Haruskah
perasaan ini mengubur pendengaran, hingga untuk mendengar cekikikan air, aku
harus meminta Da Vinci melukiskan gemerciknya? Haruskah mata ini tak lagi
membaca cahaya, hingga untuk mengerti isyaratmu, aku harus meminta gerimis
malam menjelaskan maksudmu? Mengapa jalan menujumu begitu terjal, wahai Rabia?
Sungguh bukan
kuasaku jika apa yang melekat pada diriku ini tak sempat membuatmu menoleh ke
arahku beberapa detik saja. Ah! Rasanya aku ingin menari-nari di atas lembaran
harapan agar kau bisa membacaku dengan ketulusanmu. Atau aku ingin menutup
matamu agar kau tak sesak saat aku berada di dekatmu. Alangkah jauh
keberjarakan ini!
Namun tahukah
kamu, penantianku akan sosokmu lebih tegar dari bangunan usang yang kau lihat
di negeri berjuta cerita ini. Akulah yang menjajal setiap kesempatan yang
diberikan oleh kehidupan untuk membuat matamu lebih lama menatapku agar
kata-kata yang tak kuasa terlafalkan ini bisa kau eja, meski terbata-bata.
Tetapi hingga
kini kesempatan itu belum juga menampakkan bayangannya. Sedangkan perjalanan
waktu yang sangat konsisten pada ritmenya mulai melayukan jasadku yang sebentar
lagi usang dimakan zaman. Aku selalu bertanya kepada langit, mungkinkah suatu
saat ketulusan bisa menjadi alasanmu untuk menyeka linang air mataku? Namun langit
hanya diam. Ia terus saja diam dan diam.
Katakan
padaku, apakah aku harus menggenggam dunia dulu untuk mendapatkan seutas
senyumanmu? Atau aku harus kau injak-injak dulu agar bisa bernilai di matamu?
Entahlah! Kaupun juga terdiam. Sama seperti langit. Lekaslah kemari jika kau telah
menemukan ketulusan saat membaca hakikatku.
27 Oktober 2013
3 komentar:
keren,,,suka diksinya....
awesome, nyastra,,
gk kalah ma tulisannya Muhammad Elvandi
Yana & Yani: Terima kasih... Tapi jangan menzalimi Ust Elvandi.. Dia mah udah jago banget..
Post a Comment