Salah satu kelebihan yang Allah berikan kepada kita adalah kerunia ilmu pengetahuan yang diajarkan lewat perantara guru. Jika dicermati, tugas guru hampir serupa dengan tugas Rasulullah. Guru-lah yang membimbing dan menuntun manusia agar senantiasa berada pada rel kebenaran dan cahaya ilmu pengetahuan. Maka dalam hal ini, sungguh tepat orang Arab tatkala mengatakan, “Hampir saja seorang guru menjadi Nabi.”
Jika meniliti tabiat kehidupan lebih jauh, maka semua makhluk Tuhan
(baca: alam semesta) adalah guru, terlebih kita sebagai manusia, yang ditunjuk
menjadi khalifah di muka bumi. Kita adalah guru bagi diri kita sendiri,
kemudian keluarga, hingga menjadi guru bangsa.
Ini merupakan konsekuensi logis yang mesti kita terima dengan
lapang dada. Sebab, tabiat hidup memang telah didesain untuk selalu berubah
setiap detiknya, sehingga menuntut kita untuk selalu siap menempati posisi yang
ditinggalkan oleh para pendahulu.
Kita harus menujukkan bahwa kita—sebagaimana kata Sultan
Muhammad al-Fatih saat hendak menaklukkan Konstantinopel—memang layak menjadi
penerus generasi terdahulu.
Proses regenerasi merupakan bukti yang paling konkret, betapa kita
memang harus menjadi guru—terlepas dari pekerjaan sebagai guru formal. Proses pertumbuhan
dan perkembangan yang kita alami; mulai dari balita hingga dewasa—membuktikan bahwa
hidup memang tidak stagnan. Rela atau tidak, hidap telah mendaulat kita menjadi
guru bagi orang-orang setelah kita.
Generasi setelah kita adalah tanggung jawab kita seutuhnya. Jika tidak
bisa memberikan pendidikan/pengajaran yang lebih baik dari apa yang
telah diberikan oleh pendahulu kita, maka paling tidak kita harus memberikan
hal yang sama kepada generasi setelah kita.
Oleh sebab itu, hal yang paling logis untuk kita lakukan adalah
melakukan pembenahan diri sejak dini. Kita harus menjadi sosok yang matang dan berkualitas
secara pola pikir, yang kemudian diaktualkan dengan tindakan yang terpuji dan
bermanfaat bagi umat manusia.
Untuk menjadi sosok yang didamba tersebut, tentu tidak mungkin
dicapai dengan bermimpi atau bermalas-malasan. Pola pikir yang matang dan berkualitas hanya akan didapati dengan
membaca kehidupan, yaitu dengan menambah pengalaman dan memperkaya wawasan
kita.
Adapaun cara yang paling jitu untuk memperkaya pengalaman adalah
berinteraksi langsung dengan alam semesta, bukan berdiam diri di tempat
tinggal. Begitu juga dengan pengayaan wawasan, kita tidak mungkin bisa
memperkaya wawasan dengan cengengesan di depan laptop ataupun nongkrong di mall
maupun di pinggir jalan. Wawasan kita hanya akan bertambah dengan membaca dan
membaca.
Kematangan pola pikir saja tidak cukup untuk menjadi sosok ideal
bagi seorang guru. Ia harus mengaktualkannya dalam tindakan-tindakan terpuji,
hingga ia menjadi teladan yang baik bagi orang disekitarnya. Proses
pengaktualan ini—dalam aplikasi realnya—tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Ia membutuhkan motor penggerak yang senantiasa mengarahkannya untuk melakukan
tindakan yang bermanfaat bagi umat manusia. Motor penggerak tersebut adalah
keimanan yang kokoh dan kesempurnaan tawakal kepada Tuhan.
Kondisi ekonomi kita boleh saja tidak kuasa mengantarkan kita
menyelesaikan jenjang pendidikan yang kita dambakan. Namun, jangan sampai
terbesit dalam pikiran kalau kita tidak ada apa-apanya di dunia ini.Kita adalah guru yang sejati. Guru bagi generasi setelah kita. Jika
kita hanya bisa menyebrangi satu pulau, maka generasi setelah kita harus
mengelilingi dunia. Obsesi mereka tidak akan bisa menjadi kenyataan kecuali
adanya dorongan yang konsisten dari kita, selaku guru bagi mereka semua.
Islamic Missions City, 4 September 2012
Ahmad Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment