Abu Hayyan al-Tauhidy; Filsufnya para Sastrawan

Abu Hayyan al-Tauhidy adalah sastrawannya para filsuf, dan filsufnya para sastrawan. Hidupnya selalu penuh dengan kesedihan dan sempitnya penghidupan.
Ia pergi kesana kemari agar ilmu dan karyanya mendapat apresiasi dari para ilmuan maupun penguasa. Tapi nihil. Ia kecewa lalu frustrasi. Dengan frustrasi yang sudah di ubun-ubun, ia memutuskan untuk membakar semua karangannya. Ia merasa bahwa karangannya tidak memberikannya manfaat, sekaligus sebagai balasan bagi mereka yang masa bodoh dengan bobot karyanya.
Ia mempunyai dua buku yang terkenal; yaitu al-Sadaqah wa al-Sadiq dan al-Imta' wa al-Mu'anasah. Yang pertama adalah kumpulan suratnya. Yang kedua adalah Alfu Lailah wa Lailah versi filsuf. Tentu versi filsuf lebih keren dan berbobot. 
Para ulama pun berbeda pendapat mengenai sosok Abu Hayyan. Ada yang memberikan kritikan pedas, seperti Ibnul Jauzy, Al-Dzahaby, dan Ibnu Hajar. Ada juga yang bersikap moderat sekaligus apresiatif, semisal Al-Subky, Al-Suyuty, Yaqut, Al-Qifty, dan lain-lain. 
Bagaimanapun penilaian ulama terhadap sosok Abu Hayyan, kita tidak perlu ikut-ikutan terpengaruh dengan pendapat mereka, hingga membuat kita menjadi tertutup untuk menilik karyanya. Mengapa? Karena makna dari moderat --sebagaimana kata dosen sastra saya, Dr. Mustafa Abdurrahman Al-Qadhi-- adalah adalah keterbukaan. Dengan keterbukaan inilah kita memilah mana yang baik, dan mana yang tidak baik. Sesaat kemudian, kita, mau tidak mau, harus mengapresiasi jerih payah pengarangnya.
Ditambah lagi kitab al-Imta' ini memiliki informasi yang sama sekali tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain. Semisal informasi mengenai "Risalah Ikhwan Al-Safa" dan lain-lain.
***
Pada dekade 40-an, para sastrawan Arab disibukkan oleh kitab al-Imta' karena bobotnya yang tak terkirakan. Iya, mereka bahu membahu dalam mentahqiq kitab tersebut. Setelah cetakan pertama keluar, para sastrawan dari berbagai negara Arab serempak memberikan tashih dan tambahan; dari berbagai macam perspektif keilmuan mereka.
***
Abu Hayyan, yang meriwayatkan perkataan filsuf Yunani kuno, Diogenes, saat ditanya seseorang, "Kapan dunia akan membaik?" Diogenes menjawab, "Ketika para penguasa mulai berfilsafat, dan yang memimpin dunia adalah para filsuf."

---
Islamic Missions City, 24 April 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Adakah Kebahagiaan di Dunia Ini? (Untuk Sahabat Saya, Abdul Aziz)

Ada hal yang sungguh mengherankan dari dunia ini, yang dampaknya hanya ingin membuat kita mencela dan mencela. Iya, hanya ingin membuat kita mengutuknya dengan seburuk-buruk kutukan. Hal tersebut adalah kedengkian.
Mengapa harus ada kedengkian di dunia ini?! Mengapa harus ada darah yang bersimbah karena kedengkian ini?! Mengapa yang harus menjadi korban dari kedengkian ini adalah mereka yang berhati mulia dan berjasa besar?! Mengapa hanya mereka yang berhati busuk saja yang selalu memenuhi rongga kehidupan ini?!
Aku terus saja mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Meraba-raba kemungkinan-kemungkinan yang ada, sementara lidah menjadi kelu. Menerawang cakrawala pikirku dalam senyap. Hingga akhirnya aku terhenti pada kesimpulan yang membuatku menghembuskan napas panjang.
Iya, orang-orang yang berhati mulia tidak akan pernah mengecap indahnya kehidupan. Karena kebahagiaan di atas muka bumi ini yang dilihat oleh manusia; hanyalah fatamorgana, yang hanya terlihat, namun tidak ada wujudnya.
Iya, dunia ini bukan tempat orang berhati mulia untuk mencari kebahagiaannya. Dunia ini hanyalah tempat orang berhati busuk untuk merealisasikan kebusukannya. Orang berhati busuk hanya bisa kebakaran jenggot tiap kali mendengar kebaikan orang berhati mulia. Kebahagiaan orang berhati busuk hanya terwujud, jika orang berhati mulia menderita dengan sesadis-sadisnya penderitaan.
Bahkan jika orang berhati mulia masih bersikukuh menyebarkan aroma ketenangan jiwa, maka solusi terbaik bagi orang berhati busuk adalah menyingkirkan orang berhati mulia dari pentas kehidupan. Iya, bagi orang berhati busuk, orang berhati mulia harus dimusnahkan hingga tak meninggalkan jejak.
Iya, hanya orang berhati busuk-lah yang merasakan bahwa dunia ini adalah kebahagiaan. Hanya orang berhati busuk-lah yang mengira bahwa akhir dari segalanya adalah dunia dan dunia. Hanya orang berhati busuk-lah yang menganggap bahwa kebanggaan adalah ketika manusia mencium-cium kakinya.
Sedangkan orang berhati mulia hanya tahu bahwa ia hanyalah seorang pengembara. Pengembara yang tidak tahu makna keluangan. Pengembara yang tidak tahu makna kenyamanan. Pengembara yang tidak tahu makna keamanan. Pengembara yang tidak tahu makna ketenangan. Jika adanya demikian, bagaimana ia bisa memahami makna kebahagiaan?!  
Jika anda merasakan bahwa di dunia ada kebahagian, maka merenunglah lebih dalam lagi. Jika belum merasakannya juga, maka waspadalah, karena kedengkian sudah menggerogoti langkah-langkah anda. Dunia sudah menjelma gadis jelita yang jenjang dan bermata lentik. Gadis cantik yang menyihir hari-hari anda dengan harapan kosong hingga menutup mata. 

Islamic Missions City, 21 April 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Padahal Memang Begitu Adanya

Orang yang tak terdidik, bagaimanapun eloknya ia berpenampilan, tetap saja omongan dan tingkahnya tak akan bisa menyerupai orang terdidik. Begitu juga dengan orang bodoh, bagaimanapun gaya berjalannya dibuat-buat, tetap saja tidak akan bisa membuatnya pintar.
Karena itu, sungguh tepat seorang penyair Arab ketika menegaskan bahwa jika seekor keledai mengenakan pakaian sutra, maka orang-orang yang melihatnya akan sepontan berseru, "Wah, itu keledai..!"
Artinya, sebuah hakikat, bagaimanapun seseorang berusaha menutupinya, tetap saja hakikat tersebut seperti itu adanya. Kecuali jika hakikat tersebut direduksi oleh sesuatu yang membuatnya lenyap secara perlahan. Orang yang tak terdidik harus dididik agar ia menjadi terdidik. Orang bodoh harus diajari agar ia menjadi pintar. Begitu seterusnya.
Namun tidak semua orang melakukan hal demikian. Kebanyakan kita lebih memilih jalan pintas ketimbang harus berlama-lama di bawah asuhan sang pendidik dan pengajar.
Akibatnya kita pun berusaha menutupi kebobrokan kita dengan bermegah-megahan dalam penampilan kita. Cara jalan pun kita buat-buat sedemikian rupa, agar manusia yang memandang terkesima, lalu menaruh respek pada kita. Kita tak sungkan-sungkan lagi untuk mengenakan pakaian orang terdidik agar manusia memperlakukan kita layaknya orang terdidik.
Iya, sikap kita yang mengambil jalan pintas ini membuat kita lebih fokus dengan tampilan, ketimbang memperbaiki kualitas pengetahuan dan perangai kita. Sehingga kita jangan sekali-kali heran dengan kehidupan kita yang dipenuhi dengan rekayasa dan kemunafikan. Tapi anehnya, kita begitu kesal saat orang lain mengatai kita sebagai orang bodoh dan tak terdidik, padahal kita memang begitu adanya.

Islamic Missions City, 29 Maret 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Hal Penting yang Sering Diabaikan Ketika Memilih Istri?

Ada beberapa hal yang sejatinya sangat penting dari perempuan, namun tidak disadari kebanyakan kaum Adam saat mereka hendak berumah tangga. Penyebab luputnya hal penting tersebut, menurut pengamatan saya, adalah ketika semua perhatian mereka tertuju pada apa yang bersifat estetik dari perempuan. Entah itu kecantikannya, kekayaannya, keluarganya, penampilannya, ibadahnya, ataupun yang lainnya.
Saya sendiri baru menyadari hal penting ini ketika saya melakukan diskusi santai mengenai politik dengan salah seorang kawan mahasiswi di sebuah rumah makan. Kemudian setelah saya renungi, saya mendapati betapa pentingnya kaum laki-laki menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, izinkanlah saya sedikit berbagi dengan anda lewat tulisan ini.
Lalu apakah hal penting tersebut?
Saya tidak perlu berbicara panjang lebar terkait kemajuan teknologi dewasa ini. Berbagai gadget mutakhir membuktikan bahwa teknologi berhasil mengubah dunia manusia secara multidimensional. Manusia modern kini benar-benar merasakan kehidupan yang sesungguhnya --bahkan masih setengah-setengah-- ketika ia bersinggungan dengan sistem pencernaannya saja. Adapun selebihnya, maka itu  adalah gadget dan gadget.
Dengan penjelasan di atas, paling tidak anda memiliki gambaran terkait hal penting yang saya maksudkan. Iya, itulah gadget dan dunia perempuan. Jika kita mengamati realitas kita, sangat susah rasanya memisahkan gadget dari dunia manusia, bahkan hampir mendekati kemustahilan.
Kemudian ketika kita tahu bahwa tujuan berumah tangga itu adalah keseimbangan hidup dunia dan akhirat, maka hal tersebut menuntut adanya interaksi yang sehat antara suami dan istri. Interaksi yang sehat tersebut adalah aktualisasi dari kesadaran akan hak dan kewajiban masing-masing. Interaksi yang sehat adalah aktualisasi dari ketulusan cinta dan kasih antarkeduanya. Interaksi yang sehat adalah aktualisasi dari semangat yang selalu terbakar untuk menggapai rida Allah swt.
Kita juga harus tahu, bahwa ketika interaksi itu benar-benar sehat, maka perhatian kita yang sebelumnya tertuju pada hal-hal yang bersifat jasmaniah terhadap pasangan; secara perlahan akan terkikis hingga tidak meninggalkan jejak. Karena seluruh perhatian tertuju pada harapan bersama yang harus direalisasikan. Tak ada lagi tatapan estetik sebagaimana yang biasa mereka lakukan sebelum berumah tangga dulu.
Pertanyaan yang kemudian mucul adalah apakah keseimbangan tersebut --yang menuntut laki-laki dan perempuan benar-benar hidup di dalam kehidupan riil-- bisa diaktualkan oleh suami dan istri, yang setiap waktu bersinggungan dengan gadget-gadget tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita harus tahu bahwa keseimbangan yang diaktualkan oleh interaksi sehat, merupakan antitesis dari gaya hidup ala gadget, yang secara tidak langsung menuntut seseorang untuk mengisolasikan diri dari ranah sosial.
Tidak hanya itu, gaya hidup ala gadget sangat berperan aktif dalam hal keterbelakangan mental seseorang. Bukankah gaya hidup yang tersibukkan oleh fantasi di dalam gadget-gadget tersebut memperlambat terasahnya keseimbangan mental karena minimnya interaksi riil dengan sesama?!
Dengan begitu, kita setidaknya bisa menyimpulkan bahwa keseimbangan berbanding terbalik dengan lifestyle ala gadget.
Jika adanya demikian, maka hal yang harus diperhatikan seseorang ketika hendak berumah tangga adalah keseimbangan ini. Iya, seseorang harus tahu gaya hidup pasangannya, berikut sejauh mana pasangannya bersinggungan dengan gadget-gadget tersebut. Setelah itu, ia segera menakar potensi keseimbangan yang bisa direalisasikan, dengan mengacu pada persentasi interaksi calon istrinya dengan gadget-gadget itu.  
Selain itu, seseorang harus sesegera mungkin sadar bahwa hal-hal estetik yang senantiasa ia kagumi dan banggakan dari pasangannya sebelum menikah; tidak akan berarti apa-apa, ketika istrinya acuh tak acuh terhadap dirinya, karena tersibukkan oleh gadget-gadget tersebut.
Bahkan potensi rusaknya kenyamanan rumah tangga menjadi lebih tinggi, mengingat mental sang istri yang tidak terasah karena jarang bergaul dengan sesama. Lalu anda jangan heran, jika anda mendapati istri anda begitu labil dan kurang peka terhadap lingkungan sekitarnya. Anda juga tidak perlu terkejut, jika pertengkaran hebat bersama istri, bisa saja menjadi keseharian anda.
Oleh karena itu, bagi anda yang hendak menikah, mulailah dari sekarang memperhatikan hal ini, meskipun terlihat sepele.
Saya tidak menafikan sulitnya memisahkan gadget-gadget itu dari kehidupan kita. Namun saya yakin kalau kita bisa saja mereduksi intensitas kebersamaan kita dengan gadget-gadget tersebut, agar kita mulai hidup seimbang dari sekarang. Saya juga yakin, kalau anda sama sekali tidak akan rela, jika anda dinomorduakan oleh pasangan anda. Anda juga tidak akan rela jika pasangan anda lebih mencintai gadget-nya daripada anda, selaku suaminya.

Islamic Missions City, 10 April 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Kebusukan Diri

Pada akhirnya, semua kebusukan yang kita pendam selama ini akan terkuak pelan-pelan oleh waktu. Jika tidak hari ini, maka esok hari. Jika tidak esok hari, maka esok lusa. Begitu seterusnya. Bahkan jika tidak pada saat kita menghembuskan napas, maka setelah kita menutup mata. Yang jelas, terkuaknya kebusukan kita adalah sebuah kepastian yang menunggu masanya.
Kebusukan-kebusukan yang kita pendam, semisal kemunafikan, pengkhianatan, kedengkian, dan niat jahat; adalah rajutan benang merah kepedihan yang bakal kita tuai nantinya. Jejak-jejak kebusukan yang kita torehkan, pada akhirnya juga akan ditemukan oleh orang-orang yang datang setelah kita. Sebab sadar atau tidak, kita, selaku manusia, ternyata hidup untuk dua hal: pertama, untuk diri kita sendiri; kedua, untuk orang lain.
Namun tidak banyak dari kita yang menyadari hal ini. Yang ada hanyalah kita, hidup untuk diri kita sendiri, itu saja. Sebab mental egoistis adalah mental para pecundang dan orang-orang lemah. Dalam ranah sosial, mereka tak sempat memikirkan orang lain, karena sibuk memikirkan apa yang bakal diraup untuk diri mereka sendiri.
Inilah mental kebanyakan manusia setiap masa. Tipe-tipe manusia yang bermental seperti ini, sama sekali tidak layak untuk menjadi pemimpin sejati. Kalaupun orang seperti ini menjadi pemimpin, maka bisa dipastikan jika ia bakal menyalahgunakan kekuasaannya. Entah diaktualkan lewat korupsi ataupun tirani. Mental egoistis inilah yang seringkali menghalangi manusia untuk menyadari kalau ia ternyata hidup untuk orang lain.
Adapun sebaliknya, yaitu mental altruistis, adalah mental para pemenang dan orang-orang yang berjiwa besar. Inilah mental pemimpin sejati, yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain atas dirinya sendiri dalam ranah sosial. Tipe-tipe manusia yang bermental seperti inilah yang senantiasa sadar kalau ia, selain untuk dirinya sendiri, ternyata juga hidup untuk orang lain.
Dengan mental altruistisnya, ia tidak akan rela jika ia menjadi penambah derita orang lain dengan perkataan dan perbuatannya. Ia juga tak akan sudi sedikit pun jika suatu saat ia didapati oleh orang di sekitarnya sebagai orang munafik, pengkhianat, pendengki, dan berhati busuk. Oleh sebab itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa ikhlas dan memberikan perlakuan yang terbaik kepada sesamanya.
Orang yang bermental altruistis selalu ingat, bagaimana sejarah pada akhirnya selalu membuka kedok orang-orang munafik. Sejarah tak peduli, bagaimanapun lihainya seorang munafik dalam menyembunyikan kebusukannya. Yang pasti ia bakal terkuak. Dan manusia yang datang setelah itu pun akan leluasa melihatnya. Beberapa saat kemudian, mereka pun mengutuk kebobrokan sang munafik.
Lalu kita, yang masih diberikan anugerah kehidupan oleh Allah seperti sekarang ini, masihkah kita larut dalam kegoisan kita ini? Sampai kapan kita terus saja menyimpan kebusukan di dalam hati kita? Sampai kapan kemunafikan ini terus saja mendikte langkah-langkah kita? Tidakkah kita sadar jika kita adalah bahan percontohan bagi orang-orang yang datang setelah kita? Lalu mengapa kita masih saja memberikan contoh yang buruk untuk mereka?

27 Maret 2014
Ahmad Satriawan Hariadi 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India