![]() |
Sumber gambar: http://news.viva.co.id/ |
Pernahkah dada Anda sesak oleh sebuah dendam?
Dengan penuh keyakinan, Anda pasti akan menjawab “Pernah”. Iya, Anda, saya dan
semua orang pasti pernah menyimpan sebuah dendam, bahkan tumpukan dendam. Lalu Anda
pasti bertanya-tanya, mengapa saya bertanya demikian? Bukankah hal tersebut
manusiawi? Jawaban saya “Iya”, bahkan sangat manusiawi.
Dendam, menurut saya, adalah kekecewaan dalam
kelemahan. Lalu katakan kepada saya, siapa di antara kita yang tidak pernah
kecewa? Siapa di antara kita yang tidak ingin membalas kekecewaannya dengan hal
setimpal, bahkan lebih?
Kalau dendam tidak manusiawi, maka langit
tidak akan pernah mengundangkan undang-undang ‘balas dendam’. Kalau dendam
tidak manusiawi, maka kita tidak akan pernah mendengar bagaimana orang Arab
Jahiliah menuhankan balas dendam. Kita tidak akan pernah tahu mitos Arab
Jahiliah yang mengatakan, jika mereka tidak membalas dendam, maka mereka dan
kabilah mereka akan terkutuk untuk selamanya.
Kembali lagi ke pertanyaan sebelumnya, yaitu
mengapa saya menanyakan hal di atas. Saya menanyakan hal di atas karena saya
menegaskan bahwa pengaruh dendam begitu signifikan dalam kehidupan seseorang. Pengaruh
dendam itu, menurut saya, ibarat pisau. Iya, pisau yang bisa membunuh jika
penggunaannya salah. Begitu juga sebaliknya.
Jadi, ketika dada Anda mulai sesak oleh
sebuah dendam, maka pada saat itu juga Anda berada di tengah-tengah
persimpangan jalan. Apakah Anda bakal menjadikan dendam itu sebagai motivasi
untuk melejitkan potensi, atau sarana untuk menyingkirkan Anda dari kafilah
kehidupan. Semuanya kembali kepada diri Anda.
Jika kita merenung lebih dalam lagi, kita
pada ujungnya akan menyimpulkan bahwa tidak ada di atas permukaan bumi ini satupun
motivasi yang mengalahkan motivasi balas dendam. Anda mungkin akan menyanggah,
bagaimana dengan motivasi cinta? Iya, motivasi cinta memang kuat, tapi tidak
sekuat motivasi balas dendam. Cinta Anda bisa bertambah dan berkurang. Cinta Anda bahkan bisa lenyap seketika jika sudah terinfeksi virus “telantar”. Namun tidak
dengan dendam. Dendam hanya mengenal kata bertambah dan bertambah.
Dari sana, kita akhirnya akan sepakat betapa
pentingnya kita mengatur rasa dendam yang membuncah di dalam dada. Memang,
dendam sangat identik dengan kekerasan dan hal-hal negatif lainnya. Namun jika
kita lebih cermat lagi, maka kita akan menyadari kalau rasa dendam adalah
anugerah Tuhan yang paling agung dalam membantu manusia menyingkap semua
potensi yang masih tersembunyi di dalam dirinya.
Kita yang terhalangi oleh kelemahan kita saat
ini untuk membalas ejekan dan hinaan, sama sekali bukan akhir dari segalanya. Rasa
kecewa yang begitu pahit dan mengikis hati ini seharusnya membuat kita yang
selama ini biasa-biasa saja menjadi semakin cepat berlari, semakin tekun
belajar, semakin mengasah bakat, dan semakin menghargai waktu.
Lalu ketika semua benar-benar dalam
keseriusan dan kesungguhan, kita akan mendapati bahwa rasa dendam tersebut
tiada lain merupakan titian hidayah menuju Allah. Dalam hal ini, apa yang saya
maksudkan tadi sungguh sejalan dengan perkataan orang salih zaman dulu, “Kami
sebelumnya menuntut ilmu dengan berbagai macam motif. Namun setelah kami
mendalaminya, ilmu tersebut menolak motif-motif kami, sebab hanya ingin kami
menuntutnya karena Allah.”
Islamic Missions City, 13 Januari 2015
Ahmad
Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment