30 Hari untuk Selamanya

Baru kemarin rasanya matahari Ramadan menyinari kerentaan pijakan ini. Sinar teriknya mengangkat air dosa yang bermuara di lautan tanpa henti, walau semasa saja. Langit cerahnya memurnikan kembali air yang selama ini asin oleh rajutan silap dan kecongkakan. Lalu kemurnian itu bersatu padu dalam ambangan awan putih yang suci. Sesaat kemudian air tawar itu menjadi rahmat dan ampunan saat senjakala Ramadan. Ketika menyambut Fitri, jagat raya pun bersuka cita dalam ketenangan dan kemakmuran penghidupan.
Lalu hari ini pijakan menjadi tandus dan langit begitu terik membara. Apa yang ada di depan mata tak dapat tergapai karena begitu pekatnya kabut kelalaian. Seluruh mata tak lagi mampu membaca peta kebenaran, karena semua jalan bertuliskan “kebenaran”. Kering kerontang dunia menjadi-jadi karena sari pati kehidupan sudah tak lagi bersamanya. Makhluk-makhluk kini hanya berupa jasad tak bernyawa yang hanya bisa makan, minum, tidur, dan menyakiti sesama.
Iya, dunia kembali lagi dalam ketandusan dan kepenatan masa lalu. Tak ada yang terbanggakan dari apa terlihat. Semua eksistensi pada hari ini membias kematian. Meski cahaya merah jingga hari ini sudah menampakkan cengirnya di ufuk barat, nyatanya semua masih sama. Pada dahi-dahi kehidupan tertulis “kematian”, karena apa yang terlihat sama sekali tak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Begitulah suasana senjakala yang hendak menyambut fajar Ramadan.
Siapa yang tahu jika esok fajar Ramadan akan menampakkan lesung pipinya di ufuk timur? Tak banyak yang menyadari jika langit kembali lagi memberikan kesempatan untuk bersua dengannya lagi. Namun pikiran kebanyakan adalah kesamaan yang membuat untaian berlian seperti serakan kerikil di jalanan, atau masa yang kepastian datangnya seumpama janji matahari. Sedang pemilik kebesaran jiwa melihatnya sebagai bahtera yang menyampaikan kafilah kehidupan pada hulu manisnya keabadian. Ia melihatnya seperti kereta yang mengangkutnya dari kota mati yang kesengsaraanya terabadikan.
Bersukacitalah pemilik kebesaran jiwa! Fajar Ramadan telah merekah. Ia siap membawamu dari hiruk pikuk yang memabukkan. Mengangkatmu dari penghambaan eksistensi-eksistensi yang membuatmu berjalan dengan kepalamu, menuju puncak kemulian dengan menghambakan diri hanya kepada Raja Diraja jagat raya. Fajar Ramadan hanyalah milikmu semata.
Tiga puluh hari untuk selamanya...


Bawwabah, senjakala Sya’ban 1434 H

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India