Kepergian yang Dicinta

Benar sekali Gibran ketika berujar bahwa siksaan terberat dalam hidup bukan pada saat seseorang mengecap kematian, melainkan ketika satu demi satu orang-orang yang berada di sekelilingnya pergi meninggalkannya. Mereka, oleh Gibran, diumpamakan layaknya komponen-komponen penyusun jiwa. Lalu, ketika ada salah satu dari mereka yang pergi, di sanalah jiwa kehilangan separuhnya. Begitu seterusnya.

Adapun luka yang ada di tubuh, maka sungguh tak ada apa-apanya dibanding jiwa yang mulai rapuh karena komponen penyusunnya lepas satu persatu. Hal tadi akan begitu kentara terlihat ketika seseorang yang memiliki banyak kerabat dan sahabat setia, diuji Allah dengan sebuah penyakit. Anda akan melihat bagaimana ia begitu tenang dan bahagia berada di tengah orang-orang yang mencintainya; meski ia memikul beban penyakitnya.

Di lain waktu, ada seseorang yang memiliki kesehatan prima dan kekayaan yang melimpah, diuji Allah dengan kepergian orang-orang yang ia cintai. Anda tentu akan melihat bagaimana kekayaannya yang melimpah tersebut, tidak bisa berbuat apa-apa untuk menutupi riak-riak kesedihan ataupun menguatkan rapuh jiwanya. Kalaupun bisa, maka itu hanya sesaat saja. Kalaupun ada orang-orang baru, maka mereka datang hanya untuk melampiaskan ketamakan.

Perpisahan menunjukkan sejauh mana berartinya seseorang bagi yang ditinggal pergi. Ia mungkin akan tiba-tiba berubah menjadi dunia yang ditinggal pergi seutuhnya, sebab nama dan jiwanya telah membayang-bayangi kemanapun yang tertinggal pergi melangkahkan kakinya.


Hay Faisaliyah, 28 September 2016
Ahmad Satriawan Hariadi

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India