Kapan Kamu Menikahiku? (Cerpen)

Tak banyak yang bisa kuperbuat! Kedatanganku ibarat taburan garam di atas luka. Karenanya, aku ingin enyah saja dari tempat itu. Tempat di mana aku dan kamu dulu pernah merasakan indahnya kebersamaan. Tempat aku dan kamu dulu pernah bertukar kelakar-kelakar penenang jiwa. Tempat aku dan kamu dulu pernah memuarakan perihnya penyesalan dan kerasnya penghidupan.
Malam itu kita rupanya memilih untuk memikirkan diri masing-masing. Isi pikiranmu hanya terisi oleh tuntutan agar dinikahi aku sesegera mungkin. Sedang pikirku hanya terfokus pada bagaimana menyelesaikan pendidikanku secepat mungkin. Malam itu keakraban tak lagi mengenal kita berdua. Malam itu cekikikan dan teriakan manja tak menemukan tempatnya lagi di antara kita.
“Sudah!” suaramu memecah kesunyian. “Jika Kamu tak mau menikahiku akhir tahun ini, aku akan mempertimbangkan lamaran cowok-cowok lain.”
Kamu menarik napas lalu melanjutkan, “Aku bukan mengacam. Aku hanya butuh kepastian. Hanya itu!”
Kulihat matamu merah membara mengisyaratkan habisnya kesabaran dan pupusnya harapan dalam dirimu. Kulihat wajahmu yang cemberut, seakan-akan berteriak di depan telingaku kalau kekecewaanmu padaku sudah mencapai ubun-ubun. Membakar habis setiap rongga yang ada dalam dirimu.
Aku terus saja diam. Lidahku kelu. Pikiranku bergejolak. Menuruti kemauanmu lalu menikahimu akhir tahun ini, ataukah menaati perintah orang tuaku yang memerintahkanku fokus belajar dan tidak memikirkan pernikahan kecuali jika pendidikanku telah usai.
Setelah lama aku mematung di hadapanmu, kamu pun menghilang dari hadapanku tanpa ucapan salam ataupun selamat tinggal.
Begitukah semuanya berakhir? Lalu bagaimana tentang mimpi-mimpi kita berdua? Aku tidak begitu mengerti mengapa akhir-akhir ini kamu begitu sensitif dan menjengkelkanku. Setiap hari kamu menceritakan kalau ada saja temanmu yang melangsungkan atau merencanakan pernikahannya. Setiap hari kamu terus saja memancingku agar aku segera memberikan kepastian pernikahan kita. Setiap hari kamu terus mengundang kekesalan dan kebencian dengan berbagai macam sindiran yang kurasa membuatku layaknya pecundang kehidupan yang sangat tak tahu diri.
Dengan perasaan campur aduk aku mengikuti langkahmu di belakang. Terus mengikutimu. Sedangkan kamu terus saja berjalan sembari mengusap linangan air matamu.
“Tunggu!” teriakku.
Akan tetapi kamu acuh tak acuh dengan teriakanku dan tetap melanjutkan langkahmu yang bahkan kini semakin cepat.
“Tunggu!” aku berteriak lagi. “Tunggu sebentar!”
Akhirnya langkahmu terhenti juga sembari membalikkan badan ke arahku.
“Pikiranku berubah,” katamu sambil terisak-isak. “Mulai saat ini, kamu lupakan aku. Jangan pernah hubungi aku. Titik!”
Seperti hujaman pedang yang membelah ragaku menjadi dua bagian. Aku sekan tidak percaya dengan apa saja yang baru kamu ucapkan. Bagaimana mungkin kamu yang begitu kucintai dan kubanggakan, dengan entengnya, mencabik-cabik jiwaku dengan kata-katamu barusan. Bagaimana mungkin kamu, yang selalu meyakinkanku agar aku tetap tabah memperjuangkan kebersamaan kita hingga titik nadir ikhtiar dan doa kita; dengan mudahnya membuatku tak berdaya dalam keputusasaan.
“Tapi...”
“Tapi apa?!” kamu memotong pembicaraanku. “Apa semuanya kurang jelas? Kita cukup sampai di sini!”
Aku diam membatu. Kulihat dirimu menjauh perlahan-lahan. Pelan namun pasti. Hingga akhirnya hilang ditelan kejauhan.
Selamanya?
[]

Islamic Missions City, 7 April 2017
Ahmad Satriawan Hariadi 

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India