Si
tamu begitu terheran-heran melihat tuan rumah selalu berdiri --sebagaimana ia
menyambut tamunya-- setiap kali pembantunya masuk ke ruang kerjanya.
“Kenapa
Anda harus repot-repot berdiri untuk pembantu Anda?” tanya si tamu.
Tahukah
Anda apa jawaban si tuan rumah? Ya. Dia tak menjawab pertanyaan si tamu, tapi
malah balik bertanya, “Lalu apa bedanya pembantu saya dengan para tamu saya
yang lain?!”
Akhirnya
si tamu berkata kepada dirinya sendiri, “Aku seperti melihat Nabi pada akhlak orang
ini.”
Dari kisah di atas, saya mencoba merenungi mengapa si tamu
mengatakan bahwa ia seperti melihat Nabi pada akhlak si tuan rumah. Beberapa
saat kemudian, saya baru menyadari bahwa seseorang, sebelum ia menjadi diri dia
saat ini --apakah itu dokter, guru, filsuf, pilot, entrepreneur, presiden,
rakyat jelata, pembantu rumah tangga--; sebelum ia menjadi itu semua adalah
seorang manusia.
Ya. Manusia yang telah dimuliakan oleh Allah jauh sebelum ia
dilahirkan. Manusia yang harus dihormati dan dihargai, tanpa peduli jabatan dan
strata sosialnya, tanpa peduli keyakinan dan kepercayaannya.
Saya pun teringat bahwa Nabi Muhammad pernah berdiri memberikan
penghormatan kepada jenazah yang lewat di depannya. Manakala beliau diberi tahu
kalau jenazah yang barusan lewat di depannya adalah seorang Yahudi, Nabi lantas
berkata, “Bukankah dia adalah seorang manusia?!”
Tahukah Anda siapa si tuan rumah tersebut? Dialah Muhammad
Farid Wajdi (1878-1954), sosok langka seorang muslim yang pernah dilahirkan di
era modern ini. Sosok unik yang jarang sekali kita temukan tandingannya. Sosok
yang menyelamatkan muka kaum muslimin di hadapan para orientalis saat ia
menyaingi mereka dengan mengarang sepuluh jilid “Ensiklopedi Islam Abad 20”
seorang diri selama sepuluh tahun.
Ensiklopedi yang seharusnya dikerjakan oleh puluhan ulama dan
pemikir menurut kapasitas dan keahlian mereka, sebagaimana Ensiklopedi Islam
yang ditulis para orientalis dalam kurun waktu puluhan tahun; namun oleh Farid
Wajdi dikerjakan seorang diri hanya dalam tempo sepuluh tahun saja.
Lihatlah betapa dalam dan betapa luasnya pengetahuan tokoh ini!
Apalagi jika kita menyadari kalau Farid Wajdi hanyalah lulusan SMP.
Cairo, 3 November 2014
Ahmad Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment