Bermuka Dua


Kawan, tatapan kebencianmu
Mengisyaratkan kesengsaraan
Membias wajah kematianku
Menyegerakan senja hidupku
Kawan, buka saja penutupmu!
Agar api kedengkian itu
Tak membakar langkah-langkah esok
Tak memasungmu di balik tembok


Islamic Missions City, 30 Agustus 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Tak Ada Lagi

Kini tak ada lagi tempat untuk senyap
Tempat di mana merebahkan keluh kesah
Saat wajah polos itu menyisakan cacian
Saat apa yang terlihat hanya tipuan

Kini tak ada lagi tempat untuk tenang
Tempat jiwa berlepas dari perih itu
Saat keangkuhan menjelma keramahan  
Saat kemunafikan dalam keanggunan


22 Agustus 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Taman Kerinduan


apa yang tersisa
dari kisah lama Gibran dan Salma
bila kini aku tersekat dalam bimbang
menjamu keresahan dan kesendirian
setelah kepergianmu senja itu
terpikir kembali..
saat kulihat pantulan mentari
dari kerudung jinggamu
saat aku tak sadar
jika kau telah bermekar
memenuhi taman kerinduanku


Islamic Missions City, 30 Juli 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Dari Meninggalnya Gusti hingga GAMIS II

Jika anda melihat sebuah komunitas yang kerjaannya cuma bisa saling mengandalkan, kemudian menyalahkan satu sama lain saat terjadi sebuah bencana, maka yakinlah seyakin-yakinnya bahwa komunitas tersebut jauh dari kata dewasa dan terdidik, serta jauh dari kata peradaban dan inovasi. 

Kita harus tahu, bahwa usia dan jenjang pendidikan yang tinggi, bukan garansi sebuah kedewasaan sikap dan kematangan pikiran. Sehingga kita tidak perlu heran, mengapa sebuah komunitas masisir yang berisikan mahasiswa, perkerja, dan diplomat ini; terlihat lebih banyak omong daripada perbuatan nyatanya.

Karena komunitas ini begitu banyak omong, maka ketika mereka berembuk untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, permusyawarahan mereka pun hanya terhenti di meja, lalu tersendat dana, kemudian hilang entah kemana. 

Karena pikiran yang sangat miskin inovasi, maka hasil permusyawarahan mereka pun serupa hasil bincang ringan anak-anak sekolahan, atau seperti mimpi seorang pengkhayal yang tak menemukan cara untuk merealisasikan mimpinya.

Karena pragmatisme yang sudah mengakar, maka yang lebih kentara ketika terjadi musibah seperti sekarang ini adalah kepentingan politis yang busuk. Oleh karena itu, mereka hanya memikirkan, bagaiamana agar foto-foto yang merekam bentuk tanggap dan keprihatinan sesaat mereka terhadap sebuah musibah; bisa dilihat oleh jutaan manusia.

Padahal, mereka baru mau tanggap dan menampakkan batang hidungnya, setelah semua urusan terselesaikan. Dengan begitu, anda tidak perlu heran, mengapa gerak-gerik mereka begitu lamban dalam segala hal. 

Pemandangan memuakkan semacam ini bukannya terjadi sekali dua kali, tapi berkali-kali. Namun anehnya komunitas kita ini seolah-olah masa bodoh dengan rajutan musibah yang menimpa kita. Sikap kita yang seperti ini, seakan-akan mengisyaratkan sebuah kepasrahan untuk menantikan bencana berikutnya. Iya, kita ini tidak pernah mau belajar dari kelalaian dan kesalahan kita sebelumnya.

Inilah yang terjadi dengan almarhumah Gusti Rahma Yeni, berikut musibah yang menimpanya. Musibah ini, sebagaimana kata salah seorang teman, merupakan klimaks dari rentetan kriminalitas yang tak pernah diusut tuntas. Iya, sebelum kejadian naas ini, kita tidak tahu sudah berapa rumah masisir yang dibobol dan dicuri, sudah berapa banyak kawan masisir yang dirampok di tengah jalan.

Oleh karena itu, penulis mengira bahwa inilah saatnya para pemangku kebijakan harus benar-benar serius memikirkan keselamatan warga Indonesia di negeri Mesir ini. Para pemangku kebijakan harus benar-benar menunjukkan langkah-langkah konkret untuk menjamin keselamatan WNI. Para pemangku kebijakan harus berhenti berleha-leha, sembari mencari-cari alasan agar selamat dari badai kritikan.

Namun apa yang terjadi setelah tragedi memilukan ini berlalu? Kita tetap seperti sediakala, tetap saling mengandalkan, tetap saling menyalahkan, tetap membuat masalah terkatung-katung tanpa langkah-langkah solutif, tetap memikirkan diri sendiri dan kelompok. Bahkan saking anehnya komunitas kita ini, di sela-sela duka yang menyelimuti masisir, masih ada terdengar sentimen kedaerahan yang menyeruak ke permukaan.

Kemudian jika kita memperhatikan hasil Gathering Masisir (GAMIS) II “Tentang Keamanan Masisir” tanggal 23 Juli lalu, kita akan menemukan hasil rapat yang rupanya bakal berujung seperti sebelum-sebelumnya. Terhenti di meja, lalu tersendat dana, kemudian hilang dimakan waktu.

Tidak hanya itu, ketika kita membaca dengan saksama poin-poin penting GAMIS II ini, kita akan menemukan hasil bincang-bincang yang sangat jauh dari kata realisasi. Jika anda tidak percaya, simaklah salah satu poin penting hasil rapat tersebut; seperti daerah Hay Asyir sudah tidak lagi aman untuk ditinggali. Kemudian kita pun bertanya: jika memang demikian, maka apa solusi anda terkait ketidakamanan wilayah Hay Asyir ini? Apakah memindahkan semua masisir beserta rumah-rumah kekeluargaan ke wilayah yang baru dan aman? Kemudian sejauh mana patroli DKKM bisa menjamin keamanan masisir? Begitu juga dengan poin-poin lainnya, yang menunjukkan bahwa kita memang sangat miskin inovasi.

Lalu berbeda halnya jika kita melihat hasil keputusan musyawarah WIHDAH dan Keputrian Nusantara, yang merupakan tindak lanjut dari GAMIS II tersebut. Dengan mencermati hasil keputusan musyawarah tersebut, kita akan melihat perbedaan yang begitu signifikan dibandingkan dengan poin-poin penting GAMIS II. Salah satu penyebabnya adalah karena hasil rapat Wihdah tersebut lebih konkret dalam pengaktualannya, dan tentu lebih praktis ketimbang hasil GAMIS II yang sebagian besar poin-poinnya masih dalam tahap perencanaan.

Tetapi hasil keputusan musyawarah WIHDAH tersebut tetap saja mengundang tanya; misalnya sejauh mana peraturan ini mengikat para mahasiswi agar mereka senantiasa menaatinya? Apakah ada tindakan tegas dari WIHDAH jika ada mahasiswi yang melanggar aturan ini? Apakah WIHDAH mempunyai petugas khusus yang mengawasi penerapan aturan ini di kalangan mahasiswi, berikut data pelakasanaannya; sehingga tidak sekedar rapi dan tegas di atas kertas, namun loyo dan amburadul dalam pengaktualannya?  

Anda boleh berkata bahwa penulis dalam hal ini bisanya cuma mengkritik dan mengkritik, tanpa memberikan solusi yang konkret. Iya, penulis akui hal ini. 

Namun apakah hal demikian itu menjadi sebuah kesalahan, jika ada seseorang yang berusaha menjelaskan penyakit umum yang mewabahi komunitasnya?! Apakah merupakan sebuah keburukan, jika ada seseorang yang mengangkat suara terkait kebobrokan yang menguasi seluruh elemen komunitasnya?! 

Apakah kemudian masuk akal, jika kita kita terus saja membohongi diri kita sendiri, dengan mengatakan bahwa komunitas kita ini adalah komunitas yang sehat, sementara fakta mengatakan sebaliknya?! []


Islamic Missions City, 29 Juli 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India