Tak banyak
yang bisa kuperbuat! Kedatanganku ibarat taburan garam di atas luka. Karenanya,
aku ingin enyah saja dari tempat itu. Tempat di mana aku dan kamu dulu pernah
merasakan indahnya kebersamaan. Tempat aku dan kamu dulu pernah bertukar
kelakar-kelakar penenang jiwa. Tempat aku dan kamu dulu pernah memuarakan
perihnya penyesalan dan kerasnya penghidupan.
Malam itu
kita rupanya memilih untuk memikirkan diri masing-masing. Isi pikiranmu hanya
terisi oleh tuntutan agar dinikahi aku sesegera mungkin. Sedang pikirku hanya
terfokus pada bagaimana menyelesaikan pendidikanku secepat mungkin. Malam itu
keakraban tak lagi mengenal kita berdua. Malam itu cekikikan dan teriakan manja
tak menemukan tempatnya lagi di antara kita.
“Sudah!”
suaramu memecah kesunyian. “Jika Kamu tak mau menikahiku akhir tahun ini, aku
akan mempertimbangkan lamaran cowok-cowok lain.”
Kamu menarik
napas lalu melanjutkan, “Aku bukan mengacam. Aku hanya butuh kepastian. Hanya
itu!”
Kulihat
matamu merah membara mengisyaratkan habisnya kesabaran dan pupusnya harapan
dalam dirimu. Kulihat wajahmu yang cemberut, seakan-akan berteriak di depan
telingaku kalau kekecewaanmu padaku sudah mencapai ubun-ubun. Membakar habis
setiap rongga yang ada dalam dirimu.
Aku terus
saja diam. Lidahku kelu. Pikiranku bergejolak. Menuruti kemauanmu lalu
menikahimu akhir tahun ini, ataukah menaati perintah orang tuaku yang
memerintahkanku fokus belajar dan tidak memikirkan pernikahan kecuali jika
pendidikanku telah usai.
Setelah lama
aku mematung di hadapanmu, kamu pun menghilang dari hadapanku tanpa ucapan
salam ataupun selamat tinggal.
Begitukah
semuanya berakhir? Lalu bagaimana tentang mimpi-mimpi kita berdua? Aku tidak
begitu mengerti mengapa akhir-akhir ini kamu begitu sensitif dan
menjengkelkanku. Setiap hari kamu menceritakan kalau ada saja temanmu yang
melangsungkan atau merencanakan pernikahannya. Setiap hari kamu terus saja
memancingku agar aku segera memberikan kepastian pernikahan kita. Setiap hari
kamu terus mengundang kekesalan dan kebencian dengan berbagai macam sindiran
yang kurasa membuatku layaknya pecundang kehidupan yang sangat tak tahu diri.
Dengan perasaan
campur aduk aku mengikuti langkahmu di belakang. Terus mengikutimu. Sedangkan
kamu terus saja berjalan sembari mengusap linangan air matamu.
“Tunggu!”
teriakku.
Akan tetapi
kamu acuh tak acuh dengan teriakanku dan tetap melanjutkan langkahmu yang bahkan
kini semakin cepat.
“Tunggu!” aku
berteriak lagi. “Tunggu sebentar!”
Akhirnya
langkahmu terhenti juga sembari membalikkan badan ke arahku.
“Pikiranku
berubah,” katamu sambil terisak-isak. “Mulai saat ini, kamu lupakan aku. Jangan
pernah hubungi aku. Titik!”
Seperti
hujaman pedang yang membelah ragaku menjadi dua bagian. Aku sekan tidak percaya
dengan apa saja yang baru kamu ucapkan. Bagaimana mungkin kamu yang begitu
kucintai dan kubanggakan, dengan entengnya, mencabik-cabik jiwaku dengan
kata-katamu barusan. Bagaimana mungkin kamu, yang selalu meyakinkanku agar aku
tetap tabah memperjuangkan kebersamaan kita hingga titik nadir ikhtiar dan doa
kita; dengan mudahnya membuatku tak berdaya dalam keputusasaan.
“Tapi...”
“Tapi apa?!”
kamu memotong pembicaraanku. “Apa semuanya kurang jelas? Kita cukup sampai di
sini!”
Aku diam
membatu. Kulihat dirimu menjauh perlahan-lahan. Pelan namun pasti. Hingga
akhirnya hilang ditelan kejauhan.
Selamanya?
[]
Islamic
Missions City, 7 April 2017
Ahmad Satriawan
Hariadi
0 komentar:
Post a Comment