Obsesi dan
harapan terhadap sesuatu memang tidak ada putusnya. Keduanya terus
bermetamorfosis bersama mentari yang tak bosan menampakkan lesung pipinya di
ufuk timur, begitu juga riak-riak merah merona yang romantis saat ia terbenam.
Ada saja tawaran yang menggiurkan dari hidup kepada manusia dalam iringan
detik-detik kehidupan.
Manusia dalam
hal ini hanya bisa berkaca-kaca dalam hasrat yang haus dan kelaparan.
Pikirannya pun dipenuhi dengan obsesi dan harapan agar bisa lebih dekat lalu
bersua. Selepas itu, apakah tawa atau tangis? Tidak ada yang tahu. Lalu
bagaimana jika obsesi dan harapan betah dalam pertapaannya sehingga tidak
kunjung berwujud?
Langkah boleh
saja pasti. Tekad boleh saja membaja. Namun keberanian untuk membuatnya menjadi
nyata, masih saja terlelap dalam pikiran dan pandangan. Ia telah lama
memendamnya dalam hati. Pertemuannya yang cukup rutin di angkutan umum saat
pulang dari kampus membuat wajah dan cekikikan gadis Pattani itu menginang erat
di rongga hati.
Belakangan ini,
ia baru tahun nama gadis itu dari Ismail, teman sekampusnya yang berasal dari
Pattani, Thailand. Naya. Ya, nama gadis itu adalah Naya. Mahasiswi bertubuh
jenjang asal Pattani Thailand itu ternyata harus memperdalam bahasa Arabnya di Kulliyah
al-Ulum al-Azhariyah atau yang lebih populer di kalangan mahasiswa
Indonesia dengan sebutan Daurul Lughah. Sementara dirinya, pada tes
perdana yang ia jalani di Mesir, dinyatakan lulus dan bisa langsung tercatat
sebagai mahasiswa pada fakultas yang ia pilih sebelumnya. Ia lebih memilih
fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah atau yang lebih dikenal di kalangan
mahasiswa asing di Madinatul Buus (asrama resmi mahasiswa asing Universitas
al-Azhar) sebagai Kulliyah al-Rijal (kampusnya para kesatria), yang
berada di kawasan H-6, Nasr City, bersebelahan dengan kampus Daurul Lughah.
***
Sudah enam bulan
ia digerayangai perasaan yang tak menentu jika ia bertemu dengan gadis putih
itu. Dampaknya pun selalu begitu, gadis itu menjadi trending topic di
dalam pikiran dan napas yang ia hembuskan selepas ia tiba di flatnya. Sampai
saat ini ia tak kunjung berani untuk sekedar menyapanya. Memang, mahkota azhari
yang bertengger di atas kepalanya, selalu mencegah hasrat dan memasung
mimpinya.
“Sampai kapan
kamu seperti ini? Oh ya, saya pernah menonton film Alexandria. Apa kamu tidak
takut menyesal di kemudian hari, kalau sampai Naya belum tahu perasaanmu,
seperti seperti sosok Bagas yang akhirnya harus menerima kenyataan pahit karena
ia terlambat mengungkapkan cintanya pada Alexandria?” kata Reza membuyarkan
lamunannya.
Nadif hanya
menggelengkan kepalanya. Perasaannya masih terus terkatung-katung tak menentu.
Suasana seperti itu seringkali membuat lidah membeku.
“Sudahlah, Bro! Besok,
kalau kamu ketemu dengan Naya, disapa saja, terus kenalan, gimana?” ujar Reza
menawarkan idenya.
“Nggak!” jawab
Nadif tegas sambil memusatkan pandangannya kepada Reza.
Melihat hal
demikian, Reza pun memahami keadaan sahabatnya. Nadif memang tertekan dengan
perasaannya sendiri yang terkadang bisa membuat orang menjadi sangat sensitif.
Keduanya pun membatu.
“Sampai kapan
pun, saya tidak akan menyapanya, apalagi kenalan, titik!” suara Nadif memecah
keheningan. “Saya juga akan berusaha untuk tidak bertemu lagi dengannya. Mulai
hari ini, Naya lenyap, Naya mati, Naya is no more! Jadi kamu jangan
sekali-kali menyebut nama gadis itu di depan saya. Saya kesini mau belajar.
Saya tidak mau kalau nilai saya pada tahun kedua ini terperosok gara-gara dia.”
***
Usia termin dua
sudah merenta. Para mahasiswa sibuk mempersiapkan dirinya untuk melawan momok
ujian yang siap memupus optimisme atau boleh jadi mengukir kebahagiaan di
pelupuk mata. Semua tergantung pada diri masing-masing. Jika meremehkan, maka
rasa sok pintar akan bercokol di dalam sikap dan tingkah laku. Ujung-ujungnya
pun tampak jelas, tangis dan penyesalan. Sedangkan jika tidak meremehkan, maka
itu adalah seberkas cahaya di esok hari. Ada ribuan tawa dan cekikikan yang
mengantre di depan sana.
Nadif sibuk
mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ujian. Ia mendesain kamarnya agar ia
bisa belajar senyaman mungkin tatkala berduaan dengan diktat kuliahnya. Ia
benar-benar all out untuk hal ini. Naya dan wajahnya entah kemana.
Persinggahannya hanya dua, masjid dan kamarnya.
Ujian termin dua
ia jalani dengan suka cita. Rona kepuasan selalu menjadi penuntas goresannya
pada lembar jawaban ujian. Liburan musim panas pun telah menantinya di lintasan
kehidupan. Ia kini telah menemukan dunia barunya. Nadif tidak pernah bertemu
lagi dengan Naya sejak ia bertekad untuk menghindari pertemuannya dengan gadis
itu. Ketika berangkat ke kampus, ia lebih memilih mengendarai mobil Tramco
daripada bus umum; dengan rute dari Buus ke Duwea, dari Duwea ke kampusnya.
Berbeda halnya
dengan Naya. Saat para mahasiswa di fakultas-fakultas lain mulai menikmati
liburan musim panas mereka, mahasiswa-mahasiswi Daurul Lughah masih tetap
intens mengikuti perkuliahan. Ada sepuluh mustawa (jenjang) yang mesti
dilewati oleh mahasiswa Daurul Lughah agar bisa mengecap manisnya bangku
perkuliahan yang sebenarnya. Naya kini sudah berada di mustawa terakhir.
Sebentar lagi gadis manis itu akan berkampus di Awal Sabi, pusat kampus putri
Universitas al-Azhar.
Godokan para
dosen di Daurul Lughah rupanya sudah cukup memberikan Naya kepercayaan
dirinya untuk masuk ke dalam dunia perkuliahan al-Azhar yang sejati. Kemampuan
membaca, memahami, dan menulis Arabnya sudah cukup mumpuni untuk masuk jurusan
bahasa Arab di Fakultas Dirasat Islamiyah Banat, jurusan yang ia cita-citakan
sejak ia masih di Pattani dulu.
Cerita tentang
perasaan Nadif kepadanya sama sekali ia tidak tahu. Selama ini ia lebih memilih
menunduk atau bercanda ria bersama temannya saat mengendarai angkutan umum.
Naya tidak pernah terpikir sedikit pun, kalau selama ini, ada yang diam-diam
memperhatikan gerak-geriknya. Nasib yang menyebabkan ia masuk ke Daurul
Lughah sudah cukup membuatnya sadar diri, bahwa ia memang harus belajar
lebih intens lagi.
***
Aula Wisma
Nusantara sore itu terbilang cukup ramai. Perkumpulan mahasiswa Pattani
mengadakan acara hajatan besar selepas ujian termin dua. Aneh memang. Wisma
Nusantara yang semestinya lebih sering diramaikan oleh mahasiswa Indonesia
dengan berbagai aktivitas, baik yang bersifat akademis maupun sosial, nyatanya
tidak demikian. Justru mahasiswa asing-lah yang lebih aktif memakmurkan Wisma
Nusantara dengan geliat intelektual dan sosial yang signifikan; sebut saja
mahasiswa Pattani yang selalu mengadakan
kajian intens minimal satu kali seminggu, dan lain-lain.
Naya rupanya
tidak ketinggalan untuk menghadiri acara hajatan tersebut. Acara pun berjalan
sesuai dengan agenda yang ditetapkan. Ketika Naya hendak pulang tiba-tiba ada
yang memanggil namanya.
“Bagaimana kabar
Nadif?” sapa Ismail yang tidak lain merupakan teman sekampungnya.
Kening Naya
mengkerut. Ia bingung dengan pertanyaan Ismail. Hatinya ingin sesegera mungkin
mengetahui maksud dari pertanyaan temannya.
“Nadif?”
“Iya, Nadif.”
“Siapa Nadif?
Ada apa dengannya? Apa kaitannya denganku?”
Ismail
tersentak. Ternyata dugaannya selama ini salah. Perkiraanya kalau Nadif dan
Naya sudah saling kenal satu sama lain—kemudian mengubahnya menjadi
kesepahaman, sehingga ikatan batin antarkeduanya terjalin menuju cita-cita yang
mulia—salah total. Naya belum tahu sedikit pun tentang Nadif. Apalagi
mengetahui rencana dan harapan Nadif terhadapnya. Ismail kini bertanya-tanya kepada
dirinya. Buat apa Nadif bertanya begitu detail tentang Naya selama ini? Ismail
pun menceritakan kepada Naya perihal Nadif dan perasaannya.
***
Hati gadis itu
bimbang. Ia senang, bingung, dan penasaran sekaligus. Senang karena ternyata
ada juga kaum Adam yang menjadi pengagum rahasianya selama ini. Bingung karena
pemuda tersebut tidak kunjung berani untuk sekedar memperkenalkan namanya.
Padahal, menurut Ismail, ia begitu terobsesi untuk bisa menjalin hubungan
dengannya. Sedangkan rasa penasarannya tertuju pada sosok pemuda tersebut.
Bagaimana rupanya? Bagaimana akhlaknya? Dan bagaimana seterusnya?
Perasaan tak
menentu tersebut terus melekat bersama Naya. Hal ini terus berlanjut sampai ia
benar-benar lulus dari Daurul Lughah. Kini Naya sibuk mengurus berkas-berkasnya
di bagian Tansiq dan Daurul Lughah sendiri untuk kemudian
dikirimkan ke Kulliyah Banat. Tetapi Naya pada tahapan berikutnya mengalami
kesulitan di bagian Tansiq (penerimaan mahasiswa baru), karena proses
administrasinya yang berbelit-belit. Gadis itu menangis kecewa di pojok
rektorat. Ia terus di-bukroh-kan (disuruh datang besok pagi) oleh
pegawai Tansiq. Sudah lima kali ia ke tempat memuakkan tersebut. Ia tak
habis pikir, Ia ternyata tercatat di Departemen Ushuluddin, bukan Departemen
Bahasa Arab. Permasalahan pun semakin kompleks. Ia semakin meringis pilu.
Naya saat ini
mempunyai permasalah baru. Ia harus segera mengurus administrasi perpindahan
jurusan sebelum berkas-berkasnya dipindahkan ke Kulliyah Banat. Ia teringat
dengan Ismail. Ia harus meminta bantuan sahabatnya. Proses administrasinya kini
mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Surat permohonan perpindahan jurusan
kepada Rektor sudah rampung. Begitu juga dengan uang administrasi sebesar EGP.
200,00, sudah ia setorkan.
Rona keceriaan
bersemi di pelupuk mata gadis berkerudung lebar ini. Rasa terima kasihnya tiada
terkira. Kini ia mengerti betul arti sahabat. Ismail hanya tersenyum mendengar
sahabat kecilnya berterima kasih girang. Tiba-tiba Naya teringat dengan Nadif,
sosok yang menghadirkan tiga perasaan sekaligus dalam hidupnya akhir-akhir ini.
Tetapi Ismail hanya menjawab sekenanya. Ismail mengakui kalau intensitas
pertemuannya dengan Nadif selepas ujian semakin jarang.
“Dia jarang
kelihatan di Buus.”
“Mmm. Begitu
ya?!” rona ketidakpuasan terpacar cerah di sela-sela kerutan dahi Naya.
Ismail hanya
menganggukkan kepalanya, lalu meneruskan langkahnya menuju halte bus di
belakang Fakultas Tarbiyah. Sambil menunggu bus jurusan Darrasa, mereka mengisi
waktu dengan obrolan-obrolan ringan.
“Bagaimana natijah-mu
(nilai ujian)?” tanya Naya.
“Natijah
ya? Hehehe. Sudah keluar kemarin. Alhamdulillah saya najah (lulus). Jayyid.”
“Alhamdulillah.
Mmm. Oh ya, kalau Nadif bagaimana?”
“Oh ya, saya
lupa memberitahu kamu tadi. Saya sangat salut terhadap pengagum rahasiamu itu.
Dia satu-satunya wafidin (mahasiswa asing) yang mendapatkan predikat Imtiyaz
di Fakultas Dirasat.”
Mata Naya
berkaca-kaca lalu tersenyum lebar. Ada perasaan bangga yang meluap-luap dari
lubuk hatinya yang terdalam. Ia bangga karena yang menjadi secret admirer-nya
adalah seorang yang brilian. Rasa penasaran dan kagumnya terhadap sosok
Nadif mulai menyemi indah di setiap
rongga hatinya. Hatinya berulang kali mendesaknya untuk mengetahui dan melihat
secara langsung pemuda brilian itu. Tiba-tiba Ismail membuyarkan lamunannya.
“Kok tersipu
gitu sih Nay? Busnya datang tuh. Ayo kita naik!”
“I..iya.”
Mereka berdua
harus berdiri. Kursi yang ada di dalam bus itu terisi penuh. Mereka kembali
melanjutkan obrolan, sementara pengemudi mulai memacu angkutan umum tersebut.
“Lah! Itu Nadif
baru keluar dari pintu gerbang utama!” kata Ismail tiba-tiba memotong
pembicaraan, seraya mengarahkan telunjuknya pada sosok pemuda.
“Hah! Mana
orangnya?” tanya Naya terperanjat dengan perasaan tak menentu.
“Itu lo! Pemuda
bertubuh jenjang yang mengenakan kaos bola.”
Naya hanya
tersenyum. Ia membiarkan hatinya menafsirkan kalimat-kalimat jiwa yang tersulam
dalam rasa kagum, bahagia, bahkan rindu. Perasaan gadis jelita berdarah melayu
itu tak menentu. Ia mengunci lidah lalu membatu di atas pijakannya. Lengkap
sudah rentetan kebahagiaan yang mengitari hidupnya hari ini. Proses
adimistrasinya sudah hampir ia rampungkan dan ia akhirnya mengetahui sosok
pemuda yang mengaguminya selama ini. Bahkan sebaliknya, pemuda yang mulai ia
kagumi untuk saat ini dan seterusnya.
***
“Mau kemana Dif?
Rapi amat,” sapa Reza.
“Ke acara
peringatan malam Lailatul Qadar. Lah! Kamu tidak ikut? Ada Syekh Azhar lo!”
“Aduh maaf, saya
ada acara di kekeluargaan. O ya, nanti kalau kamu pulang, jangan lupa dibagi-bagi
ilmunya.”
Nadif beranjak
meninggalkan kamarnya menuju halte bus yang berada di depan Rumah Sakit Buus.
Acara tersebut dilaksanakan di Al-Azhar Conference Center (ACC) yang terletak
di H-6, Nasr City. Pembicaranya hanya tiga orang; Syekh Azhar, Mufti, dan
Menteri Wakaf. Nadif menyimak dengan saksama apa yang disampaikan oleh para
ulama tersebut. Setelah secara perlahan ia berusaha menghilangkan Naya dari
kehidupannya beberapa bulan terakhir, kini ia berhasil melepaskan diri dari
kungkungan perasaan. Ia merasa bahwa perasaanya terhadap Naya selama ini ia
rasakan seorang diri. Perasaan yang memasung riak-riak kebahagiaan di hari
esok. Nadif bertekad untuk terjun total ke dalam geliat keakademisan, layaknya
seorang penuntut ilmu. Selepas ujian termin dua hingga menjelang kepergian
Ramadan ini, konsentrasinya hanya tertuju pada kegiatan talaqqi, membaca, dan
menyempurnakan hafalan al-Qur’an.
Acara yang
berlangsung di Qa’ah Andalus (Aula Andalus) tersebut belangsung tertib.
Selepas acara, sebagian hadirin beranjak ke depan panggung untuk bersalaman
dengan para narasumber sekaligus foto bersama. Sementara Nadif lebih memilih
keluar dan langsung pulang. Akan tetapi langkahnya terhenti beberapa meter
sebelum menapaki pintu ruangan. Ia terhentak sejenak, lalu membatu dengan
tatapan kosong. Ia bertemu pandang dengan seorang gadis yang tidak asing dalam
hidupnya. Ya! Nadif dan Naya terdiam sejenak dalam tatapan mereka satu sama
lain.
Islamic Missions
City, 12 Ramadan 1433 H
Ahmad Satriawan
Hariadi
0 komentar:
Post a Comment