Setiap yang
terlihat oleh mata, akan selalu dicerna oleh otak. Dan titik kulminasinya adalah
kesimpulan-kesimpulan yang menguraikan setiap makna yang terpendam dari apa
yang dilihat mata tadi. Otak kembali memikirkan langkah selanjutnya, dan tentu
anggota tubuh akan manut terhadap perintahnya. Begitu juga dengan otakku, karena
begitu banyaknya, aku bingung memilih tempat yang tepat untuk sebuah majelis
ilmu. Aku bimbang.
Aku terus saja mangayunkan langkahku di dalam
masjid tua tersebut. Terasnya memang cukup luas. Jadi, aku bisa leluasa berjalan-jalan
didalamnya. Ya, aku hanya jalan-jalan. Aku melihat orang-orang di sampingku,
ada yang asyik ngobrol di bawah tiang. Aku mengalihkan pandanganku ke sebelah,
ternyata ada yang sedang diskusi.
Lalu di
kejauhan sana, aku melihat orang yang sibuk mengulang hafalan al-Qurannya. Sedangkan
di tengah-tengah teras, terlihat beberapa wisatawan sedang berdecak kagum dengan
kemegahan bangunan usang ini, sesekali ia memotret menaranya yang amat khas tersebut.
Melihat
fenomena, yang menurutku, amat langka di tempat lain, aku berpikir kalau pesona
bangunan usang ini memang belum habis. Begitu juga dengan namanya yang amat
sakral. Selalu saja ada serpihan-serpihan pesona yang menarik untuk diteliti,
dikaji, dan direnungkan.
Sebagai
seorang mahasiswa yang notabene adalah penuntut ilmu, setiap aku datang ke tempat ini,
paling tidak, aku pasti mendapatkan pelajaran secara tidak langsung, walaupun
terkadang aku hanya datang untuk duduk-duduk atau jalan-jalan dan tidak
mengikuti salah satu majelis yang ada di sana. Sebut saja semangat yang kembali
menyala, atau memahami arti sebuah keikhlasan yang kulihat dari para
syaikh yang mengajar, dan tentu masih banyak lagi pelajaran yang lain. Apalagi kalau aku mengikutinya.
Pertanyaan
yang paling sering aku lontarkan entah kepada siapa, sebab setiap kali melihat
sekelilingku, aku bertanya, “Kok bisa ya bangunan ini melahirkan ulama’-ulama’
besar, mungkinkah aku - yang tidak ada apa-apanya ini - bisa seperti mereka?” Pertanyaan
rutinku belum saja terjawab, aku langsung membuat kesimpulan, “Aku juga ke
sini, tidak lain karena ingin menimba ilmu di bangunan tua ini.”
Aku masih
belum mau pulang. Aku ingin menerawang lebih jauh dari biasanya. Rasanya seperti ada yang mengganjal. Ya, mahasiswa
Indonesia, aku ingat sekarang. Menurut data statistik PPMI, jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia
di bumi Kinanah ini tak kurang dari 3500 orang, dan hampir semuanya belajar di
Universitas al-Azhar. Artinya, mereka meninggalkan kampung halaman mereka, karena ingin
menimba ilmu di masjid tua ini, lagi-lagi bangunan usang ini.
Namun sejauh
mata memandang, tak kurang dari puluhan orang yang berkulit sawo matang
terlihat di majelis-majelis tersebut. Rata-rata memakai peci putih. Sedangkan
setahuku mahasiswa Indonesia jarang memakai peci. Biasanya para 'Pak Cik' yang sering
mengenakannya.
Di belakang
salah satu majelis, terlihat beberapa akhwat jibaber dengan warna-warna polos,
khusyu’ mendengarkan penuturan sang syaikh. Lagi-lagi aku teringat kalo model
pakaian mahasiswi-mahasiswi Indonesia lebih kekinian dipadukan dengan cara
berpakaian gadis-gadis mesir. Berarti itu adalah para 'Mak Cik', lagi-lagi aku berkesimpulan.
Aku mengangguk-angguk
dan berpikir lagi, “Mas-Mas dan Abang-Abang pada kemana ya?” besitku dalam
hati. Oh ya, hampir kelupaan satu lagi, “Mbak-Mbak dan Neng-Neng juga pada
kemana?”
Ternyata
pikiranku masih belum mau berhenti menerawang. Aku ingin tahu, 3500 mahasiswa
Indonesia tersebut pada kemana, terutama mahasiswi, yang hampir tidak pernah
kelihatan batang hidungnya mengikuti salah satu mejelis di bangunan tua ini.
Aku terus saja menerawang cakrawala pikiranku. Aku berusaha semampuku untuk
berbaiksangka kepada mereka.
Mungkin
mereka menghadiri majelis di tempat lain, atau sedang giat-giatnya berkecimpung
di pelbagai kajian, yang tentu mendukung gairah intelektual dan menambah
kapasitas mereka. Begitu juga teman-teman mahasiswi, mungkin mereka juga tidak mau kalah
dengan teman-teman mahasiswa.
Buktinya,
prestasi mereka tahun ini jauh lebih memuaskan dibanding para mahasiswa.
Belasan mahasiswi berhasil menggondol predikat Imtiyaz (Istimewa), puluhan mendapat predikat Jayyid Jiddan (Baik Sekali), apalagi yang mendapatkan predikat Jayyid (Baik).
Namun hal
sebaliknya terjadi pada teman-teman mahasiswa. Dari semua tingkat dan fakultas,
yang berhasil menggondol predikat Imtiyaz
cuma satu orang, yaitu Zaimuddin, mahasiswa fakultas Dirasat Islamiyah wal
Arabiyah Banin tingkat tiga. Selainnya di masing-masing fakultas; Ushuluddin,
Syariah wal Qanun, Lughah Arabiyah, predikat tertinggi adalah Jayyid Jiddan. Selebihnya, aku tidak
tahu.
Aku hanya
mencari tahu siapa yang tertinggi, sebab mereka yang berhasil menggondol predikat-predikat
memuaskan tersebut adalah mereka yang benar-benar serius memikirkan dirinya dan
rela menangguhkan tidur nyenyaknya. Mereka adalah orang yang sadar diri sebagai
duta bangsa, tentu tidak boleh memalukan.
Aku sendiri
teringat, ketika nilai kawan-kawanku terpampang, aku mencoba melukiskan keadaan
tersebut dalam sebuah puisi; judulnya, “Cekikikan dan Isakan.”
Hari ini ada cekikikan
Hari ini ada isakan
Hari ini ada cekikikan dan isakan
Rona kepuasan tersimpul indah
Rona kekecewaan mengalun pasti
Ya, mereka melihat jerih payahnya
Inilah yang kulihat
Inilah yang kudengar
Inilah yang kurasa
Ada masanya harapan hanya
ingatan
Sebab langit berkata lain
Titahnya tertakdir dan terencana
Langkah optimis pun pasti lelah
Juga untaian mimpi esok hari
yang pupus
Beginilah langit menulis kisah
terindah yang pernah ada
Yang terbaik adalah yang berpeluh
Yang bingung adalah yang terlelap
15/9/2011
Sudahlah,
rasanya aku menerawang terlalu jauh. Intinya aku ingin menghadirkan kembali
satu kata yang menjadi alasan, kenapa aku rela meninggalkan kampung halamanku. Mungkin bukan hanya aku saja, tapi semua mahasiswa dan mahasiswi yang ada di Negeri Piramid ini. Tidak
lain satu kata tersebut adalah “al-Azhar.”
Ada masjid usang
yang masih kokoh berdiri, para Malaikat tidak pernah berhenti menaungi masjid
yang mulia ini, sebab taman-taman surga tidak pernah berhenti berbunga karena eksistensi
majelis-mejelis ilmu yang ada di dalamnya.
Ada juga
kampus tua, dengan tenaga pengajar yang sangat mumpuni di bidangnya. Ada ratusan
guru besar di dalamnya. Mereka menanti para penuntut ilmu untuk duduk di
pangkuannya.
Lantas apa
yang aku tunggu?
12/10/2011