Ketika Allah memberikan kepastian
kepada Nabi Nuh, bahwa tidak akan ada lagi yang beriman dari kaumnya, kecuali
mereka yang telah beriman sebelumnya; Allah memerintahkan Nuh untuk membuat kapal
laut raksasa, dengan supervisi dan arahan penuh dari Allah. Hal ini merupakan
babak baru dalam perjalanan panjang dakwah Nuh, yang memakan waktu hampir satu milenium
lamanya. Pada tahapan ini, Nuh dibebastugaskan dari kewajiban dakwah, dan hanya
diminta fokus untuk menyelesaikan konstruksi kapalnya.
Sebagai dampaknya, Nuh semakin
menjadi bulan-bulanan kaumnya kemanapun ia melangkah. Penghinaan, cibiran, dan intimidasi
seakan-akan menjadi santapan rutin yang tak terelakkan. Karena bagaimana
mungkin, setelah berdakwah selama ratusan tahun, lalu hanya diikuti oleh
orang-orang lemah yang termarginalkan secara sosial dan ekonomi; Nuh mengklaim
bahwa akan terjadi bencana banjir bandang, lalu membuat kapal raksasa di atas
bukit yang tinggi.
Melihat hal memuakkan di atas, Nuh
lantas tidak ciut hati dan menyerah. Nuh justru semakin yakin dengan janji
Allah dan semakin semangat untuk menyelesaikan konstruksi kapal raksasa
tersebut. Ia tidak patah semangat sedikitpun ketika kaumnya mengolok-olok
kesibukan barunya, “Hai Nuh, sekarang kamu berprofesi sebagai tukang ya,
setelah sebelumnya mengaku sebagai nabi.” Bahkan Nuh dengan percaya diri
membalas cemoohan mereka, “Jika kalian mem-bully saya hari ini, maka
esok giliran saya yang akan mem-bully kalian, ketika kalian
ditenggelamkan di dunia dan dihinakan di akhirat.”
Kita semua sudah tahu bagaimana
akhir dari kisah nyata ini, sehingga saya tidak perlu mengulasnya panjang lebar
sampai tuntas. Yang ingin saya tekankan dari kisah Nuh ini adalah bagaimana
cara dia menghadapi bullying dengan elegan. Memang, Nuh adalah seorang
utusan Tuhan. Namun di satu sisi, dia adalah seorang manusia, bahkan hal ini
pernah ditegaskan Nuh ketika kaumnya tidak terima jika yang diutus Tuhan adalah
manusia biasa seperti mereka. “Saya tidak mengklaim bahwa saya memiliki pintu
kekayaan, saya tidak mengklaim bahwa saya mengetahui hal-hal mistis, dan saya
juga tidak mengklaim bahwa saya adalah malaikat,” papar Nuh.
Ketika Nuh meyakini bahwa apa yang
dilakukannya adalah benar, dia tidak peduli dengan ocehan orang-orang di
sekelilingnya. Nuh hanya peduli bagaimana ini menyelesaikan tugasnya dengan
baik dan tepat waktu. Begitu juga dengan kita. Kita tidak boleh membiarkan
cemoohan orang memperlambat langkah kita menggapai mimpi-mimpi kita. Sungguh
benar seorang bijak bestari ketika mengatakan, “Kewajiban-kewajiban Anda dalam
hidup ini memang banyak, namun Anda tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan
kepada manusia kenapa Anda melakukan ini, dan tidak melakukan itu.”
Ketika orang-orang mencemooh Nuh
karena keadaannya yang tidak menguntungkan, bahkan cenderung sangat memperihatinkan;
Nuh tidak menganggap bahwa itu adalah akhir dari segalanya, bahwa dunia hanya
terhenti hari itu juga. Tidak. Nuh percaya bahwa masa depan masih ada. Nuh percaya bahwa
roda kehidupan terus berputar. Artinya, Nuh yakin bahwa dia masih punya
kesempatan untuk mengubah dan membalikkan keadaannya 180 derajat dengan keimanan
dan kerja kerasnya.
Oleh karena itu, berkaca dari kisah
Nuh di atas, kita tidak boleh membiarkan nyali kita menjadi ciut dan berputus
asa karena kondisi kita yang mengenaskan hari ini. Justru karena visi kita yang
lebih jauh dari mereka inilah yang semestinya membuat kita kita semakin percaya
diri di tengah keterbatasan kita. Ya. Kita boleh kehilangan apa saja dalam
hidup kita, kecuali keyakinan dan mimpi kita. Karena semua hal-hal besar yang
kita saksikan dalam hidup ini, bermula dari keyakinan dan mimpi. []
Nasr City, 20 Mei 2019
Ahmad Satriawan Hariadi
*Referensi: al-Tafsir al-Wasith
karya Grand Imam Muhammad Sayyid Tantawi
0 komentar:
Post a Comment