan tetesan darah dan air mata, mengapa harus ada nyawa yang melayang demi kemerdekaan, dan mengapa kemerdekaan begitu bernilai? Itulah rentetan pertanyaannya. Dan tentu jawabannya karena kemerdekaan adalah harga diri, kemerdekaan adalah persatuan, kemerdekaan adalah kemajuan, kemerdekaan adalah kekayaan, kemerdekaan adalah kesejahteraan, kemerdekaan adalah tegaknya moral, dan kemerdekaan adalah sarana kedekatan kepada Allah.

 Namun apa yang terjadi setelah 66 tahun kita merdeka? Bukankah kita sudah merdeka, bukankah Belanda dan sekutunya sudah terusir dari bumi pertiwi ini? Lantas mengapa bangsa kita seperti dijajah? Meski relatif, namun sebagai orang yang berakal tentu harus realistis, berkaca pada kenyataan yang terjadi. Moral, ekonomi, pendidikan, persatuan, atau kedaulatan misalnya. Ah! terlalu miris jika harus mengingat dan menjabarkannya. Namun ia tetap bangsa Indonesia, bangsa yang di mana kita lahir dan dibesarkan. Bangsa yang harus kita harumkan namanya, bangsa yang harus dibela mati-matian.

 Kesadaran ada pada diri kita. meski sulit, apa salahnya jika kita mau berusaha. Kita adalah cerminan dari bangsa kita yang tercinta ini, kita harus maju, kita harus bersatu, kita harus belajar dengan sungguh-sungguh di manapun kita berada, kita harus memperbaiki kualitas diri kita, baik kepribadian, intelaktualitas, maupun ekonomi, dan kita harus menjadi ujung tombak perubahan menuju yang lebih berkualitas dan bermartabat di mata dunia agar tidak dipandang sebelah mata oleh mereka.

Dan mari kita menjaga kesucian diri, memperbagus niat, memperbanyak kajian-kajian ilmiah, beribadah sebaik mungkin, dan tentu tanpa kemalasan, karena malas lebih berbahaya dari virus HIV, malas akan membuat bangsa Indonesia tertidur, malas akan menyebabkan tersebarnya kemiskinan, dan puncaknya adalah penghambat masuk surga.

 Mengakhiri tulisan ini, kita berdoa semoga Allah mengubah dan memajukan bangsa Indonesia lewat tangan-tangan kita para pemuda dan pemudi, yang takut kepada Allah, yang haus akan ilmu, dan yang merasakan penderitaan orang-orang yang membutuhkan. Amin ya rabbal 'alamin. (ASH)

Indonesia, kami bangga menjadi bangsa Indonesia.

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Madinat Buuts Islamiyah, 17 Agustus 2011 dini hari

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India