Baru kemarin rasanya matahari Ramadan menyinari
kerentaan pijakan ini. Sinar teriknya mengangkat air dosa yang bermuara di
lautan tanpa henti, walau semasa saja. Langit cerahnya memurnikan kembali air
yang selama ini asin oleh rajutan silap dan kecongkakan. Lalu kemurnian itu
bersatu padu dalam ambangan awan putih yang suci. Sesaat kemudian air tawar itu
menjadi rahmat dan ampunan saat senjakala Ramadan. Ketika menyambut Fitri, jagat
raya pun bersuka cita dalam ketenangan dan kemakmuran penghidupan.
Lalu hari ini pijakan menjadi tandus dan langit
begitu terik membara. Apa yang ada di depan mata tak dapat tergapai karena
begitu pekatnya kabut kelalaian. Seluruh mata tak lagi mampu membaca peta
kebenaran, karena semua jalan bertuliskan “kebenaran”. Kering kerontang dunia
menjadi-jadi karena sari pati kehidupan sudah tak lagi bersamanya.
Makhluk-makhluk kini hanya berupa jasad tak bernyawa yang hanya bisa makan,
minum, tidur, dan menyakiti sesama.
Iya, dunia kembali lagi dalam ketandusan dan kepenatan
masa lalu. Tak ada yang terbanggakan dari apa terlihat. Semua eksistensi pada
hari ini membias kematian. Meski cahaya merah jingga hari ini sudah menampakkan
cengirnya di ufuk barat, nyatanya semua masih sama. Pada dahi-dahi kehidupan
tertulis “kematian”, karena apa yang terlihat sama sekali tak memperlihatkan
tanda-tanda kehidupan. Begitulah suasana senjakala yang hendak menyambut fajar
Ramadan.
Siapa yang tahu jika esok fajar Ramadan akan
menampakkan lesung pipinya di ufuk timur? Tak banyak yang menyadari jika langit
kembali lagi memberikan kesempatan untuk bersua dengannya lagi. Namun pikiran
kebanyakan adalah kesamaan yang membuat untaian berlian seperti serakan kerikil
di jalanan, atau masa yang kepastian datangnya seumpama janji matahari. Sedang
pemilik kebesaran jiwa melihatnya sebagai bahtera yang menyampaikan kafilah
kehidupan pada hulu manisnya keabadian. Ia melihatnya seperti kereta yang
mengangkutnya dari kota mati yang kesengsaraanya terabadikan.
Bersukacitalah pemilik kebesaran jiwa! Fajar Ramadan
telah merekah. Ia siap membawamu dari hiruk pikuk yang memabukkan. Mengangkatmu dari
penghambaan eksistensi-eksistensi yang membuatmu berjalan dengan kepalamu,
menuju puncak kemulian dengan menghambakan diri hanya kepada Raja Diraja jagat
raya. Fajar Ramadan hanyalah milikmu semata.
Tiga puluh hari untuk selamanya...
Bawwabah, senjakala Sya’ban 1434 H
0 komentar:
Post a Comment