Seseorang tidak lain
adalah hasil rumusan takdir yang telah ditetapkan Tuhan dalam lintasan
kehidupan. Apapun dan bagaimanapun bentuk dan rupa seseorang, serta rentetan
peristiwa yang mengiringi perjalanan hidupnya, merupakan bagian dari naskah
ketetapan Tuhan yang pasti dan akan tetap berlaku kepadanya.
Begitu juga keyakinan
dan mindset seseorang. Apapun yang diyakininya, tiada lain merupakan
goresan abadi takdir kehidupan. Namun Tuhan, dengan segala kesempurnaan-Nya,
telah menjadikan akal manusia sebagai sarana berpikir tentang hakikat dirinya
sendiri dalam menjalani kehidupan. Ditunjang dengan fitrah yang sama dan merata
untuk menjadikan naluri sebagai pondasi kesadaran dan ketundukan, bahwa ia
memang diciptakan hanya untuk menyembah kepada-Nya, tanpa mengikutsertakan
siapapun dan apapun bentuknya dalam kekhususan tunggal tersebut.
Sedangkan mindset
merupakan buah dari pergolakan-pergolakan kehidupan manusia. Jadi, mindset memiliki
ikatan yang amat kuat dengan kondisi lingkungan dan kekuatan emosional
seseorang. Sehingga kita akan mendapati perbedaan mindset yang amat mencolok antara mahasiswa Indonesia
yang menimba ilmu di Timur Tengah dengan mahasiswa yang menimba ilmu di
Negara-negara Barat. Hal tersebut bisa kita
lihat dari perbedaan gagasan-gagasan yang mereka canangkan, sekaligus lifestyle
mereka secara keseluruhan.
Inilah yang aku
temukan pada sosok Zuhairi Misrawi, saat aku bertemu dengannya pada Acara Temu
Kangen Keluarga 'Buletin Informatika' beberapa waktu yang lalu di kantor ICMI
Orsat Kairo (21/2). Sebagai perintis dan pendiri buletin—yang kini memiliki
nama di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo—tersebut, ia bercerita panjang
lebar tentang latar belakang pendiriannya. Kalimat demi kalimat dilantunkan,
sesekali dipoles dengan pengalaman-pengalamannya selama belajar di Kairo dan
kegiatannya setelah pulang ke tanah air. Tidak ketinggalan juga motivasi-motivasinya
yang meyegarkan kembali semangat kami. Selain
itu, ia juga menyelipkan pandangan dan gagasannya, serta mencoba mengintervensi
mindset kami dengan pola pikir pragmatis sekaligus oportunistis yang
lebih cenderung money oriented di ujung penyampaiannya.
Kalimatnya memang
cukup lugas. Sesekali tawa cekikikan mengiri celotehannya. Namun aku sendiri lebih
cenderung memperhatikan substansi dan meraba mindset-nya dari pada ikut
terhanyut. Sehingga secara tidak langsung, di balik tawa cekikikan dan motivasi
tersebut, ternyata terselip pesan-pesan yang secara implisit mengajak kami yang
ada di tempat tersebut untuk meniru langkah-langkahnya—baik mindset
maupun sikapnya—saat pulang ke tanah air nanti.
Namun secara
keseluruhan, ajakannya untuk lebih giat mengkaji dan menulis memang bagus
bahkan sebuah kemestian. Namun ide dan gagasannya terkait orientasi seorang
lulusan al-Azhar ala Zuhairi yang kulihat lebih cenderung mencari pamor
dan money oriented, dibanding menyebarkan Islam Moderat yang sesuai
dengan metode al-Azhar—secara pemikiran maupun aplikasi—sepertinya kurang
tepat. Bahkan tidak tepat, karena tidak sesuai dengan kepribadian dan
karakteristik al-Azhar itu sendiri.
Al-Azhar, sebagaimana
yang telah kita ketahui, terus berupaya menanamkan esensi keikhlasan kepada
mahasiswanya, begitu juga dengan usahanya untuk terus meringankan biaya
perkuliahan. Ditunjang lagi eksistensi majelis-majelis yang ada di Masjid
al-Azhar, yang membuktikan bahwa keikhlasan dan semangat al-Azhar tetap ada dan
menyala dalam upaya menyebarkan misinya.
Esensi keikhlasan
inilah yang setidaknya telah terkikis dalam diri Zuhairi Misrawi, layaknya
lulusan al-Azhar. Sehingga aku melihat dorongannya kepada kami untuk banyak
membaca dan produktif menulis dalam menelurkan karya tulis, serta bersikap
berani, tiada lain bertujuan untuk membangun citra pemikir, mencari pamor, dan
tentu money oriented.
Adapun tiga peranan
lulusan Timur Tengah—seperti peranan keilmuan, kemasyarakatan, dan politik—saat
tiba di tanah air nanti tentu tidak akan berjalan maksimal, jika orientasi
'miring' tersebut telah merasuk ke alam bawah sadar dan mindset setiap
lulusan al-Azhar. Pasalnya, esensi 'Duta al-Azhar'—atau biasa di sebut 'Azhary'—yang
semestinya mendarah daging dan merasuk
ke alam bawah sadar, justru hanya tertinggal namanya saja.
Sehingga mindset
dan sikapnya tidak lagi 'Azhary', melainkan mindset dan sikap
yang hanya mengatasnamakan 'Azhary'. Begitu juga dengan konsep Islam
Moderat yang digadang al-Azhar, tentu tidak akan sama dengan 'Islam Moderat
imitatif' yang digadang dan dipropagandakan oleh 'Azhary Imitatif'
tersebut.
Selanjutnya pada
kesempatan tersebut, Zuhairi juga mengkomparasikan al-Azhar dengan
perguruan-perguruan tinggi yang ada di barat. Ia mengatakan bahwa mahasiswa di
barat itu benar-benar dimanja dan diperhatikan serta didukung oleh fasilitas
yang benar-benar mendukung terbentuknya watak keilmuan seorang mahasiswa dan
kemampuan menulisnya. Ia juga menyarankan kami untuk mengambil pendidikan
pascasarjana di luar al-Azhar. Sebab, di samping memakan waktu yang lama,
program pascasarjana di al-Azhar—menurutnya—lebih cocok buat orang Timur
Tengah, terutama orang Mesir.
Dari segi fasilitas, al-Azhar memang
ketinggalan dengan perguruan tinggi di Barat. Namun demikian, al-Azhar tidak bisa
sepenuhnya didiskreditkan. Apalagi yang mendiskreditkannya adalah lulusan
strata satu al-Azhar sendiri, sungguh ironis. Dalam hal ini, Zuhairi rupanya
lupa juga dengan esensi kesabaran yang di ajarkan Mesir dan al-Azhar kepadanya.
Sebut saja Thabur (antre) di Syu`un maupun Jawwazat, atau berjam-jam menunggu
Bus 80 coret, dan masih banyak lagi yang benar-benar menempa kesabaran dan
keuletan para 'Azhary'.
Jika yang ditonjolkan Zuhairi dari kemudahan
mendapatkan refrensi di Barat, maka di Mesir gudangnya refrensi, baik yang
berbentuk buku maupun manuskrip kuno yang sudah berusia ratusan tahun.
Al-Azhar, sebagaimana perkataan Dr. Osama Sayyid Azhary, memberikan kita
segalanya (baik dari para syeikh dan dosen yang mumpuni, maupun karya para
ulamanya), namun kita hanya mengambil sedikit.
Begitu juga dengan
program pascasarjana al-Azhar yang memang tidak meminta biaya yang begitu
tinggi, namun yang dimintanya adalah umur serta kesabaran mahasiswanya.
Artinya, pascasarjana di al-Azhar memang membutuhkan waktu yang lama. Jika di
UIN program S2—sebagaimana dikatakan Zuhairi dan sedang ia tempuh saat ini—bisa
ditempuh satu tahun, maka anda jangan sekali-kali bermimpi bisa menempuh S2 di
al-Azhar kurang dari lima tahun.
Pada saat inilah
seorang mahasiswa pascasarjana digodok betul, baik dari segi intelektualitas
maupun kesabaran. Prof. Dr. Sayyid Hamur, Dosen Sejarah dan Peradaban Islam di
kampusku mengatakan, "Hakikat kuliah di al-Azhar itu ada di program
pascasarjananya, dan kalian tidak akan mendapati manisnya belajar di al-Azhar
kecuali di sana (program pascasarjana)." Dengan demikian, produktivitas
menulis 'Azhary' memang rata-rata mencuat setelah ia mengenyam
pendidikan pascasarjananya secara akademik.
Hal tersebut memang
terlihat di berbagai toko buku, bahwa para 'Azhary' yang menjadi penulis
buku tersebut tidak lain kecuali telah bergelar profesor atau doktor. Jadi
kesabaran dan waktu yang lama dalam menempuh pendidikan merupakan keniscayaan
bagi seorang akademisi, bukan secara instan, sehingga tidak menghasilkan 'akademisi
imitatif' dengan berbagai gelar yang menyertai namanya.
Kemudian pada bagian
akhir tulisan ini, aku ingin meraba sosok Zuhairi dari segi kepribadiannya yang
ia sendiri mengakui dirinya saat ini adalah seorang pemikir dan analis di
kancah nasional, dan sikap publik kepadanya. Dari gaya bicaranya, ia memang
lugas dan vokal, namun cenderung berlebihan dalam mengekspos dirinya. Sehingga
terkesan sombong dan cenderung meremehkan sekaligus merendahkan orang lain.
Sebuah sikap dan
kepribadian yang seharusnya tidak dimiliki seorang 'Azhary' yang mengaku
sebagai intelektual. Jadi, selain mempelajari dan memahami esensi keikhlasan
dan kesabaran, seorang 'Azhary' juga mempelajari sekaligus
mengimplementasikan nilai-nilai keluhuran budi pekerti, seperti yang
dicontohkan oleh para syeikh dan dosen al-Azhar; sebut saja sifat kesahajaan,
kerendahdirian, kedermawanan, dan kepatuhan.
Sehingga seorang
'Azhary' sejati adalah seorang yang memiliki kapabilitas keilmuan yang
komprehensif (`alim mausu`i) dan integritas, yang membuat dia disukai
dan dicintai oleh seluruh elemen masyarakat, bukan hanya sebatas komunitas
tertentu, sehingga namanya menjadi harum dan disegani di tengah-tengah
masyarakat.
Akhirnya siapapun dan
bagaimanapun bentuk dan rupa seseorang, serta sikap dan tingkah lakunya
ujungnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Akal yang diberikan Tuhan
hanyalah sarana untuk menemukan Tuhan itu sendiri, tentunya dengan dorongan
naluri dan fitrah yang dianugerahkan-Nya.
Berangkat dari akal
dan fitrah tersebut, kita mengambil yang baik-baik dan bermanfaat saja, baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Adapun berbagai bentuk keburukan dan
ketidaklayakan, sudah sepantasnya untuk kita hindari dan membuangnya jauh-jauh.
Aku teringat perkataan Nabi Syu`aib yang
diabadikan di dalam al-Quran surat Hud ayat 88, "Aku tidak bermaksud
kecuali mendatangkan kebaikan semampuku. Dan tidak ada taufik bagiku kecuali
dengan pertolongan Allah. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan kembali."
Hanya Allah yang
tahu!
Islamic Missions City, 23 Februari 2012
3 komentar:
wah... jadi takut ni ngambil pasca di kairo.T_T
butuh pikir panjang.hehe
tapi kalo u ilmunya mantap banget,hnya 6 tahunnya itu loh.
hmm... jadi orang kairo ntar.hehe
thank sudh berbagi
ma'annajah. :)
hehehe mbak bisa aja :)
ditunggu kehadiarannya di Kairo,
makasih atas doanya :) :)
Sukses selalu, kunjungannya juga yah di:
http://hosting-syafii.blogspot.com/
http://www.islamkaffahindonesia.com/
Terimakasih banyak sebelumnya :)
Post a Comment