Kuliah















Melihatnya berkoar tanpa koma
Kalimat-kalimatnya hambar tak bergaram
Aku mengangguk dengan mata picing
Akalku terlelap di taman Azhar
Memahami setengah tuturnya
Lalu kantuk dan penghargaan bertarung mati
Aku bersikukuh tegak memperhatikan
Kali ini benar-benar hampa pemahaman
Kalimat tertahbiskan terus dilantukan
Selingan bahasa 'Amiyah bosanku menjerit,
"Apa-apan ini?"
Eksistensiku tetap saja nafiku
Ia terus menyanyikan kalimat ilegal itu
Datangku menyesal dua kali
"Dasar!"

Mata kuliah Fiqh Madzahib, 26/10/2011

Tak Sadar

Tunduk merangkak dan menangis
Menghitung keliru sebelum detik
Yakin silap lenyap dengan titah
Bersama tingkah yang dulu congkak
Meski  tetap mereka tak melihat
Namun tangan masih  membeliak lebar

Renungan saat diri terlalu jauh dari Tuhan, 26/10/2011


Optimisme















Sedikit menyeka kepedihan 
dini hari. Tangisan berantai 
memekik mengejutkan kucing
yang terlelap. Rintikan air itu 
masih setia menyatakan cintanya.
 
Kidung isakan bertasbih 
di hamparan. Mengutuk delik 
kemarin sore yang durjana.
Mengisap ibu jari di kawah 
penyesalan. 

Adakah kau tampakkan
ulasan cengir ketika ibu menitipkan 
harapannya di pundakmu walau sesaat?
Atau setidaknya melihat dua jengkal 
di depan mata. Atau mungkin kau hanya 
menatap bumi yang kau injak 
setiap saat dengan gagahnya.
Kemudian menangis?

Bisakah kali ini kau 
menciumnya mesra? 
Membiarkan harapanmu terbang 
ke pangkuan langit? 
Kemudian mengejar matahari 
yang sebentar lagi akan tenggelam?
 
Percayalah! kau belum habis
Masih ada dua tapak yang tertulis rapi
Kali ini larutlah bersama obsesi  lama
yang kau sembunyikan.
Tancapkan ujungnya dan merangkaklah 
di bawah kolong yang sempit.
 
Pagi ditemani matahari 
yang baru sepenggalah.
Sinar hangatnya menghangatkan kulitmu 
yang menggigil semenjak kelam. 
Tidak ada isakan malam setelah hari ini. 
Jika tempat berpijak tetap kau cium mesra 
sementara harapan tetap setia 
mengetuk pintu langit.
 
Hari ini langkah kepastian 
dan tatapan dua jengkal bersua
Adakah kau ragu setelahnya? 
Lalu apa yang kau tunggu?

01.03 dini hari, 17/10/2011

Aku dan Bangunan Tua


Setiap yang terlihat oleh mata, akan selalu dicerna oleh otak. Dan titik kulminasinya adalah kesimpulan-kesimpulan yang menguraikan setiap makna yang terpendam dari apa yang dilihat mata tadi. Otak kembali memikirkan langkah selanjutnya, dan tentu anggota tubuh akan manut terhadap perintahnya. Begitu juga dengan otakku, karena begitu banyaknya, aku bingung memilih tempat yang tepat untuk sebuah majelis ilmu. Aku bimbang.

Aku terus saja mangayunkan langkahku di dalam masjid tua tersebut. Terasnya memang cukup luas. Jadi, aku bisa leluasa berjalan-jalan didalamnya. Ya, aku hanya jalan-jalan. Aku melihat orang-orang di sampingku, ada yang asyik ngobrol di bawah tiang. Aku mengalihkan pandanganku ke sebelah, ternyata ada yang sedang diskusi.

Lalu di kejauhan sana, aku melihat orang yang sibuk mengulang hafalan al-Qurannya. Sedangkan di tengah-tengah teras, terlihat beberapa wisatawan sedang berdecak kagum dengan kemegahan bangunan usang ini, sesekali ia memotret menaranya yang amat khas tersebut.

Melihat fenomena, yang menurutku, amat langka di tempat lain, aku berpikir kalau pesona bangunan usang ini memang belum habis. Begitu juga dengan namanya yang amat sakral. Selalu saja ada serpihan-serpihan pesona yang menarik untuk diteliti, dikaji, dan direnungkan.

Sebagai seorang mahasiswa yang notabene adalah penuntut ilmu, setiap aku datang ke tempat ini, paling tidak, aku pasti mendapatkan pelajaran secara tidak langsung, walaupun terkadang aku hanya datang untuk duduk-duduk atau jalan-jalan dan tidak mengikuti salah satu majelis yang ada di sana. Sebut saja semangat yang kembali menyala, atau memahami arti sebuah keikhlasan yang kulihat dari para syaikh yang mengajar, dan tentu masih banyak lagi pelajaran yang lain. Apalagi kalau aku mengikutinya.

Pertanyaan yang paling sering aku lontarkan entah kepada siapa, sebab setiap kali melihat sekelilingku, aku bertanya, “Kok bisa ya bangunan ini melahirkan ulama’-ulama’ besar, mungkinkah aku - yang tidak ada apa-apanya ini - bisa seperti mereka?” Pertanyaan rutinku belum saja terjawab, aku langsung membuat kesimpulan, “Aku juga ke sini, tidak lain karena ingin menimba ilmu di bangunan tua ini.”

Aku masih belum mau pulang. Aku ingin menerawang lebih jauh dari biasanya. Rasanya seperti ada yang mengganjal. Ya, mahasiswa Indonesia, aku ingat sekarang. Menurut data statistik PPMI, jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia di bumi Kinanah ini tak kurang dari 3500 orang, dan hampir semuanya belajar di Universitas al-Azhar. Artinya, mereka meninggalkan kampung halaman mereka, karena ingin menimba ilmu di masjid tua ini, lagi-lagi bangunan usang ini. 

Namun sejauh mata memandang, tak kurang dari puluhan orang yang berkulit sawo matang terlihat di majelis-majelis tersebut. Rata-rata memakai peci putih. Sedangkan setahuku mahasiswa Indonesia jarang memakai peci. Biasanya para 'Pak Cik' yang sering mengenakannya.

Di belakang salah satu majelis, terlihat beberapa akhwat jibaber dengan warna-warna polos, khusyu’ mendengarkan penuturan sang syaikh. Lagi-lagi aku teringat kalo model pakaian mahasiswi-mahasiswi Indonesia lebih kekinian dipadukan dengan cara berpakaian gadis-gadis mesir. Berarti itu adalah para 'Mak Cik', lagi-lagi aku berkesimpulan.

Aku mengangguk-angguk dan berpikir lagi, “Mas-Mas dan Abang-Abang pada kemana ya?” besitku dalam hati. Oh ya, hampir kelupaan satu lagi, “Mbak-Mbak dan Neng-Neng juga pada kemana?”  

Ternyata pikiranku masih belum mau berhenti menerawang. Aku ingin tahu, 3500 mahasiswa Indonesia tersebut pada kemana, terutama mahasiswi, yang hampir tidak pernah kelihatan batang hidungnya mengikuti salah satu mejelis di bangunan tua ini. Aku terus saja menerawang cakrawala pikiranku. Aku berusaha semampuku untuk berbaiksangka kepada mereka.

Mungkin mereka menghadiri majelis di tempat lain, atau sedang giat-giatnya berkecimpung di pelbagai kajian, yang tentu mendukung gairah intelektual dan menambah kapasitas mereka. Begitu juga teman-teman mahasiswi, mungkin mereka juga tidak mau kalah dengan teman-teman mahasiswa.

Buktinya, prestasi mereka tahun ini jauh lebih memuaskan dibanding para mahasiswa. Belasan mahasiswi berhasil menggondol predikat Imtiyaz (Istimewa), puluhan mendapat predikat Jayyid Jiddan (Baik Sekali), apalagi yang mendapatkan predikat Jayyid (Baik).

Namun hal sebaliknya terjadi pada teman-teman mahasiswa. Dari semua tingkat dan fakultas, yang berhasil menggondol predikat Imtiyaz cuma satu orang, yaitu Zaimuddin, mahasiswa fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah Banin tingkat tiga. Selainnya di masing-masing fakultas; Ushuluddin, Syariah wal Qanun, Lughah Arabiyah, predikat tertinggi adalah Jayyid Jiddan. Selebihnya, aku tidak tahu.

Aku hanya mencari tahu siapa yang tertinggi, sebab mereka yang berhasil menggondol predikat-predikat memuaskan tersebut adalah mereka yang benar-benar serius memikirkan dirinya dan rela menangguhkan tidur nyenyaknya. Mereka adalah orang yang sadar diri sebagai duta bangsa, tentu tidak boleh memalukan.

Aku sendiri teringat, ketika nilai kawan-kawanku terpampang, aku mencoba melukiskan keadaan tersebut dalam sebuah puisi; judulnya, “Cekikikan dan Isakan.”

Hari ini ada cekikikan
Hari ini ada isakan
Hari ini ada cekikikan dan isakan

Rona kepuasan tersimpul indah
Rona kekecewaan mengalun pasti
Ya, mereka melihat jerih payahnya

Inilah yang kulihat
Inilah yang kudengar
Inilah yang kurasa

Ada masanya harapan hanya
ingatan
Sebab langit berkata lain
Titahnya tertakdir dan terencana
Langkah optimis pun pasti lelah
Juga untaian mimpi esok hari
yang pupus

Beginilah langit menulis kisah
terindah yang pernah ada
Yang terbaik adalah yang berpeluh
Yang bingung adalah yang terlelap

15/9/2011

Sudahlah, rasanya aku menerawang terlalu jauh. Intinya aku ingin menghadirkan kembali satu kata yang menjadi alasan, kenapa aku rela meninggalkan kampung halamanku. Mungkin bukan hanya aku saja, tapi semua mahasiswa dan mahasiswi yang ada di Negeri Piramid ini. Tidak lain satu kata tersebut adalah “al-Azhar.” 

Ada masjid usang yang masih kokoh berdiri, para Malaikat tidak pernah berhenti menaungi masjid yang mulia ini, sebab taman-taman surga tidak pernah berhenti berbunga karena eksistensi majelis-mejelis ilmu yang ada di dalamnya. 

Ada juga kampus tua, dengan tenaga pengajar yang sangat mumpuni di bidangnya. Ada ratusan guru besar di dalamnya. Mereka menanti para penuntut ilmu untuk duduk di pangkuannya.

Lantas apa yang aku tunggu?  

12/10/2011   

Seandainya Kita (Masisir) Membaca


Budaya itu kini menjadi asing. Semua orang tahu bahwa ia adalah pintu ilmu pengetahuan yang paling agung. Namun karena terlalu lama luput, ia menjadi asing, bahkan sangat asing. Apalagi budaya tersebut telah ditahbiskan oleh Allah Swt. sebagai permulaan kalimat-kalimatNya kepada umat manusia, bahkan alam semesta. Tidak lain budaya tersebut adalah budaya membaca.

Secara keseluruhan, budaya membaca sudah menjadi budaya bangsa-bangsa barat jauh beberapa abad sebelumnya, terutama setelah jatuhnya Andalusia (Spanyol dan Portugal) dan Revolusi Ilmu Pengetahuan di Eropa abad 16, dilanjutkan dengan Revolusi Industri yang dimulai di Inggris awal abad 19. Demikian juga bangsa timur (Jepang) yang mencuat setelah berakhirnya restorasi Meiji 1869. 

Hal ini bisa dibuktikan dengan kemajuan pesat mereka di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi secara multidimensi, dibanding negara kita – yang notabene adalah negara muslim terbesar di dunia – baru bisa dikatakan sebagai negara berkembang.

Artinya bangsa kita sudah jauh tertinggal dengan mereka. Meskipun pendekatan ini terkesan subjektif, namun kita harus tetap realistis dan berkaca pada kenyataan. Dengan melihat skala keseluruhan, kita akan tahu dimana posisi bangsa kita.

Kembali kepada budaya membaca, Dr. Aidh al-Qarni, di dalam Majalis al-Adab menyebutkan bahwa Abdul Rahman Badawi pernah mengatakan, “Ilmu pengetahuan dan wawasan itu memiliki tiga pondasi; membaca, membaca, dan membaca.”

Lihat, bagaimana ‘membaca’ memonopoli transformasi ilmu pengetahuan dan wawasan. Artinya kita harus benar-benar banyak membaca. Kita (masisir) umumnya masih saja membawa kebiasaan kita, yaitu malas membaca. Kita lebih memilih berlama-lama cengingiran di depan komputer, atau adu gengsi selama berjam-jam untuk main game. Lalu kapan kita bisa menyerap ilmunya al-Azhar, yang notabene tujuan utama kita meninggalkan kampung halaman.

Dr. Osama Sayyid Azhary, dosen Hadits Universitas Al-Azhar yang juga pengajar talaqqi di Masjid Azhar, pernah mengatakan di salah satu majelisnya, “Al-Azhar memberikan kalian segalanya, namun kalian hanya mengambil sedikit.”

Pernyataan Doktor Osama tersebut ada benarnya, bahkan sangat benar. Sehingga patut disayangkan kalau kita (masisir) umumnya hanya membaca dan mempelajari tahdid-an dari dosen pada mata kuliah tertentu, saat musim ujian. Wa bass!. Apalagi kita sering berdalih, “Yang penting najah.” Kita memang najah, bahkan berhasil menggondol gelar Lc. Namun kenajahan dengan standar ‘memprihatinkan’ tersebut tentu tidak sebanding dengan tanggung jawab moral yang kita emban di pundak sebagai alumni al-Azhar.

Selain dituntut menjadi pakar di semua bidang disiplin ilmu, terutama fikih, Karena kebutuhan masyarakat kepada ilmu tersebut lebih banyak dibanding disiplin ilmu yang lain. Kita juga dituntut untuk memiliki wawasan yang luas, baik dalam tataran keislaman, politik, maupun yang lain. Sebab misi klasik al-Azhar yang rupanya luput dari perhatian kita, adalah menghasilkan para ‘Alim Mausu’I yang mumpuni di segala bidang, hal inilah yang menjadi latar belakang didirikannya Fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah Putra dekade 60-an.
  
Sebagai insan akademis yang juga sebagai duta bangsa di bumi Kinanah ini, sudah menjadi keharusan untuk membudayakan membaca, dimana saja, dan kapan saja. Tidak pantas rasanya mengesampingkan membaca lantaran sibuk organisasi, kerja, apalagi dengan hal-hal yang tidak berguna dan membuang-buang waktu.

Jauh beberapa abad sebelumnya, al-Mutanabbi, salah satu penyair besar di masa dinasti Abbasiyah, pernah mengatakan di penggalan baitnya, “khairu jalisin fi al-zaman al-kitab.” Artinya, teman duduk terbaik sepanjang masa adalah buku yang dibacanya.

Tentu hal ini sangat tepat, sebab ketika seseorang menyelam ke dalam samudera membaca, ia tidak akan keluar kecuali dengan mutiara-mutiara ilmu, hikmah, dan faidah-faidah lain yang tentu akan sangat berguna, baik semasa hidup maupun sesudah mati.

Begitu juga dengan akal kita, jika tidak membaca, ia akan tetap kerdil, sempit, dan tidak akan berkembang selamanya. Hari kemarin seperti hari ini, begitu juga esok hari, selama kita tidak membaca. Kapasitas kita sebelum berangkat meninggalkan kampung halaman menuju negeri Piramid ini, akan sama ketika kita pulang nantinya. Dan tentu hal ini sangat tidak diinginkan oleh siapapun.

Kita seringkali terobsesi menjadi tokoh besar. Sebut saja pemimpin, ulama, sastrawan, penulis terkenal, dan lain-lain. Namun hanya sebatas obsesi, tidak lebih. Kita mau menyebrangi selat Lombok tapi tidak punya perahu. Artinya, kita harus mempunyai kapasitas yang mumpuni agar obsesi tidak sebatas obsesi dan benar-benar menjadi kenyataan. Awal dari semuanya adalah ilmu pengetahuan dan wawasan yang kita miliki, dan pondasinya – sebagaimana dikatakan oleh Abdul Rahman Badawi – adalah membaca, membaca, dan membaca. Begitu juga dengan pondasi kesuksesan, kata Sir Isaac Newton, adalah bekerja, bekerja, dan bekerja.

Seandainya kita membaca!

ASH
6/10/2011

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India