EMPAT LEVEL Seseorang dalam Berinteraksi dengan Hadis Menurut Waliyullah Addahlawi


EMPAT LEVEL seseorang dalam berinteraksi dengan Hadis Nabi saw menurut Waliyullah Addahlawi dalam bukunya Hujjatullah al-Balighah:
1) Level mengetahui hadis dari segi kesahihan, kelemahan, kepalsuannya; dan dari segi mutawatir, masyhur, ahad. Ini adalah tugas ulama Hadis dalam menjustifikasi sebuah hadis sesuai dengan hasil ijtihad pribadinya setelah menelaah sanad hadis.
2) Level pemahaman diksi dan penyesuaian redaksi hadis. Ini adalah tugas pakar bahasa dan sastra Arab dalam menyingkap makna hadis sesuai dengan kaidah dan cita rasa bahasa yang bersangkutan (dzauq).
3) Level pemahaman komprehensif terhadap hadis dan konteksnya; baik dalam menyimpulkan hukum dan mengkiyaskan hukum yang tak bernas terhadap yang bernas, maupun dalam pengambilan hukum dengan dalil tersirat maupun tersurat. Sebuah kompetensi yang menuntut penguasaan terhadap hukum-hukum yang nasikh dan mansukh; yang rajih dan marjuh; yang umum dan khusus. Ini adalah tugas fakih mujtahid yang diwajibkan untuk menguasai permasalahan-permasalahan Usul Fikih dan Kaidah-Kaidah Fikih secara mendetail. Di samping itu, dia juga harus menelaah dan berkaca pada pengalaman ulama terdahulu dalam menyimpulkan sebuah hukum dari sebuah nas.
4) Level memahami hikmah diundangkannya sebuah hukum, memahami alasannya, memahami karakteristik dan faidahnya, menyingkap rahasia tersembunyi dan menguasai permasalahan detailnya. Ini adalah tugasnya seorang mujtahid rabbany, yang diberikan kapabilitas khusus oleh Allah swt untuk melihat ruh syariat, serta menyingkap rahasia dan tabir di balik setiap perintah dan larangan-Nya.
Pertanyaannya adalah, di mana posisi kita saat ini? Apakah kita yang baru saja berinteraksi dengan satu atau dua hadis terjemahan, bisa seenaknya langsung menjustifikasi orang lain karena pemahaman dangkal kita terhadap hadis tersebut?
Kita, yang pada level satu saja mentaklid ulama dalam hal autentisitas hadis (apalagi pada level dua, tiga, dan empat; pasti semakin mentaklid); tidak seharusnya banyak komentar (baca: nyinyir) terhadap orang yang —dalam sebuah permasalahan agama— tidak sepaham dengan kita, terlebih ketika yang bersangkutan mempunyai sandaran. Apalagi dengan para ulama besar yang sudah diakui kapabilitasnya lintas generasi.

Jago, 24 Juli 2018
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India