Hari pernikahan adalah salah satu momen terbesar dalam hidup manusia.
Karena ia adalah momentum, di mana seluruh semesta dan waktu berkonspirasi
untuk membuatnya eksis pada saatnya tersendiri; maka merupakan kedunguan,
ketika Anda menganggap bahwa setiap orang, harus memiliki momentum yang sama.
Bahkan Anda menjadi lebih dungu lagi, ketika menganggap momentum adalah
kompetisi kehidupan, di mana siapa yang lebih dulu mendapatkan momentumnya,
adalah pemenang kehidupan.
Jika Anda bisa menjawab dengan penuh kecermatan kenapa manusia menikah,
apakah pernikahan adalah kebutuhan ataukah solusi, apakah pernikahan adalah
bukti kematangan diri ataukah sentimen sosial, haruskah semua manusia menikah;
Anda tentu akan mengerti, kenapa saya mengatakan bahwa pernikahan adalah
momentum. Jika Anda memahami bahwa tidak semua orang seperti Anda dalam hal
kekayaan, kematangan usia, kedewasaan, pengalaman, pekerjaan, dan kondisi
psikologis; Anda akan setuju dengan saya bahwa merupakan kedunguan menganggap
pernikahan adalah kompetisi.
Jika adanya demikian, maka orang yang selalu membuat Anda risih karena
pertanyaan ‘Kapan Anda menikah?’ sejatinya adalah orang yang tidak mengerti
sedikitpun tentang hakikat pernikahan. Kecuali jika ia menganggap pernikahan
hanyalah pelampiasan hasrat seksual, dan semacam upaya konkret untuk mereduksi
sentimen sosial. Melihat hal ini, Anda tidak perlu risau dengan celotahannya.
Karena saya yakin bahwa Anda sangat tidak tertarik untuk menurunkan standar
berpikir atau falsafah hidup Anda, karena celotehan tak bermutu orang yang sama
sekali tidak paham hakikat pernikahan.
Ketika Nabi Muhammad mengatakan, “Tidak ada manusia di dunia ini yang
lebih takut dan lebih takwa kepada Allah ketimbang saya. Akan tetapi saya tidak
puasa terus menerus, saya tidak salat terus menerus, dan saya menikahi banyak
perempuan.” Ketika Nabi Muhammad mengatakan demikian, apa yang Anda pahami?
Apakah itu hanyalah anjuran kepada manusia agar ia mengelola urusan dunia dan
akhirat secara seimbang? Ataukah di sana ada fakta menarik tentang hakikat
kehidupan yang selama ini tidak kita cermati?
Terkait dengan anjuran, maka itu benar sepenuhnya. Terlebih ketika Nabi
menutup wejangannya dengan berkata, “Siapa yang tidak menyukai gaya hidupku
yang tadi, maka jelas ia bukan pengikutku.” Lalu bagaimana dengan fakta menarik
terkait hakikat kehidupan yang terkandung dalam perkataan agung Nabi kita? Fakta
menarik tersebut tidak lain merupakan ‘keseimbangan’, yang dengannya ajaran
Muhammad terus eksis dan selaras bersama perkembangan zaman. Namun bagian yang
lebih menarik dari fakta tadi, adalah paradigma Islam yang melihat bersatunya
laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan; sebagai salah satu komponen
penyusun keseimbangan tersebut.
Sebagai konsekuensinya, sirkulasi kehidupan hanya akan bisa berjalan
dengan baik, selama keseimbangannya terjaga. Untuk menjaga keseimbangan
tersebut, semesta pun berkonspirasi untuk membuat laki-laki butuh dan tertarik
kepada perempuan, begitu juga sebaliknya. Karena risalah kehidupan (baca:
perkembangbiakan) tidak akan tercipta, kecuali dengan bersatunya laki-laki
dengan perempuan. Dengan begitu kita akan memahami dengan baik, bahwa selain
menjadi wadah terpenuhinya kebutuhan fisiologis dan terlaksananya risalah
kehidupan; pernikahan juga merupakan satu-satunya solusi untuk menjaga
stabilitas hubungan laki-laki dengan perempuan, dan menjamin terpenuhinya hak
dan kewajiban dalam hubungan keduanya.
Sampai saat ini, saya belum membahas bagaimana pernikahan menjadi salah
satu dimensi keagungan dan kegeniusan manusia, bagaimana pernikahan menjadi hulu
dari terwujudnya perdamaian dan terhapusnya penindasan manusia, bagaimana pengalaman beberapa orang besar dalam sejarah yang tidak sampai akhir hayatnya tidak menikah, bagaimana hakikat kecemburuan dan implikasinya pada keharmonisan atau keretakan
pernikahan. Semoga Allah memberikan kesempatan untuk membahasnya.
Cairo, 25 Desember 2018
Ahmad Satriawan Hariadi