Menyoal Nama WIHDAH dan Kesadaran Bahasa

Aneh rasanya ketika ada sebuah komunitas "ilmiah" di negerinya al-Azhar, sang penjaga bahasa Arab sejak seribu tahun lalu, masih terbata-bata dalam berbahasa. Dan lebih aneh lagi, jika komunitas ini hanya mengandalkan hafalan dan pemahaman yang dangkal dalam menaklukkan ujian di kampusnya.

Lalu ketika publik mempertanyakan kemampuan—baik ilmiah maupun literer, anda jangan sekali-kali heran jika mereka memandang komunitas ini dengan sebalah mata. Perkara ini memang terlihat begitu remeh dan terkesan tidak terlalu penting. Namun tidak ada yang menyangkal, kalau bahasa Arab adalah bahasa mayor di perguruan tinggi tertua ini.

Anggapan yang mengakar di komunitas ini bahwa kehidupan ilmiah cukup hanya dengan pemahaman bacaan, sungguh amat disayangkan. Bagaimana tidak, peran komunikasi ilmiah—seperti diskusi, debat, pidato/khotbah dan lain-lain—yang nyata-nyata membutuhkan kemampuan verbal, tidak bisa diabaikan begitu saja.

Sebab itu, anda jangan pernah bermimpi, jika ada komunikasi yang terjalin antara mahasiswa/mahasiswi dengan para dosen saat kelas berlangsung, atau ada seseorang dari komunitas ini yang tampil sebagai pembicara di forum-forum international. Akibatnya, bayangan mengenai model mahasiswa/mahasiswi yang kritis dan elegan, tentu sangat susah dicari.

Adapun yang terjadi adalah menguatnya anggapan diskriminatif dari mereka (baca: mahasiswa/mahasiswi Mesir maupun dosen) bahwa mahasiswa/mahasiswa Asia Tenggara, khususnya  Indonesia,  adalah sekumpulan orang-orang dungu dan apatis ketika muhadarah.

Berangkat dari anggapan inilah, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa perhatian komunitas ini terhadap bahasa Arab—baik membaca, menulis, dan berbicara—sebagai nyawa kehidupan ilmiah di negeri para ulama ini, sungguh sangat kecil, dan tak sebanding dengan perhatian mereka terhadap kegiatan organisasi, bisnis, olahraga, musik maupun yang lainnya. Sehingga anda jangan sekali berpikir mengenai perhatian mereka untuk berbahasa Arab yang benar dan fasih.

Menyoal Nama WIHDAH
Bukti yang paling konkret dari minimnya perhatian terhadap bahasa Alquran ini adalah nama “WIHDAH”, nama organisasi yang menghimpun seluruh mahasiswi Indonesia di Mesir. Organisasi yang didirikan pada tanggal 23 Januari 1989, dibawah komando Ellywarti ini, memilih nama “WIHDAH” sebagai nama organisasi kemahasiswian tersebut.

Menurut sumber resmi WIHDAH, pemilihan nama tersebut didasarkan pada upaya untuk menyatukan dua sudut pandang kontradiktif di kalangan mahasiswi pada waktu itu. Pertama, kalangan yang tidak memperbolehkan ikhtilath. Kedua, kalangan yang menganggap bahwa ikhtilath, selama bernilai positif, tidaklah menjadi masalah. Akhirnya, dipilihlah nama “WIHDAH”, yang berarti “persatuan”, agar mampu menyatukan dua kalangan di atas.

Jika benar kata “wihdah” yang Ellywarti dkk. maksudkan merujuk pada “persatuan”, maka kata yang benar adalah “wahdah”, bukan “wihdah”. Namun tidak bisa pungkiri, bahwa yang pertama kali mengkasrahkan huruf wau pada kata “wahdah”, sebagaimana kata Syeikh Muhammad al-Ghazali, adalah Presiden Gamal Abdel Nasser, ketika ia mengampanyekan Pan-Arabisme (al-Wahdah al-Qaumiyyah al-Arabiyyah) versi dia pada dekade 50-an. Pada waktu itu, Nasser memakai kata “wihdah”, bukan “wahdah”.

Akibatnya, kata “wihdah” tergaung di seluruh penjuru Timur Tengah, terlebih di Bumi Kinanah ini. Semua lapisan masyarakat—dari golongan bawah hingga aristokrat—juga ikut berbondong-bondong menyerukah kata “wihdah”. Tak ayal, jejak kata “wahdah” pun berangsur-angsur lenyap di permukaan, dan hanya tersisa di lidah para penekun dan pemerhati bahasa Arab.

Mungkin banyak yang menganggap bahwa kata “wihdah” maupun “wahdah”, tidak perlu dipermasalahkan, sebagaimana kata “dilalah” dan “dalalah”, begitu juga kata “ilaqah” dan “alaqah”.

Tetapi kita katakan kepada mereka bahwa memang benar jika kedua kata tersebut, yaitu kata “dilalah” dan “alaqah”, mempunyai dua cara baca; kasrah dan fathah. Namun tidak demikian dengan kata “wahdah”, sebagaimana di dalam kamus-kamus bahasa Arab. Sebab, sampai kiamat sekalipun, kata “wahdah” tidak akan berubah menjadi “wihdah”.

Mungkin karena begitu popularnya kata “wihdah” pada akhir dekade 80-an, dan minimnya perhatian Ellywarti dkk terhadap validitas bahasa Arab, inilah yang menyebabkan mereka memilih kata “wihdah”, tanpa sadar—layaknya akademisi—bahwa  yang seharusnya di pakai adalah kata “wahdah”.

Namun yang amat disayangkan adalah tidak adanya kesadaran pengurus dan anggota organisasi WIHDAH dari tahun ke tahun mengenai kesalahan nama ini. Hingga kini, di usia WIHDAH yang ke-24, belum juga ada tanda-tanda atau gaung untuk memperbaiki nama organisasi kemahasiswian tersebut.

Memang, ada beberapa mahasiswi—sebagaimana kata Nor Annisa Utami, mantan punggawa WIHDAH—yang mempertanyakan (baca: heran) nama organisasi ini. Namun tetap saja tidak cukup jika hanya berkisar pada obrolan ringan saja. Penulis melihat Sidang Permusyawaratan Anggota (SPA) WIHDAH pada bulan Maret 2013 ini, merupakan momen paling yang tepat untuk meninjau kembali nama WIHDAH. Momen untuk menunjukkan keseriusan dan perhatian kita pada bahasa Alquran.

Kesadaran Bahasa

Diakui atau tidak, permasalahan nama WIHDAH merupakan contoh kecil dari sikap apatis kita terhadap bahasa Arab. Tetapi penulis tidak menafikan adanya geliat mahasiswa maupun mahasiswi dalam belajar kaidah bahasa Arab, sebagaimana termanifestasi dalam keikutsertaan mereka di Madrasah Nahwu MAWAR ICMI, daurah Alfiyah Ibnu Malik, dan lain-lain. Penulis juga tidak menafikan semangat mereka mengikuti hal-hal semacam ini, bahkan MAWAR, hingga saat ini sudah mewisuda beberapa generasi sejak tahun 2010.

Namun tidak ada yang membantah, kalau bahasa pengantar yang dipakai di MAWAR maupun yang lainnya, adalah bahasa Indonesia. Hal ini seakan mengembalikan kita pada suasana belajar-mengajar di pesantren dulu. Sehingga penulis melihat adanya semacam kemunduran yang begitu signifikan dalam metode belajar bahasa Arab, sekaligus menunjukkan bahwa kita tidak kuasa (baca: tidak siap) dengan metode al-Azhar yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, mengingat keberadaan kita di Negeri al-Azhar dan status kita sebagai mahasiswa/mahasiswi al-Azhar.

Oleh sebab itu, untuk menunjang kemampuan bahasa Arab—terutama kemampuan verbal—yang selama ini diabaikan oleh mahasiswa/mahasiswi Indonesia, baik itu berupa kemampuan berdebat, pidato/khotbah, maupun penulisan makalah bahasa Arab; perlu diadakan kajian khusus berbahasa Arab yang mencakup hal-hal di atas. Adapun mengenai bayangan model kajian yang paling cocok, penulis melihat kajian Kawakib al-Fusaha’, yang dibimbing langsung oleh Dr. Syarafuddin Muslim sejak tahun 2010, merupakan model yang patut ditiru untuk kemudian diberdayakan.

Akhirnya, inilah usaha untuk mengajak kawan-kawan mahasiswa maupun mahasiswi untuk benar-benar serius menekuni dan memperhatikan bahasa Arab. Kita harus sadar, bahwa al-Azhar, lewat para azhary, telah menjaga bahasa wahyu ini selama seribu tahun lebih lamanya. Jangan sampai hal ini terputus di tangan kita, selaku azhary di masa depan. []

Islamic Missions City, 3 Maret 2013

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India