Enam tahun lebih aku di sini, jauh dari
orang-orang yang kusayang dan menyayangiku. Tak banyak yang bisa kuperbuat, selain
melihat langkahku yang tak mau lagi melangkah. Kalaupun melangkah, maka pasti
tertatih-tatih, lalu kemudian berhenti lagi.
Dalam keadaan yang begitu
menyedihkan ini, aku hanya bisa gigit jari saat melihat beberapa teman
sejawatku mengelilingi dunia mencari ilmu dan pengalaman berharga. Atau
terkadang begitu ciut hati saat mendapati sebagian mereka sudah menjadi lelaki
yang sesungguhnya.
Lalu, saat aku kembali kepada
diriku untuk menanyakan apa saja pencapaian-pencapaianku di usiaku yang sebentar
lagi akan genap menginjak seperempat abad; aku hanya geleng-geleng kepala.
Sebab aku, rupanya sampai detik ini, masih begitu betah hidup di alam mimpiku. Mimpi
kosong yang diam-diam menghanyutkan.
Duniaku begitu sempit.
Orang-orang yang mengisi pikiran dan langkahku selama ini hanya itu-itu saja.
Mungkin ada beberapa orang baru yang mulai mengambil tempatnya dalam daftar
orang-orang yang kukagumi. Namun pertambahan mereka tidak sebanding dengan laju
waktu. Aku sungguh begitu lamban.
Sebulan lalu, aku seharusnya
sudah selesai membaca buku Lubab al-Adab milik Usamah bin Munqidz (584H)
jika mengacu pada targetku. Namun dalam perjalanannya, aku malah terhenti di Bab
al-Syaja’ah. Lalu tanpa sebab yang pasti, aku mendapati diriku begitu enggan
untuk menyentuh kembali buku berharga yang usianya hampir satu milenium
tersebut.
Sehingga, ketimbang melanjutkan,
aku malah tertarik menyelesaikan al-Mu’azzabun fi al-Ardh milik Taha
Hussein, buku kritik sastra al-Tajribah al-Ibda’iyyah milik Prof. Sabir
Abd al-Dayim, Bayna al-Adab wa al-Naqd milik Prof. Ragab al-Bayoumi, al-Maraya al-Muhaddabah milik Prof. Abdul Aziz Hamudah, dan buku mini pemikiran Islam al-Salaf wa al-Salafiyyah milik Prof. Muhammad Imarah.
Tidak hanya itu, aku juga
melihat jemariku tak lagi leluasa menari untuk menghasilkan karya-karya segar;
terutama yang berbahasa Arab. Ada sekitar tujuh judul tulisan yang siap digarap;
apakah itu berupa karya sastra ataupun beberapa kontemplasi. Akan tetapi lagi-lagi,
aku selalu menemui jalan buntu untuk merampungkannya. Hingga detik ini.
Aku yakin pasti ada yang salah
dengan diriku, niatku, tekadku, visiku, dan kesabaranku. Menurutku, aku selama
ini begitu memanjakan diriku, hingga akhirnya mewajarkan ‘zona nyaman’
menemaniku dari bangun tidur hingga terlelap lagi. Padahal, aku sendiri sadar
betul, bahwa kegagalan dan penyesalan selalu berbanding lurus dengan kebetahan
di zona nyaman.
Kini tuntutan usia mengharuskan
aku untuk tidak seyogianya terus bermimpi. Ya. Aku harus merealisasikan mimpi
dan obsesi yang dulu pernah membakar semangatku. Sudah saatnya kini aku harus
mempersiapkan bekal yang cukup, untuk perjalanan panjangku mencari sisa kepingan
jati diriku di tanah biru.
Ya. Aku tidak bisa terus selamanya
di sini hanya bersama satu kepingan ini.
Kairo yang dingin, 29 Desember
2016
Ahmad Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment