Jika anda melihat sebuah komunitas yang kerjaannya cuma bisa saling
mengandalkan, kemudian menyalahkan satu sama lain saat terjadi sebuah bencana,
maka yakinlah seyakin-yakinnya bahwa komunitas tersebut jauh dari kata dewasa
dan terdidik, serta jauh dari kata peradaban dan inovasi.
Kita harus tahu, bahwa usia dan jenjang pendidikan yang tinggi, bukan
garansi sebuah kedewasaan sikap dan kematangan pikiran. Sehingga kita tidak
perlu heran, mengapa sebuah komunitas masisir yang berisikan mahasiswa,
perkerja, dan diplomat ini; terlihat lebih banyak omong daripada perbuatan
nyatanya.
Karena komunitas ini begitu banyak omong, maka ketika mereka berembuk
untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, permusyawarahan mereka pun hanya
terhenti di meja, lalu tersendat dana, kemudian hilang entah kemana.
Karena pikiran yang sangat miskin inovasi, maka hasil permusyawarahan
mereka pun serupa hasil bincang ringan anak-anak sekolahan, atau seperti mimpi
seorang pengkhayal yang tak menemukan cara untuk merealisasikan mimpinya.
Karena pragmatisme yang sudah mengakar, maka yang lebih kentara ketika
terjadi musibah seperti sekarang ini adalah kepentingan politis yang busuk.
Oleh karena itu, mereka hanya memikirkan, bagaiamana agar foto-foto yang
merekam bentuk tanggap dan keprihatinan sesaat mereka terhadap sebuah musibah;
bisa dilihat oleh jutaan manusia.
Padahal, mereka baru mau tanggap dan menampakkan batang hidungnya,
setelah semua urusan terselesaikan. Dengan begitu, anda tidak perlu heran,
mengapa gerak-gerik mereka begitu lamban dalam segala hal.
Pemandangan memuakkan semacam ini bukannya terjadi sekali dua kali, tapi
berkali-kali. Namun anehnya komunitas kita ini seolah-olah masa bodoh dengan
rajutan musibah yang menimpa kita. Sikap kita yang seperti ini, seakan-akan
mengisyaratkan sebuah kepasrahan untuk menantikan bencana berikutnya. Iya, kita
ini tidak pernah mau belajar dari kelalaian dan kesalahan kita sebelumnya.
Inilah yang terjadi dengan almarhumah Gusti Rahma Yeni, berikut musibah
yang menimpanya. Musibah ini, sebagaimana kata salah seorang teman, merupakan klimaks
dari rentetan kriminalitas yang tak pernah diusut tuntas. Iya, sebelum kejadian
naas ini, kita tidak tahu sudah berapa rumah masisir yang dibobol dan dicuri,
sudah berapa banyak kawan masisir yang dirampok di tengah jalan.
Oleh karena itu, penulis mengira bahwa inilah saatnya para pemangku
kebijakan harus benar-benar serius memikirkan keselamatan warga Indonesia di
negeri Mesir ini. Para pemangku kebijakan harus benar-benar menunjukkan
langkah-langkah konkret untuk menjamin keselamatan WNI. Para pemangku kebijakan
harus berhenti berleha-leha, sembari mencari-cari alasan agar selamat dari
badai kritikan.
Namun apa yang terjadi setelah tragedi memilukan ini berlalu? Kita tetap
seperti sediakala, tetap saling mengandalkan, tetap saling menyalahkan, tetap
membuat masalah terkatung-katung tanpa langkah-langkah solutif, tetap
memikirkan diri sendiri dan kelompok. Bahkan saking anehnya komunitas kita ini,
di sela-sela duka yang menyelimuti masisir, masih ada terdengar sentimen
kedaerahan yang menyeruak ke permukaan.
Kemudian jika kita memperhatikan hasil Gathering Masisir (GAMIS) II “Tentang
Keamanan Masisir” tanggal 23 Juli lalu, kita akan menemukan hasil rapat yang
rupanya bakal berujung seperti sebelum-sebelumnya. Terhenti di meja, lalu
tersendat dana, kemudian hilang dimakan waktu.
Tidak hanya itu, ketika kita membaca dengan saksama poin-poin penting
GAMIS II ini, kita akan menemukan hasil bincang-bincang yang sangat jauh dari
kata realisasi. Jika anda tidak percaya, simaklah salah satu poin penting hasil
rapat tersebut; seperti daerah Hay Asyir sudah tidak lagi aman untuk
ditinggali. Kemudian kita pun bertanya: jika memang demikian, maka apa solusi
anda terkait ketidakamanan wilayah Hay Asyir ini? Apakah memindahkan semua
masisir beserta rumah-rumah kekeluargaan ke wilayah yang baru dan aman? Kemudian
sejauh mana patroli DKKM bisa menjamin keamanan masisir? Begitu juga dengan
poin-poin lainnya, yang menunjukkan bahwa kita memang sangat miskin inovasi.
Lalu berbeda halnya jika kita melihat hasil keputusan musyawarah WIHDAH dan
Keputrian Nusantara, yang merupakan tindak lanjut dari GAMIS II tersebut.
Dengan mencermati hasil keputusan musyawarah tersebut, kita akan melihat
perbedaan yang begitu signifikan dibandingkan dengan poin-poin penting GAMIS
II. Salah satu penyebabnya adalah karena hasil rapat Wihdah tersebut lebih
konkret dalam pengaktualannya, dan tentu lebih praktis ketimbang hasil GAMIS II
yang sebagian besar poin-poinnya masih dalam tahap perencanaan.
Tetapi hasil keputusan musyawarah WIHDAH tersebut tetap saja mengundang
tanya; misalnya sejauh mana peraturan ini mengikat para mahasiswi agar mereka
senantiasa menaatinya? Apakah ada tindakan tegas dari WIHDAH jika ada mahasiswi
yang melanggar aturan ini? Apakah WIHDAH mempunyai petugas khusus yang
mengawasi penerapan aturan ini di kalangan mahasiswi, berikut data pelakasanaannya;
sehingga tidak sekedar rapi dan tegas di atas kertas, namun loyo dan amburadul
dalam pengaktualannya?
Anda boleh berkata bahwa penulis dalam hal ini bisanya cuma mengkritik
dan mengkritik, tanpa memberikan solusi yang konkret. Iya, penulis akui hal
ini.
Namun apakah hal demikian itu menjadi sebuah kesalahan, jika ada
seseorang yang berusaha menjelaskan penyakit umum yang mewabahi komunitasnya?! Apakah
merupakan sebuah keburukan, jika ada seseorang yang mengangkat suara terkait
kebobrokan yang menguasi seluruh elemen komunitasnya?!
Apakah kemudian masuk akal, jika kita kita terus saja membohongi diri
kita sendiri, dengan mengatakan bahwa komunitas kita ini adalah komunitas yang
sehat, sementara fakta mengatakan sebaliknya?! []
Islamic Missions City, 29 Juli 2014
Ahmad Satriawan Hariadi