Malam ini, cahaya purnama tak
seperti biasanya. Pudar dan ringkih. Seakan-akan ia terjebak dalam kecewa dan
sesal yang dalam. Orang-orang yang menanti kedatangannya pun terheran penuh
tanya. Ada apa dengan purnama malam ini? Apa yang menderanya? Mengapa ia
terlihat murung dan lesu pada saat semua mata tertuju hanya padanya?
Adakah purnama sedang terpasung
kesedihan? Sepanjang sejarah, semua pemuja keindahan hanya menahbiskan bulan
purnama sebagai lambang supremasi keindahan. Seakan-akan semua keindahan yang
ada di muka bumi ini bermula darinya, dan bahkan bermuara padanya. Sejak
manusia mengenal syair, mereka tak pernah berhenti menyerupakan wanita
impiannya dan segala keindahan di alam raya ini dengan purnama.
Adakah cinta tulus sang purnama tak
sampai, sehingga ia terlihat begitu mengenaskan malam ini? Duhai, siapakah
gerangan yang berhasil mendapatkan hatinya? Bukankah ia begitu beruntung karena
dirindukan purnama malam ini? Selama ini, sepanjang waktu, hanya dia yang
dirindukan jagat raya, dielu-elukan kehadirannya, ditangisi kepergiannya.
Wahai purnama, katakanlah, siapa
sosoknya? Katakan. Biar kucari dambaan hatimu hingga ke ujung semesta, demi
melihatmu seperti sediakala lagi. []
Cairo, 15 Zulqa’dah 1440
Ahmad Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment