Sangat disayangkan sekali, ketika hijrah menjadi lifestyle
di kalangan beberapa pesohor negeri ini, namun tidak dibarengi dengan pemaknaan
yang hakiki terhadap hijrah. Bagi mereka, hijrah adalah perubahan penampilan ke
arah yang lebih islami. Kemudian bagi sebagian yang lain, hijrah adalah meninggalkan
karier yang susah payah dibangun, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, karena
kariernya dinilai bertentangan dengan ajaran agama. Lalu sebagiannya lagi
menganggap bahwa hijrah adalah perubahan bahan obrolan dari hal-hal yang bernuansa
gosip menuju obrolan tentang kematian, siksa kubur, dan akhirat.
Pemaknaan hijrah secara parsial seperti di atas,
sungguh disayangkan. Karena hal tersebut akan membuat hijrah kehilangan esensi
sejarah dan kualitasnya. Kita harus tahu, bahwa hijrah kualitatif, sama sekali tidak
akan pernah terbatas pada perubahan penampilan, perubahan bahan obrolan, atau mengorbankan
karier yang susah payah dibangun. Hijrah kualitatif merupakan perubahan radikal
paradigma dan sikap kita terhadap hidup.
Hijrah kualitatif adalah mengetahui dan memaknai dengan baik
dari mana kita berasal, mengapa kita diciptakan, dan untuk apa alam raya dan
seisinya ditundukkan untuk kita. Hijrah kualitatif adalah bagaimana
memaksimalkan potensi kita menjaga dan mengelola alam dan sember dayanya untuk
kebaikan manusia. Hijrah kualitatif adalah bagaimana menegakkan keadilan dan persamaan
di mata hukum untuk rakyat. Hijrah kualitatif adalah bagaimana seseorang
menjadi rahmat bagi umat manusia dan alam raya di mana pun ia berada.
Hijrah yang pernah direkam oleh sejarah Islam adalah hijrah
kualitatif, yaitu bagaimana kaum muslimin mengorbankan segala hal yang mereka
miliki untuk tegaknya agama Allah. Tegaknya agama Allah, dalam hal ini,
teraktualisasikan pada kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan, terjaminnya
keadilan dan persamaan antarwarga negara di mata hukum, terkendalinya harga dan
ketersediaan bahan-bahan pokok, terpeliharanya keamanan dan kedamaian dalam
negeri, dan terselamatkannya kedaulatan negara dari intervensi dan ancaman asing.
Inilah tujuan utama hijrah pada waktu itu. Dan akan selalu
menjadi tujuan utama hijrah di mana pun kaum muslimin berada. Semua hal di atas
adalah upaya yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya selama 13 tahun berada di Mekah.
Namun ketika upaya tiada henti tersebut tidak membuahkan hasil, hijrah menjadi
satu-satunya solusi.
Memang, Nabi pernah mengatakan, “Tidak ada hijrah (fisik)
setelah penaklukan (Mekah), melainkan berupa jihad dan niat. Jika
kalian diajak berperang (melawan kebatilan dan semua yang dilarang Allah),
bergegaslah!” Namun setelah merenungi perkataan Nabi di atas, kita akan
sampai pada kesimpulan bahwa hijrah yang dimaksudkan Nabi tersebut terbagi
dalam dua tahap yang tak terpisahkan, yaitu hijrah niat (ide dan gagasan), dan hijrah
jihad (aksi dan kerja nyata).
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
aktualisasi dari hijrah ide dan gagasan? Kita harus tahu, bahwa segala hal
besar yang kita saksikan di dunia ini bermula dari ide dan gagasan. Oleh karena
itu, kita akan memahami, bahwa penaklukkan yang dilakukan pasukan Islam pada
zaman dahulu berawal dari ide yang dibawa Islam; di mana manusia dilahirkan
dalam keadaan merdeka, memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan bebas
menjalankan kepercayaan yang dianut. Ketika mereka mendapati salah satu, atau ketiga
hal tersebut dirampas oleh pembesar Romawi dan Persia, maka tidak ada pilihan
lain bagi pasukan Islam selain bergegas menaklukkan tirani dan penindasan
mereka, lalu menciptakan keadilan dan persamaan yang telah diajarkan Islam di
tengah masyarakat, meskipun mereka belum memeluk Islam.
Dalam hal ini, kita bisa menyimpulkan bahwa, hijrah ide dan
gagasan seorang muslim terwujud pada perubahan radikal paradigmanya terhadap
hidup dan semua makhluk di alam raya ini. Sebuah paradigma baru yang sepenuhnya
bersumber dari paradigma Islam terhadap hidup dan eksistensi, di mana manusia
diciptakan untuk beribadah dan mengelola alam raya dan isinya. Kemudian semua aturan
yang diundangkan Islam dalam Alquran dan Hadis tidak lain hanya untuk menjamin
kebaikan spiritual, personal, dan sosial;
yang termanifestasi dalam pemeliharaan tujuh hal pokok milik manusia sebagaimana dijabarkan pakar Maqasid modern,
yaitu agama, HAM, akal, keturunan, kepemilikan, keamanan,
dan keutuhan negara.
Melihat bahwa hijrah paradigma saja tidak cukup, Nabi menambahkan
hijrah aksi dan kerja nyata. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana bentuk hijrah aksi
dan kerja nyata tersebut? Jawabannya ada pada sabda Nabi berikut, “Muhajir (orang berhijrah
yang hakiki) adalah yang meninggalkan semua larangan Allah.”
Ya. Membiarkan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan merajalela
adalah larangan Allah, menutup mata akan maraknya korupsi di berbagai lapisan
masyarakat adalah larangan Allah, mengabaikan sistem pendidikan yang hanya melahirkan
para berandal dengan kualitas otak nol adalah larangan Allah, acuh tak acuh
terhadap keselamatan bangsa dan kedaulatan negara akibat impor ugal-ugalan dan
ancaman asing adalah larangan Allah, dan masih banyak lagi.
Semua hal di atas merupakan beberapa cuil dari rentetan
permasalahan yang menunggu kita semua untuk sama-sama menyelesaikannya. Jika
kita terus saja menutup mata, hal-hal memuakkan di atas akan menjadi dosa besar
kolektif yang akan kita tanggung akibatnya nanti di Mahkamah Akhirat.
Sehingga akan jadi miris sekali, ketika kita membatasi
hijrah dalam makna yang begitu sempit, seperti memelihara jenggot, memotong celana
hingga di atas mata kaki, berkerudung lebar dan panjang hingga lutut, makan dengan tiga jari,
menghapus foto-foto selfie di media sosial, membid’ahkan qunut dan tahlilan, intens
memosting quotes yang bertema agama, kematian, dan neraka.
Mengikut pendapat Syaikh Muhammad Al-Ghazali, dosa-dosa
besar kolektif kita, jika kita masih saja biarkan, akan lebih banyak melemparkan kita ke jurang
neraka terbawah; ketimbang hal-hal yang terlihat menjadi sangat kecil dan
remeh, jika dibandingkan dengan dosa-dosa besar kolektif di atas.
Pertanyaan untuk kita jawab dan renungkan, kapan kita akan berhijrah secara kualitatif?
Cairo, 17
Agustus 2019
Ahmad Satriawan
Hariadi
0 komentar:
Post a Comment