Lahir
di keluarga terpandang dan kaya raya sama sekali tidak membuatnya larut dalam
kesenangan dan kelalaian. Ia malah memilih berbeda dari hampir seluruh warga
daerah tersebut. Ya. Ia belajar membaca dan menulis, di mana kedua hal tersebut
merupakan sesuatu yang sangat tak lazim di seluruh penjuru negeri saat itu.
Tidak
hanya itu, jiwa patriot dan bakat kepemimpinannya sudah tersemai dan terasah
dengan rapi sejak ia masih belia. Rajutan permasalahan dan rentetan musibah
yang menimpa tanah kelahirannya sudah sangat cukup untuk membuatnya lebih suka
menyendiri. Di sanalah ia sibuk berpikir dan merenungi semuanya. Mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis yang terlintas di benaknya.
Kapan
Yatsrib, tanah kelahirannya, akan mengenal kata damai dan tenteram?
Itulah
salah satu pertanyaan yang paling sering mengganggu ketenangan Sa’ad bin
al-Rabi’ al-Haritsi al-Khazraji. Ia benar-benar sudah muak dengan semuanya.
Dengan perseteruan dua klan besar yang tak mengenal kata akhir. Dengan kondisi
sosial dan tatanan kemasyarakatan sama sekali buta norma, etika dan hak asasi.
Dengan dominasi dan propaganda kaum Yahudi --yang tidak lain adalah kelompok minoritas
pendatang-- yang mulai merajalela dengan memonopoli perpolitikan dan perekonomian
daerah tersebut.
Bahkan
tidak hanya itu, Sa’ad melihat kaum Yahudi belakangan ini semakin berani
mengintimidasi penduduk pribumi di kota Yatsrib. “Kedatangan Nabi yang diutus
Allah sungguh amat dekat,” kata salah seorang Yahudi kepada beberapa rekan
Sa’ad yang terlibat adu mulut dengan si Yahudi tadi. “Kami akan mengikuti Nabi
tersebut, lalu di bawah komandonya kami akan memerangi kalian, sebagaimana kaum
Iram dan ‘Ad diperangi.”
Di
tengah kerisauan dan keresahannya, Sa’ad mulai berpikir bahwa rekonsiliasi
multidimensi antara dua kabilah besar ini harus segera dimulai. Ia berpikir
bahwa segala makar dan provokasi kaum Yahudi harus segera dihentikan; agar
kabilah Aus dan Khazraj, yang selama ini sama-sama termakan hasutan Yahudi,
bisa hidup rukun dan damai. Ia masih ingat betul bagaimana Perang Bu’ats beberapa
tahun lalu membuat kota Yatsrib porak-poranda dan bergelimang darah.
Rupanya
kesadaran akan pentingnya rekonsiliasi ini tidak hanya menyibukkan Sa’ad
seorang diri. Di sana ada belasan orang-orang terpandang di kota Yatsrib yang
sama-sama bertekad untuk menyudahi segala perselisihan dan perseteruan yang
selama ini menghantui kota tersebut. Lalu ibarat pucuk dicinta ulam pun tiba,
apa yang mereka dambakan selama ini pelan-pelan mulai menjadi kenyataan; saat
mereka pulang dari Mekah selepas musim haji.
Ya.
Mereka baru saja menemui Muhammad di Mekah. Di sanalah mereka menceritakan
kepada Sang Nabi silsilah perselisihan dan perseteruan yang membuat kota
Yatsrib mandi darah selama 120 tahun lamanya. Di sana pula mereka menggantungkan
harapan yang begitu besar agar Allah melunakkan hati penduduk Yatsrib lalu
menyatukan mereka di bawah panji Sang Nabi. Di sana juga, pada waktu yang sama,
mereka menyatakan keislaman dengan ikhlas di hadapan Muhammad.
Dua
tahun setelah kejadian itu, Sa’ad merasa tidak sepatutnya ia terus berdiam diri
di Yatsrib. Terlebih ketika menyadari kalau ia telah didahului 12 sahabatnya,
pada musim haji tahun lalu, untuk mengikrarkan janji suci di hadapan Muhammad,
di bukit Aqabah. Tidak hanya itu, ia juga mendapati keimanannya pada apa yang
dibawa sang Nabi makin menjadi-jadi, mengusai seluruh relung hatinya; saat
Mush’ab bin Umair --sosok cerdas yang diutus Nabi tahun lalu untuk mendakwahkan Islam di tanah Yastrib--
menyenandungkan Alquran dengan penuh penghayatan di hadapannya.
Dengan rasa bersalah
Sa’ad yang makin hari makin membesar, dan semangat keislaman yang tak
terbendung, serta kerinduan yang membuncah kepada sosok agung sang Nabi; ia
memutuskan untuk memimpin sendiri marga al-Harits bin al-Khazraj, salah satu
marga terbesar di bawah klan al-Khazraj saat itu, pada musim haji tahun itu
menuju kota Mekah.
(Bersambung)
Islamic Missions City, 23
Februari 2017
Ahmad Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment