Seandainya Kita (Masisir) Membaca


Budaya itu kini menjadi asing. Semua orang tahu bahwa ia adalah pintu ilmu pengetahuan yang paling agung. Namun karena terlalu lama luput, ia menjadi asing, bahkan sangat asing. Apalagi budaya tersebut telah ditahbiskan oleh Allah Swt. sebagai permulaan kalimat-kalimatNya kepada umat manusia, bahkan alam semesta. Tidak lain budaya tersebut adalah budaya membaca.

Secara keseluruhan, budaya membaca sudah menjadi budaya bangsa-bangsa barat jauh beberapa abad sebelumnya, terutama setelah jatuhnya Andalusia (Spanyol dan Portugal) dan Revolusi Ilmu Pengetahuan di Eropa abad 16, dilanjutkan dengan Revolusi Industri yang dimulai di Inggris awal abad 19. Demikian juga bangsa timur (Jepang) yang mencuat setelah berakhirnya restorasi Meiji 1869. 

Hal ini bisa dibuktikan dengan kemajuan pesat mereka di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi secara multidimensi, dibanding negara kita – yang notabene adalah negara muslim terbesar di dunia – baru bisa dikatakan sebagai negara berkembang.

Artinya bangsa kita sudah jauh tertinggal dengan mereka. Meskipun pendekatan ini terkesan subjektif, namun kita harus tetap realistis dan berkaca pada kenyataan. Dengan melihat skala keseluruhan, kita akan tahu dimana posisi bangsa kita.

Kembali kepada budaya membaca, Dr. Aidh al-Qarni, di dalam Majalis al-Adab menyebutkan bahwa Abdul Rahman Badawi pernah mengatakan, “Ilmu pengetahuan dan wawasan itu memiliki tiga pondasi; membaca, membaca, dan membaca.”

Lihat, bagaimana ‘membaca’ memonopoli transformasi ilmu pengetahuan dan wawasan. Artinya kita harus benar-benar banyak membaca. Kita (masisir) umumnya masih saja membawa kebiasaan kita, yaitu malas membaca. Kita lebih memilih berlama-lama cengingiran di depan komputer, atau adu gengsi selama berjam-jam untuk main game. Lalu kapan kita bisa menyerap ilmunya al-Azhar, yang notabene tujuan utama kita meninggalkan kampung halaman.

Dr. Osama Sayyid Azhary, dosen Hadits Universitas Al-Azhar yang juga pengajar talaqqi di Masjid Azhar, pernah mengatakan di salah satu majelisnya, “Al-Azhar memberikan kalian segalanya, namun kalian hanya mengambil sedikit.”

Pernyataan Doktor Osama tersebut ada benarnya, bahkan sangat benar. Sehingga patut disayangkan kalau kita (masisir) umumnya hanya membaca dan mempelajari tahdid-an dari dosen pada mata kuliah tertentu, saat musim ujian. Wa bass!. Apalagi kita sering berdalih, “Yang penting najah.” Kita memang najah, bahkan berhasil menggondol gelar Lc. Namun kenajahan dengan standar ‘memprihatinkan’ tersebut tentu tidak sebanding dengan tanggung jawab moral yang kita emban di pundak sebagai alumni al-Azhar.

Selain dituntut menjadi pakar di semua bidang disiplin ilmu, terutama fikih, Karena kebutuhan masyarakat kepada ilmu tersebut lebih banyak dibanding disiplin ilmu yang lain. Kita juga dituntut untuk memiliki wawasan yang luas, baik dalam tataran keislaman, politik, maupun yang lain. Sebab misi klasik al-Azhar yang rupanya luput dari perhatian kita, adalah menghasilkan para ‘Alim Mausu’I yang mumpuni di segala bidang, hal inilah yang menjadi latar belakang didirikannya Fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah Putra dekade 60-an.
  
Sebagai insan akademis yang juga sebagai duta bangsa di bumi Kinanah ini, sudah menjadi keharusan untuk membudayakan membaca, dimana saja, dan kapan saja. Tidak pantas rasanya mengesampingkan membaca lantaran sibuk organisasi, kerja, apalagi dengan hal-hal yang tidak berguna dan membuang-buang waktu.

Jauh beberapa abad sebelumnya, al-Mutanabbi, salah satu penyair besar di masa dinasti Abbasiyah, pernah mengatakan di penggalan baitnya, “khairu jalisin fi al-zaman al-kitab.” Artinya, teman duduk terbaik sepanjang masa adalah buku yang dibacanya.

Tentu hal ini sangat tepat, sebab ketika seseorang menyelam ke dalam samudera membaca, ia tidak akan keluar kecuali dengan mutiara-mutiara ilmu, hikmah, dan faidah-faidah lain yang tentu akan sangat berguna, baik semasa hidup maupun sesudah mati.

Begitu juga dengan akal kita, jika tidak membaca, ia akan tetap kerdil, sempit, dan tidak akan berkembang selamanya. Hari kemarin seperti hari ini, begitu juga esok hari, selama kita tidak membaca. Kapasitas kita sebelum berangkat meninggalkan kampung halaman menuju negeri Piramid ini, akan sama ketika kita pulang nantinya. Dan tentu hal ini sangat tidak diinginkan oleh siapapun.

Kita seringkali terobsesi menjadi tokoh besar. Sebut saja pemimpin, ulama, sastrawan, penulis terkenal, dan lain-lain. Namun hanya sebatas obsesi, tidak lebih. Kita mau menyebrangi selat Lombok tapi tidak punya perahu. Artinya, kita harus mempunyai kapasitas yang mumpuni agar obsesi tidak sebatas obsesi dan benar-benar menjadi kenyataan. Awal dari semuanya adalah ilmu pengetahuan dan wawasan yang kita miliki, dan pondasinya – sebagaimana dikatakan oleh Abdul Rahman Badawi – adalah membaca, membaca, dan membaca. Begitu juga dengan pondasi kesuksesan, kata Sir Isaac Newton, adalah bekerja, bekerja, dan bekerja.

Seandainya kita membaca!

ASH
6/10/2011

2 komentar:

G.Susilo said...

لا أرى شيئا أعظم من الكتاب ولا أروع من العلم ولا أمتع من القراءة . . ولا أكثر احتراما من شاب أمسك كتابا وانشغل به عن الدنيا . فالكتاب هو الدنيا ، و العلم هو نعيم الدنيا ، و أمل الحياة و وسيلتها لأن تكون أفضل . . فلا تقدم إلا بالكتاب . . تقرأه أو تؤلفه . .

- أنيس منصور ، كاتب صحفي و فيلسوف و أديب مصري

Ahmad Satriawan Hariadi said...

رحم الله الأستاذ أنيس منصور وطيب ثراه حيث قال هذا الكلام، فما أروعه، فقد أعجبني كتابه "أعجب الرحلات في العالم" بما له من نتيجة التفكير العميق وأتبعه بالفكاهة المضحكة ليذهب عن القارئ الملل

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India